Total Tayangan Halaman

Selasa, 20 Mei 2014

kumpulan lirik lagu tentang perdamaian versi inggris

By : Dylan Ridho

1.HALL OF FAME by THE SCRIPT
Video musik dari lagu ini cukup menyentuh,sangat pas dengan tema yang diusung oleh band asal irlandia ini.
Hall of Fame memang lagu yang mampu membakar semangat siapapun yang mendengarnya,terutama buat kamu yang lagi mengejar mimpi. lirik dalam lagu ini sangat positif serta bertebaran kata-kata pengharapan yang membangkitkan.
siapapun kita,kita bisa jadi apapun yang kita mau. terus bermimpi,mengalahkan musuh dan jadi juara.
favorite part
dont wait your luck,
dedicate yourself and you can find yourself




2.DARK SIDE by KELLY CLARKSON
Kelly Clarkson,alumni American idol angkatan pertama ini punya banyak lagu bagus. salah satu favorit saya tuh,Dark Side.
Dark Side rilis 2012 lalu,menceritakan tentang seorang cewek yang memiliki sisi gelap dalam hidupnya,tapi Ia juga berharap kalau seseorang yang dicintainya nggak meninggalkannya karena hal itu.
lagu berirama pop rock yang super renyah ini mengingatkan kita kalau tak ada seorangpun yang ditakdirkan sempurna,semua memiliki sisi gelapnya masing-masing.
bukan tema yang unik,tapi kelly clarkson mampu membuatnya menarik. agak meledak-ledak,tapi disitulah titik kenikmatan lagu ini.
favorite part
it's like a diamond,from black dust.
it's hard to know what become.
if you give up,dont give up on me.
please,remind me who i really am....



3.ON TOP OF THE WORLD by IMAGINE DRAGON
sepanjang 2013 ini,Imagine Dragon jadi band yang paling bersinar. mereka punya lagu-lagu hebat yang merajai chart.
lagu On Top Of The World buat saya cukup mencuri perhatian.
pertama kali dengar,sangat berat di telinga tapi bagian reff nya cukup mengelitik untuk memutarnya lagi dan lagi....
On Top Of The World,inti lagu ini sebenarnya adalah perjuangan untuk mencapai puncak dalam hidup. bagaimana kita harus mendaki untuk mendapatkannya,melalui masa-masa sulit,terjatuh dan mencoba. tapi,semua itu akan terbayar ketika kita sudah berada di puncak dan meraih apa yang kita impikan.
favorite part
I've had the highest mountain
I've had the deepest river
you can have it all but life keeps moving.
I take it in but dont look down



4. 93 MILLION MILES AWAY by JASON MRAZ.
Tipikal lagu yang menghangatkan dan banyak orang sudah dibuat meneteskan air mata karena lagu ini.
terutama nih buat yang lagi jauh dari rumah. entah itu lagi kuliah atau bekerja yang pasti kondisi juga memaksa kita jauh dari orang tua.
Jason Mraz menceritakan kalau kemanapun kita pergi,kita akan selalu pulang dan dimanapun kita berada,kita akan selalu merasa nyaman jika kita melakukan hal yang benar.
lengkap dengan nasihat ringan orang tua yang seakan makin menguatkan,meski jalan yang kita tempuh akan sangat licin tapi akan selalu ada tangan yang bisa kita pegang.
Hangatnya lagu ini semakin diperkuat dengan lirik pada awal dan akhir lagu,seolah ada sinar hangat yang ikut merasuk....
people get ready...get ready.
cause here it comes,it's a light.
a beautiful light,over the horizon into our eyes....
yes.bersiaplah!!!




5.BRAVE by SARA BAREILLES
Brave dirilis april 2013 tapi kembali mencuat pada september 2013 ketika Katy Perry merilis lagu yang melodinya disamakan dengen Brave ini.
Brave kembali terdongkrak popularitasnya.
Ini lagu bagus,buat yang lagi butuh keberanian,kekuatan dan inspirasi positif,ini lagu yang pas untuk menemani.
ada saatnya,kita berada pada satu keadaan yang membuat kita terkekang,tak berani bicara apalagi bertindak. padahal,jika kita melawan itu akan ada hal hebat yang terjadi.
so,apa enaknya mengekang?
jadi inti lagu ini adalah "show me how big your brave is"
pesan dalam lagu ini dapet banget,bahwa ketakutan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat nggak akan menghasilkan apapun,semua harus dilawan dengan keberanian.
Sara menyanyikannya dengan penuh semangat,dengan letupan-letupan tak biasa yang membuat lagu ini terdengar unik.
Favorite Part
say what you wanna say. and let the words fall out.
honestly,i wanna see you be brave.




6.SAME LOVE - MACKLEMORE AND RYAN LEWIS feat MARY LAMBERT
Macklemore and Ryan Lewis cukup mengesankan tahun 2013 ini.single Thrift shop jadi no.1 di banyak negara.tapi,single "same love" -lah yang memiliki pesan lebih dalam dan berhasil menyabet "Video with the social message" dalam acara bergengi sekelas MTV awards 2013 lalu.
seperti judulnya,Same Love mengambil tema homosexual yang dilihat dari sudut manapun akan selalu kontroversial.
tapi,budaya dan pola pikir masyarakat sekarang sudah sedikit berbeda. meski kaum homosexual tak berada pada jalur yang sebenarnya,tapi mereka memiliki hak dan kebebasan yang sama seperti yang lain.
meski bertema homosexual tapi banyak orang diseluruh dunia nge-vote lagu ini hingga memenangkan kategori tersebut. hal ini membuktikan kalau masyarakat tak lagi mempermasalahkan orientasi sex seseorang.
Favorite Part
the same fight,that led people to walk-outs and sit-ins.
human righs for anybody,there is no difference.
live on! and be yourself....




7.ALL OR NOTHING by GLEE CAST
Lagu original dari serial TV musikal favorite saya,Glee!
All or Nothing dibawakan oleh Marley dan Blaine,lagu ini memiliki arti yang dalam dan Inspiratif,tapi nggak mengurangi keceriaan dari lagu berdurasi 4 menit ini.
All or Nothing menceritakan tentang pengejaran sebuah mimpi,bahwa kita nggak bisa diam saja,kita harus punya keputusan meski akan selalu ada resiko yang mengikuti.
Pilihannya ada dua,kita meraihnya atau tidak sama sekali.tak boleh diantara dua hal itu,tak boleh ada keraguan,kita lakukan dengan tuntas lalu tunjukan pada dunia kesuksesan kita.
tema agak klise,memang. tapi lagu ini bikin kita nggak bisa berhenti nyanyi....
Favorite Part
and now,please dont judge me.
take my hand and say,
you'll always wish me well and send me luck..



8.WAKE ME UP by AVICII
Yes! ini lagu ngehits banget di Inggris dan Amerika,mampu tembus top 5 dalam penjualan digital single di itunes serta Billboard chart.
Wake Me Up dibawakan oleh seorang EDM artist paling hot saat ini,Avicii.
banyak anak muda jatuh cinta pada lagu ini,mungkin karena isinya cukup dekat dan mengena.dengan lirik yang jujur tapi nggak murahan.
Wake Me Up menceritakan tentang pencarian jati diri seorang anak muda tapi dia tersesat dan melakukan kesalahan dalam proses pencarian itu. Dia mulai sadar dan ingin dibangunkan dari perilakunya yang salah.
kadang kita memang nggak sadar dengan kelakuan kita,meski sesungguhnya kita tahu apa yang kita lakukan.
kita juga nggak bisa menunggu sampai tua untuk berubah jadi bijak.
sementara kita nggak selamanya muda dan terus bersenang-senang...
sooo...wake me up!
ini lagu yang unik,keren,inspiratif serta sangat menghibur.
Favorite Part
i wish that i could stay forever this young.
not afraid to close your eyes.
life is a game made for everyone.
and love is a prize




9.ONE BIG FAMILY by MAHER ZAIN
Paman ku yang satu ini namanya sangat populer di Indonesia,bahkan merilis beberapa lagu versi bahasa Indonesia dan pernah main sinetron juga disini..
Pria asal swedia yang lahir di libanon ini terkenal memiliki lagu-lagu RnB bernuansa Islami serta lagu-lagu bertema perdamaian dan hal-hal universal yang begitu menyentuh.
salah satu Hits dari Maher Zain tahun ini adalah One Big Family yang dimana lagu ini seakan ditujukan bagi umat muslim yang sempat mengalami konflik beberapa saat lalu.
kita semua saudara,aku teruka,kamu teluka. aku bahagia,kamu juga bahagia....
Paman Maher ini mencoba menegaskan kalau seberapa jauh dia berada,bahkan jika kita nggak saling mengenal sekalipun.
kamu dan aku satu.
kita keluarga.
so? why you and me fight each other????
Favorite Part
We’re part of one family
No matter how far you are
And even if we don’t know each other
you and me, me and you, we are one.




10.UNCONDITIONALLY by KATY PERRY
Single ke 2 Katy Perry di album Prism,Unconditionally berisi pesan sederhana tentang bagaimana kita mencintai tanpa syarat.tentang membuka hati yang sepenuhnya,jujur tanpa ada satupun hal yang menghalangi.
itulah deskripsi katy tentang cinta dalam lagu ini.
bagi Katy,penerimaan adalah kunci untuk benar-benar bebas,tanpa rasa takut,hanya rasa iklas.
Unconditionally jadi lagu cinta yang universal dan untuk semua jenis cinta.
sangat inspiratif,tentunya buat kamu yang lagi belajar mencintai seseorang. cieeee...
Favorite Part
...I'll take your bad days with your good.
walk through the storm,i would.
i do it all because i love you

Sabtu, 17 Mei 2014

KUMPULAN CERITA CEKAK 2013 (CERKAK 3)

By : Dylan Ridho


Sulang Online Cerita Cekak: “Lasirin Dhagelan Kethoprak”
Oleh: Masdjup a.k.a. Ki Dhalang Sulang
Pengantar:
Cerita ini pernah dipublikasikan di Majalah Mingguan “Panjebar Semangat” Edisi  No. 06 tanggal 8 Pebruari 2003. Dipilih sebagai salah satu cerita untuk Lomba Penulisan Esai  Cerkak Tahun 2003. Para peserta lomba yang mengambil objek cerita ini dan akhirnya meraih sebagai nominator dan  juara lomba antara lain: (1) Moch Nursyahid P (Alm), wartawan dan penulis  senior sastra Jawa dari Surakarta, (2) Sudarni, pengamat sastra Jawa dan dosen  Unessa Surabaya, (3) Sugeng Wiyadi, penulis dan dosen Unessa Surabaya, dan lain-lain. Dalam pengunggahan cerita ini disajikan sesuai aslinya dengan bahasa Jawa, dan dengan sedikit editing pada beberapa paragraf, ejaan dan pembetulan salah tulis.  Untuk ukuran cerkak, cerita ini tergolong relatif  panjang.  Para pembaca harap maklum adanya (Pen).
Lasirin Dhagelan Kethoprak
Dening: Masdjup (Ki Dhalang Sulang)
Paitane Lasirin ora liya ya mung saka rupane sing kawit biyen mula wis katon lucu. Upama dheweke munggah panggung tanpa lorengan ngono para penonton wis mesthi ngguyu kepingkel-pingkel, kepuyuh-puyuh, malah sok nganti kepentut-pentut. Mula saben rombongan kethoprake entuk tanggapan, Lasirin ora nate keri, mesthi melu munggah panggung. Ndhagel. Banjur para penonton padha iwut nguncali wungkusan-wungkusan wujud apa wae. Rokok, jajanan, malah ora kurang sing padha nguncali amplopan isi dhuwit kanggo saweran.
Minangka ijole, Lasirin banjur nembang lelagon sing dipesen penonton lumantar tulisan ing dluwang sasuwek sing dikatutake njero wungkusan lan amplopan mau.
Anggone nembang mesthi dikantheni njoged pethakilan sing katon unik lan nganyelake. Yen Lasirin wis tumandang ngono kuwi, penonton saya kranjingan lan gemes banget. Kena-kenoa, Lasirin diangkah supaya terus tetembangan lan jejogedan sewengi natas. Wis ben, ora nganggo lakon-lakonan ya ora apa-apa paribasane.
“Eeeee….. karepe dhewe. Sing ditanggap iki ora mung dhagelan thok lho lur, nanging kethoprak komplit. Nek pengin nanggap khusus dhagelan Lasirin ya sesuk wae. Nanging ya kudu mbayar dhewe lho gus, yu, le, nang, he he he he he….” ngono wangsulane Lasirin karo plerak-plerok nggregetake, nalikane penonton padha alok supaya dheweke terus wae anggone ndhagel. Krungu wangsulane Lasirin ngono mau, para penonton malah nanggapi pating blerok sing ora jelas basane, nanging wose padha marem banget atine.
Cekake, Lasirin pancen wis dadi dhuweke masyarakat pandhemen kethoprak ing wewengkon kono. Jenenge saya moncer. Malah-malah amarga saking moncere, wong-wong padha luwih gampang nyebut kanthi jeneng “Kethoprak Lasirin”, katimbang nyebut jeneng resmi rombongane: Sandiwara Kethoprak Mangun Budaya”. Lasirin kaya-kaya minangka suksmane rombongan kuwi. Tanpa Lasirin wis kena dipesthekake yen Mangun Budaya ora bakal payu tanggapan. Bola-bali wis klakon yen rombongan kethoprak kuwi pinuju pentas nanging tanpa Lasirin, sing nanggap lan penontone pisan mesthi kuciwa.
“Nonton kethoprak Mangun Budaya nek gak ana Lasirin padha karo ora! Mulih mulih!” ngono aloke penonton, banjur katon siji baka siji padha bali kanthi nggawa ganjelan kuciwa ing ati. Sing nonton dadi sepi. Sing nanggap uga melu gela. Mula ora kurang sing banjur padha mangkas bayaran tanggapane, sanadyan dikantheni bengkerengan adu gurung karo pimpinan rombongan kethoprak luwih dhisik.
Ing wektu-wektu iki pancen Lasirin kerep lowok ora melu manggung. Dene sabab musababe ora liya marga dheweke wis katon lara-laranen dipangan taun. Umure pancen wis ngancik eketan munggah. Upama ora krana wis dadi sandhang pangane wiwit enom hengga seprene mono, janjane dheweke wis wegah banget munggah panggung. Apa maneh isih kudu ngonthel sepeda tumuju menyang lokasi pentase. Banjur isih kudu nebar panglipur marang para penontone, sing kepengine mung kudu kepranan atine awit saka geculane, tetembangane, lan solah tingkahe Lasirin ing panggung.
Huh! Kesel! Dheweke pancen kesel tenan. Kesel ragane, kesel pikirane, lan uga kesel jiwane. Karo maneh yen dheweke tetep ngaya lan nekad penthalitan kuwi arep nggolekake sapa? Lha wong ya ora anak ora bojo wae!
Kasunyatane dheweke pancen wis ora duwe kulawarga babar blas. Sadurunge manggon ing desane sing saiki kuwi, dheweke ora nate ngandhaake asal usule. Bebasan  dheweke kuwi tanpa dhangka tanpa sengkan, wong kleyang kabur kanginan, akandhang langit akemul mega. Mung wae ana sing nate krungu riwayat asmarandanane. Jare biyen dheweke ya duwe pengankah kaya wong wong akeh kae, yakuwi kepengin mangun bale somah karo sawijining kenya nunggal kampunge. Nanging bebasan dheweke mung keplok tangan sisih. Kenya sing dituju prana kuwi babar pisan ora nimbange katresnane. Ya ora jeneng mokal yen ana prawan sing nolak katresnane. Bandha ora gableg. Apa maneh rupa, paribasane mbuwak mbuntel. Jan ala tenan. Ora ana baguse sithik-sithika.
Wusana dheweke minggat saparan-paran. Nganti tumeka sawijining desa sing nduwe rombongan kesenian kethoprak Mangun Budaya kuwi. Nalika samana sing dadi tetuwanggane Kethoprak Mangun Budaya ora liya Mbah Mangun, bapake Pak Bandi, ketua rombongan sing saiki. Dheweke nekad nglamar dadi anggota rombongan kuwi. Mbah Mangun  gelem nampa panglamare Lasirin, nanging dhapukan sing lowong mung minangka pendhagel. Sanadyan durung nate nglakoni dadi seniman kethoprak, luwih-luwih dadi dhagelan, Lasirin nekad nyaguhi.
Mbok menawa jalaran rupa gawan bayine sing katon ala lan lucu kuwi, sithik baka sithik Lasirin bisa mersudi kabisane ing babagan gecul-geculan. Ndilalah penonton padha nampa kathi senenge ati.Wusana dheweke klakon dadi bintang panggung. Mung wae sajake atine wis kadhung sengkleh ing bab donyane katresnan. Tekade arep mbujang selawase. Uripe mung bakal diudhokake kanggo wong akeh. Aweh panglipur marang sapa wae lumantar ndhagele ing panggung, yen perlu hengga puput nyawane.
Nanging dheweke lali yen kahanan ragane wis ora kena diajak kompromi. Penyakit tuwane arupa loyo lan watuk mengi saya ngrembaka. Mula dheweke banjur kepeksa prei ora kuwagang munggah panggung maneh. Rombongan Kethoprak Mangun Budaya klakon kelangan bintange, sahengga saya surut pamore. Suwene-suwe ora payu tanggapan babar pisan. Pak Bandi minangka jejere ketua rombongan kaya-kaya kentekan akal kanggo nguripake suksmane rombongan kethoprake. Dheweke ngerti banget underan perkarane, gene kethoprake dadi mati? Ora ana liya mung kajaba Dhagelan Lasirin sing klakon pensiun kuwi.
“Apa Pakdhe Lasirin kudu tak peksa munggah panggung maneh ya? Ah! Sajake nglengkara. Njur kepriye caraku kanggo mbalekake nyawane Mangun Budaya? Wis tak jajal golek gantine Pakdhe Lasirin kanggo dhapukan dhagelan, si Marno Singkek kuwi, nyatane ora kepangan dening para penanggap lan pandhemen. Dhuh Gusti, dalem nyuwun kali damar Gusti…… mesakaken lare-lare  sami kecalan sandhang patedhanipun, Gusti…” ngono pisambate Pak Bandi ing batin, wola-wali meh saben wengi, sangsaya ketara pupus panalare.
Sidane dheweke nekad nyoba ngglembuk marang Lasirin. Embuh carane, sing baku Lasirin kudu gelem bali munggah panggung. Ora ana dalan liya maneh. Ya mung iki siji-sijine syarat-sarengat amrih pakumpulan kethoprak Mangun Budaya bali moncer. Mula ing sawijining sore dheweke klakon nyambangi Lasirin ing omahe. Omah cilik balungan  lan gedheg pring sing saya dhoyong sajak arep rubuh. Sadurune mlebu ing omah sing luwih pas disebut gubug kuwi, Pak Bandi unjal ambegan. Landhung banget. Embuh apa tegese unjal ambegane kuwi.
“Sampeyan apa gak mesakake marang kanca-kanca ta, Pak Dhe?  Yen ora ana sing nanggap, anak bojone njur dha dipakani apa coba! Kamangka yen arep padha nyambut gawe liyane ngethoprak, sajake wis padha lali carane. Macul wis dha wegah, mbakul gak dha gableg modhal. Yen pengin dadi pegawe, njur kantor ngendi sing gelem nampa wong mbambungan kaya kanca-kancane dhewe iki? Mula ya, Pak Dhe, aku welasana. Wis ta, sampeyan njaluk apa lan bayaran pira anggere gelem bali manggung maneh!” pangrimuke Pak Bandi marang Lasirin sawise kekarone lungguh lincak pring njero omah kuwi. Sing dirimuk durung kumecap. Mripate kethap-kethip nyawang menjaba, karo sedhela-sedhela watuk menggeh-menggeh.  Ing batine dumadakan tuwuh perang tandhing swara loro saka njero sing padha sorane. Sing siji kepengin ngeman  awak, sijine maneh kudu nglabuhi kanca-kancane. Lasirin gedheg-gedheg. Banjur nggigil maneh.
“Sampeyan… rak ngerti dhewe ta, Lik, awakku… wis gapuk kaya ngene…. Apa ya … isih kuwawa… mbadhut?” wangsulane Lasirin karo menggeh-menggeh ngampet mengine.
“Bisa! Aku yakin sampeyan bisa ngayahi kaya wingi uni. Sampeyan nyimpen kabisan sing ngedab-edabi ing babagan gecul-geculan. Marno Singkek, Nardi Meler, apa dene Jaeman Klithik gak paja-paja yen ditandhing karo sampeyan.  Tenan iki, Pak Dhe! Dene bab penyakite sampeyan mengko bakal tak tambakake nyang  dokter nganti saras.  Piye Pak Dhe?” pandheseke Pak Bandi.
Lasirin unjal ambegan nyendhat-nyendhat. Pak Bandi disawang satleraman. Banjur panyawange dibuwang metu adoh maneh. Sepi. Kekarone dadi meneng-menengan. Sajake padha kentir marang arusing lamunane dhewe-dhewe. Mung kala-kala ajeg sineling gigil watuk saka pendhagel tuwa kuwi. Tangane Pak Bandi kumlebat mijeti pundak lan gulune Lasirin. Nganti sawetara wektu, hengga rada lerem watuke Lasirin. Embuh lerem temenan apa pancen diampet. Pak Bandi tetep sabar  angranti wangsulan saka wong tuwek elek nanging sing tansah dadi klangenane wong akeh iki.
“Ya wis….. nek pancen…. aku isih dibutuhake kanca-kanca…. lan uga…. para warga kabeh…. mengko tak cobane…..ning ana sarate….”, wangsulane Lasirin sawise nimbang-nimbang sawetara. Sidane dheweke nibakake pilihan kanggo kapetingane wong akeh. Dheweke ora tega marang nasibe kanca-kancane yen nganti padha kaliren krana wis ora payu tanggapan. Yen pancen ngono tenan, dheweke malah rumangsa dosa marang kanca-kancane ngethoprak kabeh.”Luwih becik sisa umur iki tak anggo aweh pitulung marang bala-bala mbabungan kae”, ngono dheweke mbatin kanggo nguwatake tekade.
“Sarate apa, Pak Dhe?” panyaute Pak Bandi karo wiwit katon padhang raine.
“Pisan…. aku gelem bali manggung…. yen wis waras…. lan ora nggigil maneh…. Dene angka loro…. saben ana tanggapan… aku kudu diparani…. lan dibocengake…. nganti tekan panggonane sing nanggap…ya mung kuwi sarate….”.
“Beres, Pak Dhe! Tak sanggupi. Wis saiki sampeyan ndang salin klambi. Ayo saiki uga tak gawa nyang dokteran!”
Ing wektu kuwi uga Lasirin klakon diobatake menyang dokter ing kutha sing ora patiya adoh saka desane. Seminggu sepisan Pak Bandi nlateni ngeterake Lasirin menyang dokter kuwi mau. Ganep patang minggu sajake Lasirin wis katon sehat. Mung wae dokter pesen yen Lasirin kudu gelem njaga awak lan mangane.. Ora kena melek bengi, lan ora kena ulah gawe sing abot-abot. Nanging Lasirin mbatin yen ora bakal bisa nuruti nasekate dokter iki. Yen dheweke klakon waras lan kudu mangkat manggung maneh, mesthine kudu melek bengi, penthalitan, lan pethakilan ing ndhuwur panggung, sing abote ora kalah yen ditandhing karo wong nggoluk ing sawah apa dadi manol kae.
Lasirin bali manggung. Rombongan kethoprak Mangun Budaya bali ngrembuyung. Laris manis. Lasirin saya ngedan anggone dhapuk dhagelan. Wis gilig tekade kanggo ngabdekake sisa umure. Ya mung krana ndhagel iki modhale kanggo lelabuh marang sapada-padane urip. Bisa nglancarake dalan pangane kanca-kancane.. Uga bisa aweh panglipur marang sagunging warga sakiwa-tengene. Dheweke krasa mongkok lan marem banget  atine. Bebasan kaya dene nyandhung kembang cempaka sawakul-wakul gedhene.
Kosok balen karo Pak Bandi. Sanadyan Mangun Budaya bali gumregah, nanging dheweke malah miris nyawang polah tingkahe Lasirin sing sajak kebablasen semangate. Yen nganti ana apa-apane Lasirin, dheweke sing rumangsa paling luput, jalaran ya dheweke sing ngojok-ojoki Lasirin supaya gelem manggung maneh.. Mula dheweke banjur mbudidaya supaya Lasirin bisa rada direm semangate sing tuwuh makantar-kantar kuwi. Carane, kala-kala Lasirim ora dikabari yen pinuju entuk tanggapan ngedhur tanpa leren. Sanadyan ta nggawa resiko gawe kuciwane wong sing nonton apa dene sing nanggap, kalamun kepeksa pentas kethoprakan tanpa Dhagelan Lasirin.
Ngepasi dina pengetan ari kamardikan  pitulas Agustusan ing kutha kecamatane, Kethoprak Mangun Budaya ditanggap. Amarga ing wewengkone dhewe tur kanggo pengetan ari kamardikan, mula Pak Bandi sarombongan ora mathok rega tanggapan kaya adate. Wis padha diniyati setengah sambatan. Mula Lasirin uga ora dijawil. Luwih-luwih sedina sadurunge, nalika Pak Bandi tilik menyang omahe Lasirin, sing ditiliki katon gumlethak lara. Pak Bandi saya mantep yen pentas ing kutha kecamatane ora perlu nganggo dhagelan Lasirin. Sanadyan penontone mengko bakal padha kuciwa ya ora dadi apa. Sing baku Lasirin kala-kala bisa ngaso sawetara. Marga ora dikabari mula ing bengi pentas kuwi Lasirin ora teka temenan.
Tabuh sanga bengi pentas diwiwiti. Nalika tiba giliran ekstra geculan sawise jejeran kedhatonan, sing didhapuk minangka dhagelan ora liya Damin sing adate dadi pasangane Lasirin. Bengi kuwi kepeksa dipasangi Pak Bandi dhewe. Kekarone padha mbudidaya gawe geculan lan jejogedan kanggo aweh panglipur marang penonton. Sing dikuwatirake Pak Bandi klakon temenan. Penonton padha kuciwa bareng diwenehi ngerti yen bengi kuwi Lasirin ora bisa aweh panglipur amarga lagi nandhang lara. Penonton ora bisa nampa alesan kuwi. Salah siji ana sing mbalangake gelas wadhah aqua menyang panggung. Banjur liyane padha kepancing niru, nyawatake apa wae sakecekele marang Pak Bandi lan Damin. Swasana dadi rame semrawut. Para punggawa Hansip padha nyoba melu nentremake penonton, nanging wis ora digubris babar pisan. Kabeh-kabeh padha nuntut supaya Lasirin bisa ditekakake ing bengi kuwi uga.
Keber ngarep dikerek mundhun. Pak Bandi lan Damin mudhun saka panggung bali menyang kombongan. Penonton ora mendha pangamuke malah saya ndadra. Bareng keber ngarep ditutup, para penonton padha genti ngrangsang para pengrawite.. Mula para penabuh gamelan nuli padha buyar mlayu ngadohi panggung.
“Merdekaaaa!….merdekaaaaa!..
..merdekaaaaa!” dumadakan ana swara saka tengah-tengahe penonton sing lagi padha ngamuk kuwi. Kabeh nuli katon mlengaki asaling swara. Ing tengah-tengahe penonton ana sawijining pawongan sing nganggo klambi kimplongan werna putih. Sirahe nganggo udheng abang putih saka dhuk Pramuka. Salah sijining penonton ana sing alok ngundang jenenge Lasirin. Pancen bener. Pawongan sing nganggo sandangan putih-putih lan nganggo udheng merah putih kuwi ora liya pancen Lasirin temenan.
“Hidup Lasirin! Hidup Lasirin! Hidup Lasirin” ngono sorake penonton kaya ambata rubuh. Lasirin kanthi trengginas munggah panggung sing kebere isih  durung dikerek munggah.
“Merdekaaaa!” aloke Lasirin karo ngepelake tangan tengene.
“Merdekaaaa!” kabeh penonton padha nyaut kanthi serempak, uga karo ngangkat tangane.Keber bali dibukak. Lasirin klakon ndhagel, dikancani Pak Bandi lan Damin. Swasana malik grembyang. Penonton padha lega atine. Banjur kaya adate akeh sing padha nguncalake wungkusan isi rokok, lan amplopan kanggo nyawer. Siji baka siji layang pesenan lelagon saka penonton dileksanani. Penonton saya kranjingan. Jumbuh marang solah tingkahe Lasirin sing saya ngedan. Kaya dudu sabaene. Pak Bandi lan Damin wiwit kuwatir marang polahe Lasirin kanggo nglanggati panjaluke para penonton. Pak Bandi nyoba aweh sasmita marang Lasirin supaya anggone ndhagel dilereni luwih dhisik. Mengko yen wanci tengah wengi bisa ditutugake maneh. Nanging Lasirin ethok-ethok ora ngerti sasmita saka Pak Bandi. Terus lan terus anggone nglucu, nglawak, ndhagel, nembang, sinambi jogedan pethakilan.  Ing bengi iki ngepasi pengetan ari kamardikan, kaya-kaya dheweke kepengin ngesok glogok kabeh  kabisane kanggo aweh panglipur marang kabeh warga masyarakat.
Lan……meh kabeh padha njerit nalika Lasirin klakon nggeblag ing ndhuwur panggung. Pak Bandi lan Damin padha gugup mrepegi Lasiran sing tiba mlumah ora obah ora onthek kuwi. Kekarone banjur katon ngoyog-oyog awake Lasirin. Nanging Lasirin tetep ora kemruget babar pisan. Para paraga Mangun Budaya liyane uga banjur melu ngrubung Lasirin. Kabeh kepengin nyumurupi kahanane Lasirin sing sabenere. Nanging sajake pancen wis tiba marang pepesthene. Lasirin tumekeng pati nalika lagi ngayahi jejibahan sing wis diyakini. Apa ya dheweke wenang sinebut minangka sawijining pahlawan? Sing cetha dheweke ora bakal dikubur ing Taman Makam Pahlawan ngendi wae. Banjur nganti ganep pirang ndina jenenge Lasirin bakal dieling-eling dening para warga?  Kabeh ora padha ngerti, kajaba amung Gusti Kang Maha Suci.***
Tamat


BONSAI
Wis meh sedina Drajat nunggu Rista, bojone sing arep nglairake. Bola-bali Drajat ke­prungu sambat lan jeritane bojone sing nembe berjuang ngliwati maut. Kanggo nylimur pikire sing ora karuwan, Drajat nyoba ngobrol karo wong sing uga nunggu ana ing rumah bersalin kuwi. Nanging mbuh ngapa, apa wae sing dadi bab rem­bugane, kabeh kaya ora mathuk. Pikire Drajat tambah ora karuwan, deweke ban­jur wira-wiri kaya wong linglung. Saya cetha menawa saiki Drajat lagi ora kepenak ati.
“Adhuh, aku ora kuwat!”
Drajat kaget.  Krungu sambate Rista, Drajat kaya ditangekake saka ngimpi sing ala. Drajat banjur kelingan ana ing wayah sore nalika Rista kandha menawa dhewe­ke mbobot. Krungu mangkono Drajat ban­­jur mbopong Rista, dirangkul lan di ambungi. Sedina wutuh Drajat mesam-mesem dewe..
“Adhuh Gusti!”
Sambate Rista keprungu meneh. Drajat banjur ndonga, lambene ndremimil ngucapake donga. Apa meneh nalika dhe­weke kelingan wektu bojone kandha me­nawa bayi sing dikandhut kembar. Wektu kuwi, Rista banjur digendhong karo di ning-nang-gung.
“Adhuh mas, piye iki ?!”
Jebule, saben Rista sambat, pikire Dra­jat ibarate kaya pita kaset sing otoma­tis mereviuw kadadeyan sing wis kelakon. Saiki kupinge Drajat kaya-kaya rungon-rungonen nalika Rista kandha menawa miturut pemeriksaan doktere yen dhewe­ke ora bakal isa nglairake cara normal. Bab iki amarga pinggule Rista cilik. Artine Rista kudu operasi.
“Gustiii..Gustiii..!”
Pikirane Drajat nggrambyang meneh, kelingan wektu dheweke lagi padu karo Rista. Wektu kuwi Rista ngakon Drajat ngedol Bonsai kesayangane. Tujuane, dhuwite bisa kanggo wragat operasi Caesar. Drajat ora sarujuk menawa bonsaine didol. Ora setujune Drajat, amarga bonsai mau wis bola-bali menang ing sayembara-sayembara bonsai. Kabare, bonsai mau uga wis tau dinyang karo salah sawijining kolektor ing kutha. Jane mono bonsaine Drajat okeh cacahe, nanging wektu pas iki kari loro sing rencanane amung kanggo duwen-duwen dhisik. Biyasane, bonsaine Drajat apik-apik, amarga  Drajat anggone ngopeni temenan. Kanggone Drajat, bonsai wis kaya jantunge dhewe. Ya saka bonsai kuwi mau Drajat bisa ngragadi uripe.
Ning, persoalane saiki pasedhiyan bonsane Drajat sing ana ngomah amung kari loro, kuwi wae bonsai ora kanggo didol ana ing wektu cedhak. Amarga Drajat duwe feeling menawa rega bonsai mau isih bisa terus mundhak regane lantaran asringe bonsai mau entuk juara ana ing saben lomba bonsai. Durung meneh menawa dheweke kelingan jamane ndadekake bonsai mau. Nggawe bonsai sing apik mbutuhake ketlatenan, kesabaran, kaya kreasi sing elok lan improvisasi. Merga kuwi mau Drajat ora gelem ngedol bonsaine.
“Usahake lair normal wae!” ujare Dra­jat wektu kuwi.
***
Kahanane Rista ing kamar priksa me­melas, awake wis kaya ora duwe tenaga meneh. Mungkin amarga bola-bali wis kanggo ngeden, nanging jabang bayi tetep durung gelem metu. Awake ndre­dheg lan kebak kringet, lambene sing cilik-tipis bola-bali ndremimil ndonga kaya maca mantra wae. Rista ngarep-arep banget supaya bojone gelem ngedol bonsaine.
Rista balik ngeden lan ngeden maneh. Tenagane kekuras, Rista ora perduli tenagane entek. Nanging tetep ora ana asile, Rista banjur pasrah ngenteni tumu­runing mujijat. Mujijat sing dienteni uga ora mudhun-mudhun lan  bab iki sing nye­­babkake jiwane drop lan sawangane mri­pat kaya suwung.
Mbuh merga apa, ujug-ujug mripate ora gelem kedhep, jelalatan ndelengi sakabehe isi kamar. Sepisan ana ing pojok kiwa ana alat bantu oksigen, banjur mu­beng searah jarume jam, ana cedhake la­wang ana tempat sampah cilik. Terus ana ing pojok tengen ana alat bantu nglairake. Pungkasane ana ing tengene patidhur pasien ana meja pasien.
Jane, katone Rista durung arep ngu­wisi padelengane mau, nanging merga keganggu ana dokter sing katone lagi kesusu mlebu ana kamare Rista amarga arep nemoni dokter Bowo sing lagi nangani Rista. Mulane Rista banjur ngu­wisi padeleng lan genti nggatekake dokter sing lagi teka mau. Padeleng mripate Rista marang dokter Irvan, mengkono jenenge dokter mau, kaya lagi kaweruhan setan wae, mantheng lan ora kedhep babar blas.  Saiki mripate Rista temuju ma­rang kan­thong ana ing klambi sragam dokter Irvan. Saktleraman ana gunting bedah.
Ora dinyana ora dikira, ujug-ujug Ristra nyaut gunting bedhah mau lan sreeeett…
“Ampuni kula Gusti, ampunilah kula Gusti!”  jerite Rista melengking-lengking.
Krungu panjerite Rista mau, pikire Drajat nggrambyang, kelingan jaman padu karo ibune. Wektu kuwi ibune ora kandha dhisik marang Drajat, menawa bonsai ke­sayangane Drajat diwenehake marang dokter sing nambani penyakit kan­­kere ibune. Nesune Drajat temenan­an, malah nganti sawetara wektu Drajat ora aruh-aruh karo ibune. Malah wektu kuwi ibune banjur mulih menyang ndesa­ne amarga ora tahan dinesoni anake dhewe. Nganti wektu ibune tinimbalan dening Gusti Allah, Drajat ora kober njaluk ngapura. Drajat sadhar ora pengin mba­leni ke­sa­lah­ane biyen. Ora suwe Drajat banjur nga­­deg mlayu mulih arep ngedol bonsai­ne. Lan dhuwite arep kanggo pra­beya ope­rasi bojone.
Ora suwe Drajat olehe lunga. Saiki wis teka maneh ing rumah sakit. Sak durunge Drajat mbalik ana ing kamare Rista, dhe­we­ke tumuju ana ing kantor administrasi dhisik, arep nyerahake dhuwit kanggo operasi. Nanging pihak sing ngurusi ke­uangan rumah bersalin mau ngakon ma­rang Drajat nemoni dokter  Bowo dhisik. Lagi pirang jangkah Drajat mlangkah, ana swara nyeluki deweke.
“Lho, Pak Drajat ana kene ta?” Kula nggoleki sampeyan. Wonten bab wigati sing ajeng kula kandhakake.”
“Kleresan Dok, kula inggih badhe ke­panggih panjenengan. Wonten bab wigati ingkang badhe kula aturaken.”
“Bab bojo sampeyan, ta?”
“Mekaten Dokter, kula kepengin bojo kula dioperasi kemawon. Kula mboten tegel kaliyan kawontenanipun bojo kula.”
“Oalah Pak, saiki  anak sampeyan wis lair slamet, kembar lanang.”
“Gusti. Anakku… anakku wis lair, Dok­ter?!”
“Bener, pak!” dokter Bowo nyalami Drajat.
“Matur nuwun, Dokter, matur nuwun, Dokter!”
“Pak Drajat, kudhu matur nuwun karo bojo sampeyan. Amarga dheweke dhewe sing bisa marakake anak sampeyan lair slamet.”
“O, inggih Dok, pripun kahananipun bojo kula, Dokter?”
“Mangga Pak,” Dokter Bowo ngomong karo ngajak Pak Drajat nuju kamar kerja­ne. Drajat diajak mlebu ana kantor pri­badine dokter Bowo mau. Ana ing njero kantor, dokter Bowo nglanjutake omong­ane.
“Wektu iku kabeh dokter mbantu su­paya bojo sampeyan bisa nglairake nor­mal. Sak tenane jabang bayi angel metu­ne amarga bangkekane bojo sampeyan cilik, ditambah bayine kembar sisan. Mula kabeh dokter mutusake kudu operasi Caesar. Merga wis diputusake mengkono aku banjur nggoleki sampeyan, ajeng njaluk persetujuanipun.”
“Mboten napa-napa, dok. Pinten ma­won  beayanipun, badhe kula tanggung.”
“Sekedhap Pak Drajat…”  dokter Bowo gojag-gajeg arep nerusake omonge.
“Wonten napa, Dok?
“Wektu kabeh dokter arep metu ngrem­bug kahanane bojo sampeyan. Rasti nju­puk-nyaut gunting bedhah ana sakune dokter Irvan. Olehe njupuk gunting cepet banget. Ora nyana, bubar kuwi dheweke banjur nyuwek wetenge dhewe nganggo gunting mau. Rasti banjur njupuki dhewe jabang bayi sing ana wetenge dhewe. Mula saktenanne bojo sampeyan dhewe sing tumindak ngoperasi. Anak sampeyan slamet sakloron, ning kanthi abot manah kula ngandhakake menawa bojo sam­peyan ora bisa dislametake.”
“Dhuh Gusti…Gusti ampuni kula!!” bola-bali Drajat nggetuni kahanan kuwi.
“Aku sing salah Gusti, Aku sing wis ndadekake bojo kula pejah. Ampuni kula Gusti…!! Ampuunn…!!
Raga lan  jiwane Drajat drop, dheng­kule kedher, jantung lan getihe kaya-kaya mandheg. Drajat ambruk ana njobin, ndlosor banjur mbrangkang lan sendhen ana tembok. Mripate mlolo ora kedhep, dheweke kelingan ibune. Susahe Drajat tambah mucuk nalika mangerteni  kaha­na­ne bayine sakloron. Awake cilik men­thik, malah bisa diarani kerdhil. Driji sikil karo tangane ora amung cacah lima na­nging gunggung wolu, persis kaya bonsai.***

Sumber: Majalah Penjebar Semangat Versi Online.



ORA KAGODHA
Anggone  nyambut   gawe dadi tukang becak wis suwe banget, wiwit manten anyar nganti nduwe anak papat. Isih diayahi kanthi rasa tanggung jawab sarta ora nduweni rasa aras-arasen babar pisan. Kanggone Durasim, kendharaan rodha telu kuwi wis dianggep kaya dene sawah sing wulu pametune kanggo ngu­ripi anak bojo mben dinane. Satemene biyen tau banting stir bakulan pitik  sing ora patiya rekasa. Ning jebul malah kerep rugi. Mbomenawa wae pancen wis ditak­dirake dening sing ngecet lombok ma­nawa garis uripe  kadidene tukang mancal becak.
Dina kuwi isih jam sepuluhan nanging  panase wis krasa sumelet. Karo methang­krong neng ndhuwur becake, bola-bali Durasim ngelapi raine sing gemrobyos nganggo andhuk cilik kang dikalungake gulu. Durasim ajeg mangkal neng pra­patan ringin kembar. Diarani prapatan ringin kembar merga ing kiwa tengene prapatan pancen thinukulan wit ringin kang padha gedhene. Durasim banjur ngetoka­ke udud klobot saka sak clanane. Sakwise  disumed dheweke ngematake anggone ududan sinambi  ngenteni tekane penum­pang. Rokok sakler sing disedhot wis meh entek naging penumpang sing diarep-arep blas durung ana sing kemliwer. Ka­mangka biyasane yahmono kuwi dhewe­ke paling ora wis narik  pindho.
”Man, iki dina apa ta?” pitakone Du­rasim marang Suliman, kancane becakan sing uga mangkal ana kono.
”Genah dina Slasa ngene kok, pikun pa piye kowe kuwi,” semaure Suliman karo mijet ban becake ngarep mburi.
“Gak ngono, kok penumpange sepi men? Apa kira-kira pas dina apese awake dhewe?” ujare Durasim karo ngguwang rokok sing kari tegesan. “Nek ngene iki penak dadi pegawe negri ya, nyambut ga­wene alus mben wulan enek sing di­jagakne,” panggresahe Durasim.
“Menungsa mono sawang sinawang, Kang. Kaya dene gunung kae yen di­sawang saka kadohan katon endah. Ning bareng dicedhaki jebul kebak watu-watu padhas lan ri bebondhotan. Kok kira para pegawe negri iku gak sambat? Awake dhewe iki ibarat padasan, yen diiseni banyu kebak mancure iya banter. Semono uga nek kari setengah utawa meh asat  mancure ya alon.”
”Ya ana benere omonganmu”.
“Mulane gak usah nggresula. Pegawe negri mono biyene sekolah dhuwur lan ngentekake ragad akeh. Wis sakmesthine yen tembene nyambut gawe kepenak, bayarane gedhe. Lha nek aku karo kowe sekolah wae mung trima lulusan SD, mula­ne nyambut gawene ya nganggo okol.  Ning sing penting khalal lan tansah diparingi seger kuwarasan. Najan kaya ngene asile isih bisa  kanggo nguripi anak bojo.”
“Becak, Pak!”
Durung nganti Durasim nganggapi omongane Suliman, kesaru tekane wanita umur-umuran likuran taun celuk-celuk arep numpak becak. Durasim lan Suliman gageyan menyat saka lungguhe banjur nata becake.
”Aku apa awakmu sing narik,” pitako­ne Durasim.
“Kowe dhisik ora papa, Kang. Mengko nek eneng penumpang maneh  giliranku,” kandhane Suliman.
Durasim banjur nginger becakake lan dipapanake ana sangarepe wanita mau.
“Badhe tindak pundi, mbak?” pitakone kanthi unggah-ungguh alus.
“Terminal, Pak. Pinten ongkose?”
“Biyasa mbak, pitung ewu.”
“Nggih pun, mangga nek ngaten,” wang­sulane kenya kuwi banjur nata bo­konge sing katon montog neng ndhuwur becak. Ganda wangi parfum nyegrak  irunge Durasim. Yen nyawang sragame putih-putih, penumpange kuwi cetha sa­wijining pegawai kesehatan. Rodha becak ngglindhing lon-lonan tumuju arah terminal. Swarane gumerit kriyet-kriyet, kala-kala pating glodhag uger bane ngambah jeglongan.
Karo mancal becake, sadalan-dalan Durasim nggagas uripe sing tansaya suwe dirasa tansaya abot. Kaya-kaya ajine dhuwit saka anggone mbecak ora mbejaji yen dibandhingake undhak-undhakan rega kebutuhan. Kebutuhane saya akeh, nanging reregan saya nekak gulu. Wis ngono penumpange  saya sepi sebab wong-wong wiwit padha wegah numpak becak lan pilih kredit sepedha motor.
“Kendel sekedhap, Pak!” abane kenya kuwi karo mlengak memburi menehi kodhe supaya mandheg. Durasim agahan ngerim becake.
“Enten napa, Mbak? “
”Kula tak mampir dhateng supermarket sekedhap, njenengan tengga. Mangke ongkose kula tambahi.”
Kenya manis mau banjur mlebu super market. Sinambi ngenteni penum­pange, panyawange Durasim tumuju wong-wong sing mlebu metu super market. Wong-wong mau padha nggawa blanja mbrengkut. Sandhang pengang­gone resik tur necis, ora kaya bojone sing lagi ana omah. Aja maneh kok diajak blanja menyang super market, sedhenge blanja neng toko pracangan wae bojone asring utang. Saploke bebojowan Dura­sim rumangsa durung bisa mulyakake sing wadon. Tujune bojone kuwi klebu wanita sing nrima lan gelem diajak urip sengsara.
Dumadakan Durasim weruh  dhompet warna ireng gumlethak ana ngisor beca­ke. Kanthi gurawalan dhompet dijupuk. Sawise diiling-ilingi sedhela, tanpa di­bukak dhompet banjur dilebokane kothak dicampur karo peralatan becak. Pikirane malih semrawut. Yen isine dhompet mau dhuwit terus arep diwenehake sapa wong dheweke ora ngerti sing duwe. Upama di­wenehake satpam  gek-gek malah ora bali marang sing duwe merga jaman akeh uwong sing ora kena dipercaya. Durung mari anggone nglimbang-nglimbang,  penumpang sing dienteni mara karo nyang­king blanja rong kardhus.
“Ngapunten Pak, radi dangu,” ujare kenya mau karo mapanake kardhus ing pangkone.
“Mboten dados menapa, Mbak.”
Pedhal becak dipancal ninggalake pla­taran super market tumuju terminal. Ning sadalan-dalan Durasim mikir dhompet sing lagi wae ditemu. Upama bener ana dhuwite  terus arep dibalekake marang sapa? Apa digawa mulih wae, sebab dhe­weke lagi butuh dhuwit kanggo nyaur utang lan ngobatake anake sing nan­dhang lara. Rasa kesel lan sumelete sre­ngenge ora dirasakake. Pikirane mung ketuju marang dhompet. Durasim nggen­jot becake daya-daya tekan terminal sebab selak ora sranta kepengin ngerteni isine dhompet mau.
Sawise ngudhunake penumpange ana terminal, becak banjur diputer menyang panggonan sepi. Tekan gang-gangan ngi­sore wit mahoni dheweke mandheg. Tanga­ne ngrogoh dhompet sing disimpen ana kothak. Kanthi tangan gemeter alon-alon dhompet dibukak. Durasim sum­lengeren bareng weruh yen isine dhom­pet iku jebul dhuwit bendhelan rong yuta. Dheweke bingung awit ya lagi kuwi sak umur-umure nyekel dhuwit semono akehe.
Tuwuh pikirane sing ora-ora. Kelingan  tanggane sing uga tau nemu dhuwit yutan. Dhuwit temon kuwi banjur kanggo ma­ngan lan nyandhangi anak bojone. Sisane kanggo ngrehab omah. Nanging sawise kuwi kulawargane genti-genten kena musibah. Ngelingi kuwi kabeh  Durasim sing sekawit kepingin ngepek dhuwit nang njero dhompet mau banjur dadi kendho. Karo maneh dhuwit kuwi dudu hake lan kudu dibalekake marang sing duwe.  Ning banjur piye carane mbaleka­ke?
Tangane Durasim banjur ngrogohi slempitan dhompet kang isi SIM, STNK, ATM lan kertu tandha anggota (KTA) bidhan. Dheweke saya kaget sakwise namatake foto KTA. Durasim durung lali, foto kuwi fotone kenya sing mentas di­tera­ke. Jenenge Ayu Ariyanti, alamate ing Rembang. Durasim bali lenger-lenger. Anggone niyat mbalekake dhompet dadi mangu-mangu awit Rembang mono adoh saka omahe ing  Bojonegoro. Mokal yen dheweke bakal ngeterake dhompet mau menyang Rembang. Ning Durasim ayem bareng diwaca maneh jebule ing KTA ana nomer telpun omahe Ayu.
Karo unjal  ambegan landhung, Dura­sim bali nggenjot becake, nrobos panase kutha mecaki panguripan sing nyamut-nyamut. Durasim, senajan jamane wis edan nanging emoh melu ngedan.
(Cuthel)
Sumber: Majalah Penjebar Semangat Versi Online.


Botol Plastik
“Wis seger ya”, ngono sapaku ma­rang prawan setengah tuwa, bintang si­ne­tron, sawise dheweke adus. Aku pan­cen nunggoni aneng kono. Nyawang olehe reresik awak. Wiwit sikatan, kramas, sa­bun­an, nggebyur lan babar pisan umbah-umbah panganggo jerone. Prawan iku ora nggape, malah rengeng-rengeng lagu­ne Didi Kempot. Awake katon weweg. Bubar adus krasa bingar, seger. Pancen sedina kuwi hawane krasa panas, sumuk. Dheweke ora wangsulan. Pancen sajake ora krungu panyapaku.
Sedina iki mau dheweke lagi prei, ora ana jadwal syuting. Wingi-wingi meh saben dina lunga, kadhang tekan bengi. Dadi bin­tang sinetron seri lan disiarake ana tele­visi saben dina. Istilahe kejar tayang. Pan­cen ya kesel temenan. Nanging asile lu­ma­yan. Sebab nadyan durung rong taun di­kontrak dadi peran pembantu, saiki dhe­weke wis duwe sepedha-motor anyar. Sandhangane uga tambah akeh lan apik-apik modhele. Senadyan umure wis ngan­cik telungpuluh telu, nanging katon isih luwih enom. Awit awake kerumat.
Rumangsaku dheweke ya prawan lum­rah. Praene ya manis, ora angkuh, ya nger­ti unggah-ungguh. Ora gampang nesu, kepara sok ngalah. Apa maneh karo Rawi,  siji-sijine adhine lanang, sing dadi bos pulsa tilpun seluler lan duwe kios cacah ro­las. Nadyan wis bisa golek dhuwit dhewe, malah wis duwe sisihan lan anak lanang siji, Rawi kadhang isih sok mbeda mbakyune.
“Ndi mbak, tukon rokoke!”
“Jare dadi bos pulsa, dhuwit rokok bae sambat!” Mbakyune ganti melehake, nanging ya sambi tangane ngulungake rongpuluhan ewu rong lembar.
“Kesuwun, kesuwun. Dhuh, cen mbak­yuku temenan.”
“Ki daktambahi, tukokna mobil-mobil­an kanggo anakmu!”
“Kesuwun. Alhamdulillah.”
Wis ana patang pasaran aku manggon ing kamar-mandhi pribadhine, kang cedhak karo kamar paturone. Kadadeyan apa wae ing kono, sithik-akeh aku krungu lan ngerti. Kaya rong dina kepungkur, prawan kuwi – o, iya jenenge Wuri — dilamar wong saka Semarang. Jarene dhudha anak loro, sudagar barang rongsokan nanging sugih. Dhudha mau asring nonton lakon sinetro­ne, suwe-suwe kasengsem. Ning ya mbuh, kaya-kaya Wuri durung gelem.
Kuwi kabeh satemene kadadeyan biyen. Watara setengah taunan sing wis kliwat. Saiki aku wis ora manggon aneng kamare Wuri maneh. Aku wis pindhah. Dhe­weke ya wis lali marang aku. Lali te­men­an. Anggepe aku wis dadi titah tanpa aji. Aku uga babar blas wis ora nate ngerti kepriye nasibe, wis sida oleh jodho apa durung. Elingku, ing sawijining sore, Wuri adus kramas. Aku luntak-luntak. Sakabeh sisa sing ana ing gembungku kasuntak entek. Awakku pegel kabeh, sirahku krasa puyeng. Nanging isih lamat-lamat krungu swarane Wuri. Ing kamar mandhi re­ngeng-rengeng lagu lawas, Bujangan, anggit­ane band Koes Plus.  “……Begini nasib jadi bujangan, ke mana-mana, asal­kan suka, tiada orang yang melarang …..” Apa iku ateges Wuri pancen isih seneng dhewekan, aku ora ngerti.Saka dayane cahya mau, aku kaya-kay kasedhot. Kaya-kaya dijunjung mabur sandhuwuring tlaga.
Sawise kuwi aku ora eling. Aku sema­put. Aku ora krasa yen esuke disingkirake Wuri. Ora krasa yen banjur dilarung aneng kali Bogowonto. Ora krasa uga yen telung dina aku kenyut ilining banyu. Nanging sajroning semaput aku malah ngimpi. Kaya-kaya aku nglangi aneng tlaga lendhut. Kuwi tlaga lendhute Ble­dhug Kuwu utawa  tlaga lendhute Sido­arjo, ora pati cetha. Mung rumangsaku, aneng kono anggonku nglangi krasa abot. Napasku ngos-ngosan, krasa panas. Kaya-kaya arep ora kuwat. Nanging ndilalah kersaning Allah, dumadakan saka langit sisih wetan, sacedhaking lintang Panjer Esuk, kaya ana cahya nyemburat warna jingga. Saka dayane cahya mau, aku kaya-kaya kasedhot. Kaya-kaya dijunjung ma­bur sanduwuring tlaga. Mubeng-mubeng sawetara, ngliwati gunung Merapi, ngli­wati Gunung Kelud dan Semeru. Sarwa cepet. Ngerti-ngerti mudhun aneng pu­cuk­ing Gunung Agung ing pulo Bali. Rumangsaku, ing kono awakku dadi wangi. Di­rubung kupu lan tawon madu. Nalika aku kepingin njegur aneng tlaga Kintamani, tan ka­nyana aku nglilir. Aku sa­dhar saka semaputku.
Ujare wong akeh, jare impen kuwi mung kembang­ing turu. Sawetara  pangan­dikane para pujangga ana uga impen sing ngemu pra­lambang. Aku ora ngerti lan ora nate neges-neges apa im­penku biyen. Mbuh pra­lambang, mbuh kembang turu. Nanging kabeh kang ka­dadeyan dumunung sanjaba­ne pangiraku.  Saiki aku lung­guh aneng kursi empuk. Sa­kiwa tengenku kebak kem­bang paesan. Ngganda wangi, amarga kala-kala di­semprot parfum. Ya saiki iki aku dadi pajangan aneng kothak kaca sajroning mall kutha Surabaya. Pancen na­sibku kadidene cakra mang­gilingan. Tau kepenak kaya ing omahe Wuri. Tau ora re­kasa nalika dilarung ing kali, campur rereged warna-warna. Ning begjaku, saka pinggir kali, aku diopeni dening tu­kang-batu sing bojone makarya dadi peng­rajin boneka saka barang bekas. Awakku sing langsing diupakara, didan­dani, diklambeni, dibengesi lan liya-liyane. Pungkasane dadi boneka cantik, sing di­senengi anake wong-wong sugih. Wah, rasane seneng tenan.
Urip aneng kono kanyata ora suwe. Aku dipundhut dening mbak Tery kanggo hadhiah tanggap-warsa putrine, sing ngancik patang taun. Mbak Tery kuwi bojo­ne Om Trialdo, yaiku pemain bal saka Brasil sing dikontrak kumpulan bal-balan Bratasena FC. Wiwit kuwi aku meh saben dina ngancani Mirdha, prawan cilik sing tregil, yen melek meh ora tau leren ang­gone dolanan. Kadhang aku dijak nyanyi, njoged, utawa nyandiwara. Mirdha dadi ibu, aku dadi anake. Mangkono sadina-dinane.
Klakon setaun Om Trialdo ganti di­kontrak kumpulan bal-balan Barito FC ing Kalimantan. Mirdha lan ibune melu pin­dhah mrana. Jalaran keburu-buru, ora kabeh barang-barang darbeke digawa. Sa­bageyan sengaja ditinggal, sabageyan ketriwal. Klebu aku dhewe, boneka cantik sing dumadi saka botol plastik, melu sing kesingsal. Esuk mau wis kesampar saka dhapur tekan luwangan uwuh. Awan mau kena panase sang surya tanpa bisa su­wala.
Sore iki si Kacung, nom-noman tangga sing sok dikongkon resik-resik, kla­kon ngo­bong uwuh. Ateges ya babar pisan ngo­bong awakku. Awakku nglinthing ke­panasen. Ora nganti se­prapat jam wis dadi areng, dadi awu. Awakku sirna, mus­na. Kari sukmaku mba­leni impen lawas. Mabur. Sandhuwure gunung Mer­babu, ngli­wati gunung Kelud lan Semeru. Na­nging ora tekan pulo Bali. Malah mengalor nyebrang segara, tumuju menyang Ban­jar­masin. Ngetutake sedulur sinarawedi, Mirdha, anake mbak Tery. Nanging ora suwe. Aku nglayang ma­neh, ngidul-ngulon. Ngli­wati bengawan Solo lan kali Bogowonto. Sedhela mam­pir ana omahe tukang-batu sing nate nu­lungi awakku. Terus ma­ngu­lon. Pungkas­ane tekan sawijining pe­rumahan ing tlatah kutha Bogor. Tekan omahe Wuri sing anyar. Aneng peta­man­an mburi omah, dheweke lagi lung­guhan karo sawijining priya bagus. Kekarone katon kaya Pranacitra lan Rara Mendut lagi padha pacelathon. Mbuh apa sing lagi pada direm­bug. Mbuh!
SEPURE WIS MANGKAT
AKU nyawang arloji, jam 10 kurang limang menit. Saka speakere stasiun Tawang, Semarang keprungu lamat-lamat lagune Sony Jozh.  Ora rinasa eluhku tumetes. Tembang kang mentas tak rungu mau  malah njejuwing rasa pangrasaku. Kaya lagi nyemoni apa kang tak lakoni saksuwene iki. Gawang-gawang  ing mripatku lelakon seminggu kepungkur  ing stasiun iki ya ing kursi kang saiki tak lungguhi. Lelakon kang  njalari ati kang sasuwene aku bebojowan mati dadi urip maneh.
Anggonku bebojowan cukup suwe nanging durung kaparingan momongan. Sepining batinku saya ngambar-ambra awit saploke ningkahan arang kadhing kumpul bojo merga dipisahake dening jarak. Aku nyambutgawe ing pamulangan luhur negri ing Semarang dene bojoku ngasta ana perguruan tinggi ing Bandung.  Satemene ora kurang-kurang anggonku mbudidaya amrih bisa nyawiji karo bojoku nanging engga seprene durung bisa kaleksanan.
Rasa tresnaku marang mas Bas, bojoku, dadi luntur mbaka sethithik engga wusana ilang kasaput angin. Wis ora ana rasa apa-apa marang mas Bas sanajan yen pinuju ketemu ngana kae ya nindakake kaya satataning wong bebojowan. Rumangsaku rasane anyep tur ampang. Nanging ndilalah ana kedadeyan  ora kanyana kang ndadekake atiku murub maneh. Yakuwi nalika ana tamu saka Jakarta sakperlu ngoreksi utawa monitoring marang penggaweyan kan dadi tanggung jawabku. Gawang-gawang kadadeyan seminggu kepungkur bali cumithak ana angen-angenku.
“Saya besok naik Kereta Gumarang dari Jakarta, sampai Semarang jam 13.00”, ngono unine sms kang mlebu Hpku nalika iku.
“Baik Pak, kami usahakan untuk menjemput bapak ke stasiun”,  aku mbalesi.
Aku banjur ngajak pak Pur, sopir lembaga lan Bu Ati, staf kantor,  supaya ngancani aku  mapag rawuhe tamu saka Jakarta mau. Nanging najan wis meh sakjam anggonku ngenteni sepure meksa durung teka. Kamangka kudune sepur wis mlebu stasiun Tawang  jam 13.00 nanging iki nganti jam 14.00 kok ya durung teka.
Nalika atiku goreh, saka speaker keprungu pengumuman menawa sepur sing dak antu-antu wis nyedhaki stasiun. “Perhatian untuk para penumpang, Kereta Api Gumarang jurusan Jakarta – Semarang sebentar lagi akan memasuki stasiun.”
Ora let suwe penumpang wis pating brubul metu saka gerbong. Nanging aku  durung weruh  Pak Pramujo, ya tamu saka Jakarta kuwi.
“Selamat siang Bu, selamat bertemu kembali.”
Aku kaget, lha wong kene lagi menthelengi penumpang sing ndlidir metu saka stasiun  kok mara-mara piyantune malah wis ana jejerku. Pak Pram ngathungake tangan ngajak salaman.
“Selamat siang Pak, selamat datang di Semarang. Semoga perjalanan Bapak tidak ada halangan apapun,” aku mangsuli karo nampani astane.
“Langsung ke hotel saja Pak,sudah kami pesankan.”
“Ya Bu, saya ngikut saja.”
***
Wis rong dina papriksan berkas lan bukti lapangan katindakake dening Pak Pram. Maneka warna sing ditakokake, ewadene ya isih akeh sing dianggep kurang sampurna. Aku rada kaget karo sikepe Pak Pram. Dek semana nalika aku ngaturake proposal menyang Bogor sikepe cuek. Mesem wae ora. Nanging bareng saiki ketemu ana lapangan jebul akeh guyone lan nyumadulur. Kanca-kancaku sakantor melu seneng marang sikepe Pak Pram kang ora galak kaya pengawas sing uwis-uwis. Rong dina dudu wektu sing suwe tumrapku, nanging keconggah ngurupake genining atiku sing wis kebacut mati. Tuwuh  rasa senengku marang Pak Pram sing kebapakan lan simpatik mau.
“Besok pulang ke Jakarta jam berapa Pak?” pitakone Bu Ati  nalika Pak Pram wis rampung niti priksa berkas lapuran.
“Jam 10 siang Bu.”
“Baik Pak, besok saya siapkan mobil untuk mengantar Bapak,” aku nyaut sebab minangka ketua proyek aku rumangsa duwe tanggung jawab marang panjenengane.
***
“Maaf Pak, tidak ada mobil kantor dan sopir yang nganggur. Terpaksa saya sendiri yang ngantar Bapak dengan sepedhah motor,” kandhaku nalika Pak Pram wis samapta ing lobby hotel.
“Tidak apa-apa Bu, yang penting saya bisa sampai stasiun. Naik taksipun boleh jika terpaksa,” wangsulane Pak Pram andhap asor.
Alon-alon motor tak lakokake tumuju stasiun. Sakdawane mlaku menyang stasiun ora akeh kang bisa dianggo bahan obrolan, luwih akeh meneng-menengane sinambi ngenam pikirane dhewe-dhewe. Nanging ya sakdawane mboncengke Pak Pram mau atiku saya ora karu-karuwan. Rumangsaku kaya lagi boncengan karo pacar.  Tekan stasiun karepku arep ngeterake mlebu nanging dicandhet dening Pak Pram.
“Tidak perlu diantar sampai dalam Bu, cukup sampai disini saja.”
“Tidak apa-apa Pak, wong saya juga sedang tidak ada kegiatan”, kandhaku karo nyangking oleh-oleh kang arep digawa Pak Pram. Oleh-oleh pitukone kanca-kanca, makanan khas Semarang-an, kalebu bandeng dhuri lunak. Pak Pram mesem lan ngetogake aku melu mlebu peron.
Aku melu lungguh ngancani Pak Pram, nunggu sepur kang arep nggawa panjenengane kundur Jakarta. Ya ing ruwang tunggu iki  akeh obrolan kang kawetu saka lambeku lan lesane Pak Pram. Sejatine mung ngobrol wajar, nanging cilakane malah dadi ora wajar tumrapku. Aku bola-bali nyawang pasuryane Pak Pram kanthi premati. Ya lagi ing stasiun iki aku bisa taneg ngematake pasuryane sing bagus jalaran sasuwene rong ndina ngancani panjenengane ora kober nggatekake. Tak sawang-sawang kok tambah nengsemake. Atiku kaya urip lan rasa pangrasaku mumbul maneh. Ati lan pangrasa kang wis lawas mati marga ora tau diopeni bojo.
Durung tutug anggonku ngobrol sinambi ngematake pasuryane Pak Pram dadak keprungu aba-aba yen sepur jurusan Jakarta arep mlebu stasiun. Pak Pram menyat siap-siap ana pinggir ril.
“Saya bawakan salah satu tasnya Pak,”  kandhaku karo nyangkingke tas oleh-oleh.
“Nggak usah Bu, saya sendiri bisa kok,”  wangsulane pak Pram karo mesem.
“Tapi kan repot,” kandhaku.
Bareng sepure wis mlebu, aku lan Pak Pram munggah gerbong 2 nggoleki kursi 10 C.  Sawise kursine ketemu lan barang wis diunggahke nduwur bagasi, aku nyawang penumpang kenya  merak ati  kang bakal dadi kancane Pak Pram lenggah. Ana rasa ewa ing atiku, yagene dudu aku sing njejeri penjenengane tumuju Jakarta?
“Hati-hati Pak, selamat jalan,” kandhaku karo ngajak salaman.
“Ya Bu terima kasih atas semuanya dalam melayani saya selama disini,” wangsulane Pak Pram karo nggegem tanganku  kenceng.
“Sama-sama Pak, saya turun dulu,”  aku banjur mlaku metu saka gerbong.
Ing ruwang peron aku kepikiran marang wanodya kang ana jejere Pak Pram. Aku cemburu marang wanita kuwi nadyan ya ngrumangsani apa hak-ku nyujanani dheweke. Uthag-utheg aku nggrayahi HP ing njero tas, banjur ngetik sms. “Hati-hati di jalan Pak, jangan sampai dekat-dekat dengan cewek disamping Bapak lho.”
Sms banjur tak kirim marang Pak Pram. Tak tunggu nganti suwe durung ana wangsulan. Nganti sepure mangkat aku isih ngarep-arep wangsulane sms saka Pak Pram. Uga ngarep-arep mbukake lawang ati, lawang ati kang durung tak ngerteni apa isine. Sepure wis mangkat nggawa atiku kang sakdurunge kaku  kaya watu kang saiki wis lumer. Lumer dening sikepe Pak Pram semanak lan simpatik. Kang terus tak eling-eling mung ngendikane Pak Pram nalika pamitan marang kanca-kanca, “Ke Semarang lewat Pati. Semoga diwaktu mendatang bisa sampai kesini lagi”.
Kula tengga rawuhipun, Pak!.
(Cuthel)
Sumber: Majalah Penjebar Semangat Versi Online.
TAMBANE KEBUNTEL JARIT
Ing Dawung ana randha jenenge Sablah. Awake lemu ginuk-ginuk, solah bawane tregal-gregel nggemesake. Nanging ora merga awake kang lemu dheweke diceluk Sablah. Wiwit awake durung mbedhah dheweke wis ketelah Sablah. Yektine mono jenenge sing asli Salbiyah. Sablah duwe anak lanang siji, jaka kemala-mala, jenenge Beja. Jejere bocah desa anak randha, Beja kegolong bocah sregep nyambut gawe. Ndhaut macul kulina. Senajan ora duwe garu luku dhewe, yen kon mo­cok nggaru ngluku ya bisa. Pokoke srabutan pegawe­yan apa wae gelem nandangi. Malah duwe sawah sak lupit tinggalane bapakne swargi uga digarap dhewe, ora disewakake. Babagan ibadah, Beja ya seneng sholat berjamaah lan sregep yen diajak melu pengajian.
Mung kuciwane, dheweke yen pinuju prei, seneng ndhewe. Lungguh thenguk-thenguk ing lincak teras omahe. Pandulune nrawang adoh, sajak ana masalah kang lagi nggubet atine. Emane maneh, sifate tertutup. Ora tau blaka marang simbokne utawa kanca rakete.
S : “Kowe kuwi jane mikir apa ta Le. Kok sajak ana masalah kang lagi kok adhepi. Mbok ya blaka wae marang simbokmu iki. Sapa ngerti aku bisa urun rembug kanggo ngudhari benang ruwet kang nggu­bet atimu!”
B : “Ora ana apa-apa kok mbok. Ya mung sayah merga dhek esuk rada sengkud nggonku macul neng sawah!”
Saben-saben ditlesih anake lanang ora gelem blaka. Parandene sing tuwa ya ora kemba. Ing ka­lodhangan liya Sablah takon maneh.
S : “Apa kira-kira kowe seneng numpak Honda kaya kanca-kancamu kae, yen pancen ngono ya sawah sailat tinggalane bapakmu kae tak dole!”
B : “Ah, simbok ki kok olehe ana-ana wae. Yen nganti sawah kae didol, lha njur sing arep kanggo cagake urip awake dhewe apa? Apa mung ngendelake olehku buruh ndhaut lan macul? Oleh-olehane simbok buruh matun lan tandur? Hiya yen tansah ana sing buruhake. Lha yen ora njur kepriye. Karo meneh mbok, sing jenenge Honda, Suzuki apa Yamaha kuwi rak butuh bensin lan oli lsp. Durung yen wis duwe BPKB lan STNK, isih butuh SIM. Lah marake rebyeg mbok. Mancal sepedha onthel wae malah ora butuh thethek-bengek. Malah bisa ndayani awak bagas-waras, sehat-walafiat.
Senajan ta wis didhedhes-dhedhes si Beja ora blaka. Nanging simbokne yakin hakul yakin yen anake lagi nandhang kasangsaya. Kanggo miyak wewadi kang lagi digembol anake mau, pepuntone Sablah sowan wong tuwa, mbah Amat Sidik ing Magangan.
Sawise matur purwa, madya wasana ing ngarsane, mbah Ta Sidik, priyayi sepuh kang wis dianggep waskitha mau ngendika: “Anakmu pancen lagi nandhang lara. Nanging ora perlu mbok tambakake menyang Mantri Kesehatan utawa Dokter. Jalaran yektine tambane wis cumepak ing sakiwa tengene omahmu utawa sakiwa tengene Dawung.
S : “Lajeng jampinipun anak kula niku napa mbah?”
A : “Jajal golekana dhewe, anakmu tambane kebuntel jarit!”
S : “Menawi mekaten keparenga kula nyuwun pamit. Badhe madosi tambane anak kula, ingkang kebuntel jarit menika mbah”.
Dingendikani mbah Sidik mengkono mau, si Sablah sak tekane ngomah, ora sranta, sakanane jarit kang dilempit ing jero lemari diwetokake kabeh. Dijereng dijembreng, dititi digoleki mbokmenawa ana apa-apane. Parandene kabuk, ora nemu apa-apa. Durung marem atine saiki genti jarit sing diklumbrukake ing was­kom. Kaya mau, jarit-jarit kuwi dijereng di­jembreng nanging meksa ora nemu apa-apa. Isih durung trima malah jarit sing mau esuk dipepe ing memeyan. Di­biyak, dikebut-kebutake. Asile : jasbukak blangkon lawon, sama jugak padha ma­won. Nihil. Tita yen wis ora bisa nemu apa-apa, kawetu pangresulane atine. Olehe ngresula ora cukup dibatin, nanging di­ucap­ake sora.
S : “Dhukun kalipah. Dhukun saiki bisa­ne ngakali opah. Jare tambane ke­bun­tel jarit, nyatane jarit-jarit sing tak lem­­pit ning lembari, jarit-jarit sing tak klumbrukake ning waskom, nganti jarit sing tak pe ing memeyan kabeh ora ana apa-apane. Huh….”.
Ndilalah kersa Allah, nalika semana Karto Buwang liwat ing kana.
K : “Ana apa yu kok omong dhewe kaya wong owah pikire?”
S : “Lha iya kuwi To, jaman saiki sing jenenge dhukun kuwi anane dhukun kali­pah, dhukun sing gaweyane mung nga­kali opah!” Sablah nuli nyritakake kabeh lelakone ora ana sing kecicir. Sakwise ngerti sakabehe si Karto Buwang malah maido.
K : “O Allah ya kok olehe landhep dheng­kul pikire sampeyan!”
S : “Lho. Kowe kok malah maido aku ta?”
K : “Lha thik ora!”
S : “Genahe?”
Tangane Sablah dicandak digeret di­ajak lungguh ing lincak. Sakwise brayan lungguh jejer ing lincak, Karto nggena­hake.
K : “Jane mono ngendikane mbah Sidik kuwi bener. Ya mung sampeyan sing ke­bangeten bodhone!”
S : “Ora ngono To, mbok jajal genahna cethane piye!”
K : “Sing dikersakake mbah Sidik tam­bane kebuntel jarit kuwi dudu jarit sing mok lempit ning lemari, dudu jarit sing mok klumbrukake ing waskom lan ya dudu jarit sing dijereng ing memeyan. Nanging jarit kang lagi dienggo.
K : “Jarit sing lagi dienggo kok isa-isa­ne ing jerone ana tambane?”
K : “Sampeyan ora percaya. Nek sam­peyan ora percaya jajal ngadega ing nga­rep kene. Sakwise ngadeg, uculana kem­ben­mu bukaken jaritmu!”
Ditantang ngono Sablah sanalika nga­deg nyat. Nanging ora tumuli nguculi kem­bene apa meneh mbukak jarite. Mbok radha jajabang mawinga-winga.
S : “Edan pa To!” Kandane mampang-mampang karo tangane nudingi raine Karto kaya arep dikruwek-kruweka. Nuli bacute;
S : “Aku ngerti yen kowe kulina klaya­ban ing papan pelanyahan. Nanging yen kowe mentala akon nguculi kemben apa meneh mbukak jarit, apa ora ateges kowe mung butuh nontoni bekakasku?”
Dituding-tuding raine, diundhamana entek amek kurang golek Karto trima me­neng wae. Nanging bareng krungu tem­bung “bekakas” sak nalika kuwi guyune ambrol kaya bendungan jebol, “ha ha haaa”, sing ngadhepi dadi bingung.
S : “Kok malah cekakakan kaya wong edan?”
K : “Witikna sampeyan wis ngarani dhewe, wis bisa muni dhewe!”
S : “Ngarani apa, muni piye?”
K : “Lha kuwi mau; “bekakas”. Beka­kas kuwi apa ta Yu?”
S : “Bekakas ya onok onggrok kuwi!”
Guyune Karto wutah meneh. Malah karo tangane nggebrag lincak, kandhane:
K : “Lha kuwi Yu. Lha ya kuwi sing mbok goleki kit mau ora ketemu. Lha ya kuwi tambane anakmu lanang si Bejo. Mung wae genah dudu “bekakas” sampe­yan dhewe, nanging bekakase kenya apa lanjar sing dadi panuju pranane anakmu lanang!”
Pratelane Karto sinambi genti nuding-nuding, ning si randha babar pisan ora nesu. Malah kang sekawit mampang-mam­pang kaya Baladewa ditantang pe­rang, dadi lemes kaya Baladewa ilang ga­pite. Sablah bali lungguh lincak. Tangane ngepuk-epuk pundhake Karto.
S : “O-alah To. Jebul genahe mono anak­ku Beja wis kepengin njaluk rabi”.
K : “Gene sampeyan ya ngerti!” karo isih kudu ngguyu lakak-lakak.
Sablah sing wis ngerti underane per­kara, kaya kena pengaruh guyune Karto. Dheweke melu-melu ngguyu ngakak. Dadi wong loro ngakak bareng: “Ha, ha, haaaaa!” (*)
Share this:


Tiba Kanteb
Pak Bayu Widodo sing purnawirawan mayor, esuk iki ora tindak-tindak kaya sabene. Penjenengane mung lenggahan njedhodhot neng kamar tamu. Ngrasakake si Gito Taryono, putra ontang-anting sing jarene kuliyah wis telung taun kok isih panggah semes­ter siji. Mbandhel, ndhugal, ndableg…, mara­kake mumet.
Dina-dina senengane mung kluyuran dolan irat-irit karo kancane gonta-ganti. Saiki wis ora wani nyuwun dhuwit bapak­ne, ning bu Bayu sing ora bisa endha yen disuwuni dhuwit putrane. Nyuwun pira-pira mesthi diparingi. Yen ora njur nesu lan ngamuk.
Wektu iku Gito metu saka kamar tangi turu, njur arep ngalih kamar tamu nyetel TV. Jegagik rada kaget bapake lenggah neng kono. Rekane arep mbalik neng kamar mandhi, ning karo pak Bayu di­timbali:
“Git, reneya… Kono lungguh!” gelem ora gelem Gito banjur lungguh ing kursi ngarepe bapake. Gito pancen wedi yen karo bapake.
“Git, ngapa yah mene kowe lagi tangi, geneya kok ora mangkat kuliah?”
“Kuliahipun mangke jam sedasa, pak, dhosenipun sami rapat.”
“Bapak kuwi anane mung ngandel lho Git, senajan ngerti yen bapak kerep mbok apusi. Lha kuwi nyatane kowe ora tau mung­gah. Piye yen mengko bapak wis wegah ngragadi? Dina-dinamu mung ngluyur ora juntrung karo cah adoh-adoh. Karo pemudha kampung kowe emoh sra­wung, kuwi jenenge rak kuwalik. Srawung baur neng masyarakat kuwi penting Git. Kaya sopire bapak mas Utomo kuwi. Ku­liyah wragad dhewe kanthi direwangi dadi sopir pocokan kana-kene. Merga anggone temen lan sregep sinau, saiki sekripsine wis rampung, ateges kari wi­sudha.
Pak Bayu meneng ngenteni reaksine Gito, sing tetep me­neng tumungkul ora mangsuli apa-apa. Sidane pak Bayu ne­rusake ngendikane rada sereng:
“Piye saiki, aku nanting tenan karo kowe, isih saguh kuliah, apa mung arep klu­yuran dolan dadi wong urak­an?”
Lirih semu wedi wangsul­ane Gito: “Inggih Pak, kula taksih sagah kiliyah”.
“Tenan lho…, wis kana… mung kuwi kandhaku.”
Gito ngadeg terus klithik-klithik neng kamar mandhi adus.
Let sedhela wis keprungu gebyar… gebyur. Ature Gito karo bapake mau embuh te­nan embuh ora. Ning gandheng wis jam sepuluh kurang seprapat, Gito nyang­klong tas, ngetokke montor, njur lunga kaya nek arep kuliyah. Pak Bayu mono priyayi kinurmat ing kampunge. Dhasar priyayi ana, neng kampung gedhe sosiale. Samubarang kanggo kebutuhan lan ke­majuwane kampung tansah kersa cawe-cawe. Mula ora mokal yen panjenengane diangkat minangka sesepuh.
Wayah sore, Gito maca koran neng taman ngarep teras. Ndadak keprungu wong uluk salam:
“Kula nuwun!”
Gito noleh arahing suwara, kaget lan gumun dene ana kenya ayu medhayoh. Nuli mangsuli karo gupuh ngadeg.
“O… mangga-mangga dhik”.
“Punapa bu Bayu wonten mas?”
“O… ibu ta?…, wonten dhik, sekedhap kula aturanipun.” Gito gage mlebu nggo­leki ibune, let sedhela wong loro wis metu nemoni dhayohe. Ngendikane bu Bayu:
“Wo, nak Prastiwi, mangga lenggah nak!”
“Inggih bu, matur nuwun. Punika na­mung sekedhap kok. Punika bu, kula di­pun utus bu Darmo nyaosi dhuku, kala wingi sonten rak ngundhuhi kebon iring ndalem punika.” Kandha ngono bocah ayu mau karo ngaturke tas kresek isi dhuku kebak, tinampan dening bu Bayu. Ora lali bu Bayu ngendika matur nuwun kaaturna bu Darmo. Bocah mau matur sendika, banjur pamit mulih.
Gito mripate mentheleng kaya ban­deng anggone nyawang cah ayu mau ora uwis-uwis. Batine gumun lan sengsem dene bocah kuwi kok leh mulis ayu tanpa cacad, gek sopan santune genep pisan. Bu Bayu pirsa putrane sajak kepranan marang Tiwi njur ngendika:
“Git ngertia, kuwi cah sing kos daleme bu Darmo, jenenge Prastiwi. Dene asline Semarang, ning neng kampung kene sra­wunge becik. Baur karo mudha-mudhine, malah saiki didadekake ketua I, dene wakile Utomo ya sopire bapakmu, kuwi.”
“Wah bocahe ayu nggih bu, gek sopan santune nggih genep.”
“Iya Git, seje karo kanca-kancamu sing dha ting bejijak lan urakan kae. Kowe sejatine rugi, wong karo pemudha/pe­mudhi sekampung kok ora tepung malah wong kana-kana sing dha ra juntrung mbok srawungi raket.”
Gito ngakoni lan mbenerke ngendika­ne ibune. Jroning ati janji yen wiwit saiki arep melu ombyake pemudha kampung. Melu-melu mas Utomo sopire bapakne yen dhong rapat-rapat, kerja bakti, lan ke­giyatan kampung liyane. Sing cetha, wiwit weruh Tiwi sepisanan atine wis ke­canthol.
Gito mara nyedhaki Tiwi nggawa bungkusan kadho gedhe sing pepak isine.

Atine Gito wis mantep kepengin nye­dhaki…macari…sing mengkone yen Tiwi gelem arep dirabi. Kuwi mau karepe Gito, pemudha lajang sing sekolahe mung di­sambi dolan lan kluyuran. Batine kuliyah ora rampung ora dadi apa, toh bandhane wong tuwane akeh, malah kanggone kam­pung kono, pak Bayu kuwi kepara sugih dhewe. Gito bakal nggunakake ban­dhane bapake kanggo mikat Tiwi, srana arep diwenehi apa ta apa barang sing peng­aji. Tiwi pancen bocah supel lan apik­an, karo sapa wae cepet akrab lan suma­dulur, klebu marang Gito. Saiki bubar kuli­yah, Gito sregep sanja neng nggone kanca pemudha-pemudha kampung, luwih-luwih neng daleme bu Darmo pondhok­ane Tiwi. Gito batine rada kecelik, jebul Tiwi iku ora gampangan kaya bocah-bocah wadon liyane. Biyasane dha gam­pang nampa paweweh, lan seneng yen di­traktir jajan utawa diajak dolan. Gito wis bola-bali nari Tiwi arep ditukokake apa sing disenengi, ning Tiwi nulak alus, alasane wis duwe utawa kurang perlu. Nganti Gito judheg, piye carane gawe senenge Tiwi sing rupa hadiyah, sing mak­sude Gito kanggo nyedhaki Tiwi, syukur bisa ngetokake gembolaning ati, blaka yen dheweke seneng lan tresna marang Tiwi. Eman pambudidayane tan­sah gagal, merga Tiwi durung tau ketemu Gito kuwi ijen, ndilalah mesthi ana kanca­ne. Saking ora kuwate ngampah, Gito nggoleki Utomo, sopire bapake neng ka­mare, lagi leyeh-leyeh. Gito njur njejeri Utomo karo takon:
“Mas Ut, mbok aku diwarahi carane nelukke atine cah wadon sing angel. Pisan ji iki aku seneng tenan je mas, ora bakal tak enggo dolanan.”
Wangsulane Utomo kalem: “Walah dhik Git, sliramu kuwi kurang apa? Rupa nggantheng, ya kuliyahan, dhuwit neng ngesak muwel. Isih kurang apa? Mangka slirane kuwi ya baut ngrayu cah wadon. Kuwi tak ngerteni sing uwis-uwis lho. Sliramu kleru dhik nek takon aku, soale aku durung tau pacaran. Aku mung arep adhang-adhang suk nek ana prawan welas nresnani aku dhik.”
Krungu wangsulane Utomo, Gito gage njenggelek tangi karo kandha:
“Mas Ut, wegah aku krungu kojahmu kuwi. Aku ki takon tenan je.”
“Ora dhik Git, sejatine cah wadon ngendi ta sing mbok gandrungi kuwi?”
“Ah rahasia mas, suk wae nek dhewe­ke wis tak kuwasani tenan, kowe lagi tak kandhani.”
Gito terus metu ninggal kamare Utomo kanthi ati mangkel. Gito saiki aktif neng organisasi kampung, soale tansah di­dham­pingi Prastiwi. Notoling ati anggone kepengin nglairake tresnane mbangeti, ning…tansah ana-ana wae jalarane sing marahi cabar. Pancen angel tenan Gito nggolek wektu kanggo ijen wong loro, wong Prastiwi neng ngendi-ngendi mesti ana kancane. Jam-jam bubar kuliyah, Tiwi pancen wis padhet banget kanggo kegi­yatan kampus lan kampung. Gito wis marani saben dina, bisa nyawang cedhak-cedhakan karo prawan ayu kuwi wae ati­ne wis seneng. Awit Prastiwi pancen wis mlebu tenan ing atine.
Saiki Gito uga nyah-nyoh aweh ban­tuwan kanggo mudha-mudhi kampung, apa maneh yen sing nampa Prastiwi, wong dheweke ketuane. Kena pengaruhe Prastiwi, Gito dadi mempeng sinaune, ndadekke bungahe bapak lan ibune. Pen­jenengane uga remen yen mengkone Gito kasil nguwasani Prastiwi lan gelem diajak urip bebrayan.
Dina Jum’at kulawargane pak Bayu Widodo entuk uleman saka pak Darmo, sing surasane kabeh warga kampung, mbesuk malem Minggu kasuwun rawuh ing daleme pak Darmo. ya sing dipondho­ki Prastiwi, saperlu ngestreni ulang taune Prastiwi sing kaping sangalas. Malah jare­ne kulawargane Prastiwi saka Semarang uga arep padha rawuh. Dene pak Bayu sekaliyan, kadhapuk nampa tamu lan pa­ring pangandikan kanggo sing ulang taun. Pak Bayu uga sagah. Malah mundhutke hem lan clana anyar kanggo Utomo jare ben ora lusuh.
Utomo pancen bocah sing lugu lan prasaja, nglungguhake dhirine sing mung sopir, senajan dheweke mahasiswa sing wis lulus lan nyandhang gelar Drs. Wektu maca undhangan, Gito bungahe ngayang batin. Ya wektu iki kalodhangan kanggo aweh kadho istimewa kanggo Tiwi lan ke­sempatan kanggo ngrogoh atine prawan ayu kuwi.
Gage sms marang Tiwi takon arep nja­luk kadho apa? Jawabane, dikadho apa wae arep, lan matur nuwun sadurunge.
Oh….atine Gito lunjak-lunjak kese­nengen. Gage nyuwun dhuwit ibune njur lunga menyang toko. Baline ngrenggiyeg, entuk bakal klambi putri patang potong, tas, sleyer. Gunggung dhuwit telung atus ewu dientekake. Kejaba kuwi tuku filem rong rol, mengko kanggo gawe kenang-kenangan karo Tiwi.
Lagi jam lima Gito wis dandan mlithit, clana lan heme anyar gres saka toko du­rung dikumbah wis dianggo. Njur nye­dhaki bapake karo matur:
“Pak, mobile kula bekta, kula dugi nggene dhik Tiwi mruput, mbok menawi Tiwi mbetahke kengkenan kula.”
“Wis budhala Git. Bapak mengko gampang, boncengan motor karo Utomo rak bisa.”
Senajan isih sore ning wis rame. Ka­beh wis tinata asri. Kira-kira jam setengah pitu tamu-tamu wis wiwit padha rawuh. Tiwi neng ngarep lawang nyalami karo nampa kadho banjur diulungake sing nduwe tugas.
Gito mara nyedhaki Tiwi nggawa bungkusan kadho gedhe sing pepak isine. Sawise ngulungake lan nyalami kenceng, rekane arep ngesun, ning Tiwi gage nya­lami tamu liyane sing lagi wae rawuh. Gito gela, ning ya wis ora dilebokke ati. Anggo­ne njepreti Tiwi ora leren-leren. Bareng ngerti ana tamu sing bisa motret, kamera gedhe kuwi banjur diulungake, ganti awake dhewe sing tansah mepeti Tiwi njaluk di­foto. Wis kanthi gaya sing apa wae, poko­ke dipolke janji mepeti Tiwi sing sejatine atine ora seneng karo pokale Gito. Upa­cara banjur wiwit, sambutan-sambutan saka pranata adicara, pengurus-pengurus pemudha, wong tuwa lan kulawargane Tiwi. Wusanane pak Bayu sing isine pa­ring pitutur marang mudha-mudha, uga ucapan selamat marang sing ulang taun. Sawise rampung salam-salaman, banjur kaaturan dhahar bebarengan prasmanan neng kamar rengah.
Gito tansah aksi, bejijagan motreti rana-rene sarwa nggaya. Rampung dha­har lan ngunjuk es crim, keprungu swara­ne lantang bapake Tiwi lewat mikrovon ngene:
“Bapak ibu lan para tamu undhangan sadaya, ing dalu punika mbabar misani kula badhe ngresmekaken pepacanga­n­ipun anak kula pun Suparstiwi kaliyan nakmas Drs. Utomo, inggih sopir pribadi­nipun bapak Bayu Widodo ing kampung mriki. Dhateng nakmas Utomo, kula su­wun jumeneng lan tindhak mriki, upacara pepancangan tumunten badhe katindaka­ken.”
Krungu tembung mau, Gito kaya krungu bledheg ing mangsa ketiga. Sakala otot bebayune kaya dilolosi, awak geme­ter, sirah cleng-clengan buyer, mripat klemun-klemun kaya arep tiba, kringet anyep mbrubul. Gandheng dheweke mau bejijagan, mula ora ngetarani nalika Gito metu mulih tanpa pamit ninggal pasa­mu­wan. Neng dalan lakune sempoyongan kaya wong mabuk. Tekan ngomah mbu­kak lawang. Tanpa copot sepatu langsung awak dibrukake dipan sakrosane karo sambat ngaru wara:
“O awak… awak… apes temen aku…. jebul aku kewirangan. Aku prasasat ke­jungkel tiba kanteb… aku… aku… di KO karo sopir bebaune bapakku”.
Nalika upacara tunangan dileksanani, wis ora ana gebyar-gebyar kamera sing nggawe kenang-kenangan merga Gito wis bablas mulih. Ning bocah loro Tiwi lan Utomo tansah ngumbar esem sajak kalegan atine. (cuthel)


Tresna Iku Wuta
Dina Ahad esuk jam 06.00 aku wis ngenteni Ani ana sangarepe Warung Nasi Praja. Warung iku dhewe isih tutupan. Aku kangsen karo Ani ke­temu jam 06.15. Mripatku manther nya­wang mangalor. Nyawang gapurane Kampusku sing sedhela maneh arep dak­tinggal.
Tepungku karo Ani, sing jeneng wu­tuhe Ani Siswati Laksitorukmi patang taun kepungkur. Melu bareng tes mlebu kam­pusku ing Bale Diklat Srondol. Wektu se­mono jam 3 sore. Aku diprentah panitya nindakake tes urine. Mesthi bae aku kudu pipis ana toilet. Ning wektu semono aku durung kebelet pipis.
“Heeh omahmu ngendi mas?” Aku kaget amarga gegerku digablog wong saka mburi nalika aku lagi mangu-mangu arep mlebu toilet apa ora. Bareng dak­inguk jebul bocah wadon sing padha-padha lagi melu tes. Praupane pancen ayu, kewes, mranani. Wektu iku nganggo klambi ndhuwuran putih, roke biru. Weruh bocah ayu, penyakitku sing seneng nggodha lan seneng iseng kumat.
“Haah…kaget inyong. Lah ko si bocah ngendi, deneng si ayu nemen?” Aku balik takon, nganggo dhialek Banyumasan.
“Alah… apa inyong ayu, syukur kari ana sing ngarani ayu. Inyong ngerti ko mesthi cah Praketa, wong ngomonge meh padha karo nyong wong Tegal,” jebul logate cewek iki meh padha karo logatku sing jarene wong wetanan ngapak-ngapak.
Karo ngenteni kebelet pipis aku crita ngalor ngidul karo cewek te­punganku anyar mau. Bapak ibune dadi guru SD ana salah sijine SD ing Kodya Tegal. Dadi wiwit SD, SMP lan SMA Ani sekolah ing Tegal. Mlebu me­nyang kampusku jare merga diutus bapak ibune. Sejatine cita-citane Ani kepengin mlebu Kowal, nanging ora dipareng­ake dening bapak-ibune. Dhe­weke diutus mlebu Kampusku sing sawise lulus bisa dadi camat.
“Jenengmu sapa heeeh?” Ani takon judhes banget ma­rang aku.
“Budi!” Wangsulanku cekak aos.
“Budi sapa? Budi Jatmiko, Budi Karyono, Budi…..?”
“Budi …. sapa si …. Budi njaluk bojo!!” Aku ndhagel, plesetan.
“Ha, ha, ha…. jeneng kok Budi njaluk bojo…. inyong ya gelem dadi bojomu, sing lanang calon camat sing wadon calon camat klop…. ha… ha… ha!!!”
Swarane Ani banter mlinder nang ku­ping, nanging kok ya enak dirungokne.
Tembung-tembung mau dakanggep mung tembung iseng. Tembung sem­branan. Karo ngenteni krasa nguyuh. Aku lan Ani lulus saka tes penerimaan Calon Mahasiswa Kampusku, sawise ngliwati tes sing sapirang-pirang, klebu akademis, tes fisik lan tes mental utawa psikotest.
Aku sakanca sing lulus saka propinsiku ana 113, banjur digawa menyang kampus Jatinangor sarana numpak bis. Tekan Jati­nangor aku wis ora nate ketemu Ani maneh. Apamaneh ing masa karantina nem sasi ora oleh ketemu karo kanca sa­dhaerah, utamane siswa lanang lan wadon. Ora oleh disusul, utawa ditiliki dening wongtuwane. Surat-suratan bae ora oleh. Aku dhewe ing semester per­tama manggon ana ing barak Sulawesi Selatan. Ani mbuh manggon ana ing barak endi, wong barak Praja Putra karo Praja Putri dipisah. Jeneng-jeneng barak utawa asrama nganggo jeneng propinsi. Wiwit saka barak Nanggro Aceh Darus­salam tumeka barak Irian Jaya.
Aku ora arep crita sing susah-susah ana ing kampusku. Aku arep crita sing apik-apik bae. Ana ing kampusku nyan­dhang, mangan, turu gratis, saben sasi oleh dhuwit gajih, golongan II/a. Tamat langsung munggah pangkat golo-       ngan III/a, malah statuse wis PNS, tambah setifikat ADUM.
Sing paling nabet ana ing atiku yaiku yen mangsane mangan. Mangan esuk, mangan awan, lan bengi nikmate pol. Manggon ing Menza. Bebarengan. Ben­dina menune mesthi ana daging lan iwake.
Sajrone nem sasi yen kebener ing Menza, kajaba kelingan bapak, ibu, lan adhik-adhik, aku uga sok kelingan Ani. Aku asring ngalamun, upama Ani ana ing jejerku mesthi lawuhe iwak dakrebut. Mesthine wong Tegal ora doyan iwak, wong omahe jare cedhak segara.
Sajrone nem sasi aku kerep ngimpi ketemu Ani. Ana alam pangimpen Ani wis dadi bojoku. Aku asring digablogi Ani. Njaluk klambi nggablog, luwe nggablog. Aku ya ngesun pipine Ani sing menul-menul. Ning kabeh iku mung ngimpi.
Nalika masa Karantina wis purna kabeh praja dibebasake ketemu karo kanca sadhaerahe. Praja saka Jateng padha kumpul ana ing barak Jateng. Sing dak­goleki dhisik dhewe Ani. Ing ruwang per­temuan barak Jateng Ani ora katon. Aku isin takon. Mula dakgoleki saben kamar. Muter-muter saben kamar daklinguk. Ora ketemu. Nganti wayah mangan awan tetep ora ketemu. Nganti aku kaya wong stres, banjur kebelet pipis. Kuwatir pipis nang clana aku banjur mlayu menyang toilet sing ana ing cedhak menza.
“Heeh digoleki rana-rene jebul ana ing toilet!!”
” Jenengmu sapa heeh?” Ani takon judhes banget marang aku.
Aku digablog wong saka mburi. Swa­rane ora pangling mesthi Ani. Nalika aku weruh Ani sing nganggo sragam Muda Praja, pingkiranku sing waras ilang. Ani lang­sung dakrangsang, dakrangkul, dak­kekep, dak­arasi pipine sing menul-menul. Ani ora su­wala. Marem. Tujune ora ana wong liya sing weruh. Aneh kebelet pipise ilang blas.
Pungkasane menza sering kanggo sarana kangen-kangenan aku karo Ani, mesthi bae yen ana kalodhangan. Dina Minggu aku lan Ani bisa pesiar bareng. Iku bae nyolong-nyolong, sebab yen nganti konangan ana praja putra karo putri pesiar bareng, mesthi bakal diukum.
“Bud… apa bisa awake dhewe suk urip bebarengan mangun bale wisma?” Tako­ne Ani marang aku nalika bisa pesiar ba­reng menyang Cadas Pangeran, desa an­tarane Sumedang-Jatinangor sing kawen­tar sering ana kacilakaan lalulintas amarga papane sakitere dalan aspal rumpil, pe­reng lan jurang jero.
“Ya An mung kari donga, lan usahane awake dhewe kanggo urip bebarengan!!”, wangsulanku manteb karo nyawang man­ther mripate Ani sing dina Minggu iku katon sumringah.
Ana ing menza iku aku karo Ani, se­najan wektune winates, wis bisa nyuntak sakabehing panguneg-uneg, bisa ngrakit ukara-ukara kang saya ngraketake ka­tresnanku marang Ani lan suwalike. Iku kabeh kanggo bisa nggayuh urip beba­rengan. Bab wong tuwaku sing mung tukang becak Ani wis ora ngreken, ora nda­dekake masalah. Wong jarene arep ora nikah karo tukang becake, nanging karo putrane lulusan IPDN golongan     III/a sing bisa dadi camat.
Ani malah duwe gegayuhan sing luhur. Jare suk yen wis dadi birokrat, dadi peja­bat, arep tansah disyukuri, kanthi ninda­ka­ke wewenang lan kewenangane kanthi bener lan pener. Amanat saka Gusti kanthi wujud beslit saka pamarentah arep dilek­sanakake kanthi kebak tanggung jawab marang Gusti Allah, marang negara, atas­an lan mligine marang masyarakat. Amar­ga hakekate kabeh mujudake kepercaya­an saka rakyat lan diblanja nganggo dhuwite rakyat.
“Heeh, Pak Camat ngalamun!!!”
Aku digablog Ani nalika aku lagi ma­dhep ngalor nyawang gapura kampusku. Jebul Ani mentas metu saka barak Maluku, ora liwat gapura ngarep. Dheweke liwat gapura kulon saperlu pamit Pak Idrus, tukang kebon sing sabar.
“Bud….eh Mas Bud sida liwat jalur utara??”
Aku manthuk. Bebarengan karo kuwi saka arah kulon ana bis plat G jurusan Ban­dung-Purwokerto. Rangselku sing kebak klambi-klambi sragam Kampusku gage dakcangklek. Rangsele Ani senajan abot dakcangking. Ani dadi Nyonya Besar. Rangsel-rangsel iku uga isi surat tugas lan beslitku lan beslite Ani minangka PNS golongan III/a. Gusti Allah wis ngijabahi gegayuhanku karo gegayuhane Ani. Aku lan Ani ditugasake ing Kodya Tegal.
“Bud… eh Mas Budi isih kelingan Menza??” Takone Ani nalika wis lungguh jejer karo aku ana ing bis.
Aku manthuk. Aku ngerti karepe Ani. Ngambali prastawa-prastawa romantis ana ing menza. Ani daksawang, dakkekep banjur dakarasi. Wong sakbis kejaba supir nylinguk kabeh. Aku lan Ani wis ora ngre­ken, cinta itu buta, tresna iku wuta, malah Ani njur makles turu ana pangkonku.
(Cuthel)


TUS SAMA MELLMILIH DALAN ANYAR
Arepa durung pati awan, nanging panase srengenge krasa semlenget. Jati katon mangu-mangu metu saka Lembaga Pemasyarakatan kang mapan ing pinggrire kutha. Dina iku  dheweke  dibe­bas­ake saka status narapidana sakwise nem taun ngrasaake urip ing sakjroning pakunjaran. Pancen  sengaja ora ngabarke marang Narti, bojone, menawa dina iki dheweke bebas, merga ora kepengin gawe repote bojone kang momong anake sing isih cilik.
Angkahe sakwise nampa layang bebas iku dheweke arep terus njujug menyang desa kelairane. Menehi kejutan marang bojo kang banget ditresnani. Dheweke nggambarake Narti kaget. Terus nggapyuk lan padha kangen-kangenan. Jati uga terus  ngruket lan ngambungi Bregas, anake lanang kang umure lagi ngancik nem taun kanthi kebak rasa kangen. Iki rencane yen wis bebas.
“Menawa bebas, aku arep tumapak ing dalan anyar. Dalan kang bener, dudu dalan kang culika,” mangkono janjine Jati nalika Narti, bojone iku niliki dheweke ing pakun­jaran.
Lan Narti bisane mung bisa seseng­gruk­an ana ing dhadhane sing lanang. Kanggone Narti, janjine bojone kang ora arep mbaleni laku kadurjanan wis gawe senenge ati. Narti malah luwih seneng yen Jati gelem dijak bali menyang desa. Ngo­peni sawah lan tegalan kang arepa ora pati amba nanging isih bisa kanggo cagak urip. Menawa sing lanang mengkone dadi among tani, dheweke arep ewang-ewang kanggo nambah kabutuhan wong bebra­yan kanthi bukak warung pracangan utawa pagaweyan liya kang khalal.
“Aku tansah ndonga Kang Jati bisa cepet bebas. Kita bareng-bareng napak ing dalan anyar.”
Swara bel tandha jam bezuk kanggo warga binaan lembaga pemasyarakatan wis entek kemloneng. Jati nguntabake mulihe Narti karo mesem.
“Entenana Nar, ora suwe maneh aku bebas,”  batine Jati ngondhok-ondhok.
***
Nalika arep metu saka gapurane  lem­baga pemasyarakatan, Jati disalami  ken­ceng dening Pak Imam, sipir kang sak­suwene iki tansah menehi wulang wuruk marang dheweke.
“Selamat ya  Mas. Aja kangen mbali mrene maneh.”
Jati mesem krungu tembunge Pak Imam. Pancen ora sethithik narapidana kang mlebu metu lembaga pemasyarakat­an. Lagi bebas sedhela wis bali maneh mlebu pakunjaran merga tumindak krimi­nal kelingan Goplek, copet pasar kang se­minggu kepungkur bebas saka lembaga pemasyarakat. Ning wingi wis mlebu bu­wen maneh merga dheweke lan komplot­ane kecekel pulisi nalika pinuju nyopet ing bus kota. Utawa Gendro kang kaya ngang­gep lembaga pemasyarakatan iku mi­nangka hotel, merga saking kerepe dhewe­ke mlebu metu saka pakunjaran iku.
“Nggih Pak, Insya Allah. Nyuwun pangestu,” ujare Jati.
Metu saka  regol, Jati milang-miling nggoleki bis kota kang tumuju Terminal Giwangan. Rencanane saka terminal dhe­weke arep terus  oper bus saperlu mulih menyang desane. Nanging lagi wae arep ngawe bus kota, ana pemudha loro kang nyedhaki dheweke.
“Mas Jati…. Mas Jati,” aloke salah siji­ning bocah enom iku karo menehi isyarat supaya Jati nyedhaki papane bocah loro iku nunggu. Jati ora pangling menawa cah loro iku Marjo karo Kusnan, anak buwahe  ing komplotan rampog mbiyen.
“Piye kabare pada apik-apik ta?” pitako­ne Jati karo ngulungke tangan kanggo nyalami bocah loro. Marjo lan Kusnan me­sem karo nampani tangane tilas pimpinane iku.
“Kabeh anggotane awake dhewe padha apik. Slamet. Kita uga krungu menawa Mas Jati dina iki bebas,  mula dening kanca-kanca aku ditugaske kon mapag sampeyan.  Kita uga wis nyiapake pesta kanggo ma­hargya sampeyan, malah Narto wis pesen vila khusus kanggo seneng-seneng,” crita­ne Marjo karo ngajak Jati tumuju menyang  sedhan putih kang wis nunggu.
Jati mesem krungu kojahe Marjo. Atine trenyuh pranyata kanca-kancane isih ngajeni dheweke. Apa kanca-kancane mau isih padha keceh ing donyaning kadurjanan apa ora, sing baku yen mengko ketemu anggotane Jati arep crita menawa dheweke nedya mertobat.
Sedhan putih  mlayu banter ninggalake lembaga pemasyarakatan mlayu mengalor tumuju wilayah pegunungan kang kon­dhang minangka papan kanggo ngenggar-enggar ati. Marjo karo Kusnan ora crita akeh ngenani kegiyatane saiki.
“Mengko Narto kang crita sakabehe. Sing baku aku sakanca wis ora nindakake gaweyan lawas ngrampog utawa jambret. Risikone abot,” pratelane Kusnan. Jati nyicil seneng dene kanca-kancane wis nemokake panguripan anyar. Mung wae kegiyatan apa sing saiki dilakoni Narto sakanca Jati du­rung ngerti. Kok kaya-kaya  dirahasiakake banget. Ora suwe sedhan putih wis tekan vila  ing ereng-erenge pegunungan kang endah. Vilane ora pati gedhe nanging cekli. Ing ngarep vila katon Narto, Plengeh, Jam­huri lan uga  kenya ayu nenem padha ma­pag tekani Jati, tilas benggole komplotan rampog, kanthi kebak kabungahan.
“Mangga-mangga Mas Jati. Sugeng rawuh,” Narto ngacarani lan terus ngrang­kul Jati dijak mlebu vila. Jati dipapanake ana ing sofa kang mendut-mendut. Narto banjur aba marang para kenya ayu iku kinen ngladekake maneka omben-omben lan suguhan. Wiwit inuman ringan nganthi tekan kang gawe mabuk. Narto uga me­nehi isyarat marang kanca-kancane   su­paya njupuk koper. Koper iku banjur di­bukak ing ngarepe Jati. Isine arupa ben­dhelan-bendhelan dhuwit atusan ewu.
“Iki Mas bagiyanmu biyen. Pancen wis kita siyapke sawayah-wayah Mas Jati bebas dhuwit iki tak serahke.”
Narto crita menawa sabageyan dhuwit diubengake kanggo bisnis. Bisnise yaiku ngedharake narkotika lan obat-obatan  kang mlebu larangane negara. Bisnis  mang­kene iki, miturut Narto, pranyata untunge cepet banget. Malah saiki sape­rangan dhuwite wis dienggo mbukak  bis­nis prostitusi lan perjudian.
“Yen Mas Jati kersa, mengko sampeyan sing mimpin dene aku cukup dadi wakil wae. Kejaba dhuwit sak koper kang mi­nangka bagiyane ngrampog, kita uga arep menehi dhuwit jasa marang Mas Jati merga ing pengadilan mbiyen sampeyan wani ndhadhagi dhewe lan ora ngembet-embet jenenge kanca-kanca.”
Akeh-akeh  critane Narto  kang gega­yut­­an karo kepriye ngemonah organisasi ka­durjanan iku. Narto uga crita yen sin­dhikat iku angel konangan merga olehe primpen. Malah Narto uga ngaku menawa wis ndu­weni jaringan karo aparat barang. Pokoke aman.
Nanging Jati mung gedheg. Dheweke uga empoh nampa dhuwit bagiyan merga wis niyat mertobat. Dheweke malah ngajak Narto sakanca bareng-bareng mertobat.
“Kita wis suwe ngrugekake masyarakat. Aja ditambah anggone ngrugekake lan ngrusak masyarakat. Nanging yen kowe kabeh ora gelem takjak mertobat ya mangga. Sing baku aku wis niyat. Aku arep mulih menyang desa. Urip among tani ma­lah luwih tentrem kanggoku.”.
Narto mung mesem sinis. Tembunge sereng: “Gelem ra gelem Mas Jati kudu ngga­bung karo aku! Merga aku mau wis omong akeh-akeh ngenani bisnis narkoba lan prostitusi marang sampeyan, aku su­me­lang wewadi iki bakal bocor. Gelem ora gelem Mas Jati kudu melu aku. Menawa Mas Jati ora gelem nggabung, mimis pestol iki arep njeblugke  sirahmu!”  kanthi cepet Narto ngrogoh pistul terus diacungake pe­ner sirahe Jati.
Nanging tekade Jati wis gilig, ora ming­kur sirahe ditodhong pistul. Narto narik platuke pistul. Nanging bareng karo jume­dhore pistul, kenya ayu sing mau nglade­kake inuman kanthi trengginas nendhang tangane Narto. Lan saka njaba keprungu suwarane megaphone menawa papan kono wis dikupeng pulisi. Arepa Marjo, Kus­nan lan Jamhuri nyoba nglawan, nanging muspra jalaran papan kono wis kebak  pulisi kang wis siyaga ing pandhelikane saku­penge vila. Akhire aparat kapulisen kang dipandhegani Inspektur Satu Firman  kasil mikut grombolane Narto kang saksuwene iki diburu minangka sindhikat narkoba, prostitusi lan judi kelas elite.
“Kita wis suwe ngawasi sindhikate Narto. Lan akhire bisa mikut merga aku nduwe petungan komplotane Narto iku tem­tu mapag nalika Mas Jati bebas saka pakunjaran. Pranyata bener. Iku  dalan kanggo mikut lan miyak komplotan durjana iku,” critane Iptu Firman karo ngandhakake menawa kenya sing ngladekake inuman lan suguhan ing vila iku uga sawijining pulisi wanita kang lagi nylamur. Pulisi wanita mau pancen sengaja disusupke menyang su­suhe para durjana iku.
“Ya dongakna Mas aku bisa ngambah dalan kang bener  ora gampang miyur karo pengaruh liyan kang ala,” pratelane Jati karo njaluk pamit. Ing bis kang nggawa menyang desane, Jati singsot-singsot  lagu kang nggambarke rasa kangen. Rasa kangen marang anak lan bojone. Uga kangen marang desane.(Cuthel)
Share this:


Wong Lanang Piye…?
Rasa kuwatirku mung siji samangsa ana tamu. Aja-aja tamuku mau banjur kepengin menyang mburi aliyas be­bu­wang! Embuh pipis apa ek-ek. Wis bola-bali anggonku njaluk Mas Hadi supaya jedhing lan WC mburi kae enggal diwenehi payon. Wong sisa kayu lan pring tilas gawe omah kae ya isih. Mes­-thine kena kanggo empyak setangkep. Mas Hadi panggah semaya sesuk-sesuk.
Aku nganti isin yen dilokne kancaku jare gawe omah magrong-magrong ae isa, yagene gawe jedhing WC wae ora genep. Kurang empyak, mung tembok ngothak. Yen udan ya kudanan, semono uga yen panas ya kepanasen. Ana maneh kancaku sing alok, jare apa ora eman kulitku sing mrusuh iki yen nganti nalika adus terus kudanan. Utawa yen wayah awan mlebu jedhing terus kepanasen. Ora ngecap pancen kulit lan rupaku, jare kanca lan tanggaku, klebu lumayan. Ora usah dipadhakake artis sinetron, nanging yen diajak nekani resepsi utawa kelompok padhuan suwara wae pantes disawang. Embuh, kok Mas Giarno guru, kae malah tau muni nek jare gelem aweh biji kanggo awak lan rupaku kuwi pitu setengah! Kanggoku biji semono kuwi mesthine ya kurang, awit Mas Hadi yen ngelem aku kecerit arit. Paling ora ya sanga! Mbak Narsih neng arisan PKK ya ngelem aku, jare kaya artis India! GR tenan aku!
Jedhing WC kuwi anggone gawe pancen sarwa kesusu. Mung tambel butuh. Saupama kala semana Mas Hadi ora kapatah minangka wakile kabupaten melu lomba guru teladan tingkat propinsi ngono durung karuwan nek nganti saiki wis duwe WC. Mula ya saanane dhisik. Kuwi biyen. Bareng wis limang taun mosok panggah sauntara wae! Kapan batese tembung sauntara kuwi?
“Sabar sik ta, Bu,” tembung kuwi sing ajeg diwenehake Mas Hadi nyang aku yen taktagih bab jedhing lan WC kuwi.
“Huh, kok mung sobar-sabar wae. Sabar ki ya ana watese, Mas,” semantaku sengol. Wis jeleh. Mosok wong mung dikon sabar wae.
“Wong sabar iku kekasihe Allah. Wis ta, nek wis ana rejeki rak iya rampung ta, Bu.”
“Gombal, gombal!” suwaraku rada banter karo nglungani Mas Hadi sing isih lungguh neng kursi ngarep.
Sejatine aku rumangsa getun karo lageyanku sing sok sengal-sengol kuwi. Nanging sapa wonge ra isin yen ngelingi kahanan sing kaya ngono kuwi. Saben-saben menyang jedhing yen wayah udan ndadak payungan. Apa iya umum wong arep adus kok tangane nyekel garan payung! Arep ndhodhok neng WC iya nyekethem nyekel garan payung. Kamangka keperluan siji kuwi jian blas ora kena disadoni. Ora kena diempet-empet! Ora ngenal wayah udan apa panas.
“Karuwan neng kali wae, Jeng Tari, tinimbang neng njedhing ra ana payone ngono kuwi.” sarane Mbak Susi nalika meruhi jedhingku kuwi.
“Lha iya ta Mbak, pancen bapake cah-cah kuwi ta sing ora duwe isin.”
“Wong lanang pancen menange dhewe. Kanggone wong lanang adus byar-byur ngono wae. Ora ndadak iki piya, iki piye. Klambi iki disampirne ngendi, wong lanang ra reken. Beda karo awake dhewe. Risih, ndeleng ngono kuwi!” Mbak Susi menehi gambaran sing sanyatane.
Nyatane pancen ya ngono. Mas Hadi kepenak wae saka njero ngomah mara nyang njedhing mung kathokan cendhak. Yen udan kudhungan andhuk. Yen wayah panas andhuke disampirke gulu. Bareng aku? Apa iya kudu ote-ote kalungan andhuk kaya dheweke? Bebetan kaya adus neng belik utawa neng kali kae? Huh, sori ae jo!
Saupama Mas Hadi kuwi ora kemlinthi lan sok gengsi, jedhing lan WC kuwi wis rampung. Lha, witikna piye, nalika wiwit gawe pondhasi kae Ibuku wis nawani glugu kanggo blandar lan usuk, mung kari tuku kayu reng wae Mas Hadi ora gelem.
“Nek gelem kayu sengon laut, ya kae sing ndlujur ngidul kae kethoken! Digrajekne somile Kang Jaelani. Dirajang rak wis kena kanggo reng ta, Had!”  pangakone Ibu dhek abene.
“Nggih. Sanes wekdal mawon, Bu.”
“Sanes wekdal kuwi kapan? Mumpung wayah terang ngene iki enggal ditandangi. Suk nek wis wayah udan, malah repot.”
“Nggih, nek kula empun prei, Bu. Saniki taksih repot.”
“Tandang gawe kuwi rak ora ndadak ngenteni senggangmu ta, Nak Adi. Sing nandangi rak iya tukangmu. Kang Maryono karo Kang Glowoh,” Bapak melu-melu krenah.
“Nggih, leres niku, Pak. Nanging, tukang niku rak kedah manut sing mrentah. Lek kula mboten enten, terus sing ngatur sinten? Napa tukang-tukang niku saget nyocogi karep kula.”
“Anggere sadurunge wis kokkandhani rak akeh benere,”  Bapak wegah kalah.
“Halah, nggih dereng kantenan!”
Taksawang bapak lan ibu mung sawang sinawang. Kurang rena penggalihe.
Jejere wong tuwa, yen udreg-udregan malah kurang prayoga. Bapak lan ibu terus pilih meneng. Kok rebut balung tanpa isi. Arepe kaya ngapa, Bapak lan Ibu kuwi bakale kelangan kayu, kok ngeyel ae. Mas Hadi dhewe mbegadul karepe. Cekak nalare. Wis ditawani kayu kok kurang trima. Anggepe bisa tuku dhewe. Emoh diwenehi wong liya! Dienteni tukune nyatane ora kuwat tuku!
“Mbok gawe mareme ati bapak-ibu ta, Mas. Diiyani ae, gek ndang dipasang kareben jedhinge brukut. Mesakne bocah-bocah nek kudanan,”  panjurung­ku sawise meh rong sasi saka eguh pratikele wongtuwaku kae.
“Marem apane? Dhik, aku jik rosa. Jik isa golek dhewe!”
“Nyatane?”
“Modhel omahe dhewe iki ora pantes nek jedhinge dipayoni glugu!.”
“Ora pantes apane? Nyatane endi usaha sampeyan sing pantes?”
“Iya, takakoni pancen durung kabeh kabutuhan ngomah takcukupi. Nanging, saora-orane rak wis usaha.”
Krasa yen dipandeng dadi tontonan gratis aku bengok-bengok njaluk tulung. Wong-wong padha marani panggonanku. Astaga! Aku durung klamben.

“Usaha sing piye maneh? Wis pirang sasi jedhing lan WC kae ngangkrag? Ngenteni pirang sasi engkas?” Aku wegah kalah. Aku kepengin nyuntak panguneg-unegku. Mbelani pratikele wongtuwaku sing krenah apik. Nanging malah disepelekake Mas Hadi. “Lek wis mangsa rendheng teka maneh terus kabeh njedhindhil? Apa ngenteni sumbangane sedulur sampeyan? Ngenteni mundhake gaji guru? Kapan kuwi? Kapan?”
“Cukup, Dhik!” Mas Hadi wiwit kesenggol ati lanange. “Ora usah nggepok senggol kulawargaku sing adoh saka kene!”
“Lha, ngenteni apa? Ngenteni cebloke dhuwit saka langit?” suwaraku tansaya njengek. “Utang neng bank eneh? Iya? Bank endi sing gelem nyilihi dhuwit sitheng? Dienggo jonggol apa maneh? Sertifikate sapa? BPKB-ne sapa maneh? Huh!” Aku pegel tenan. Karo ngalih aku isih gembreneng, “Pira ragade jedhing sacupleg ae? Lek raisa golek, aku tak sing nyambutgawe!”
Padudon pancen ora bisa diselaki. Mumpung bocah-bocah padha les neng sekolahan. Mung kari wong loro, aku lan dheweke. Pancen wis suwi anggonku kepengin njarag nesune. Biyen, sadurunge nikahan aku wis nyambut gawe neng asuransi. Asilku lumayan kanggo kebutuhanku lan mbiyantu sekolahe adhik-adhiku. Nganti duwe anak siji, Siswati,  aku isih nyambut gawe neng perusahaan swasta kuwi. Bisa ngrewangi nyukupi kebutuhane kulawarga. Ora ketang kena kanggo tuku bumbon lan lawuh saben dina. Embuh, setan saka ngendi sawise anggonku nglairake Lastri, anak nomer loro, ujug-ujug dikon leren nyambut gawe. Jare ngeman ragaku. Mesakake bocah-bocah sing isih cilik. Padha mbutuhake perhatian sing cukup.
Nalika semana pancen bener alasane ngeman ragaku. Minangka pemasaran, aku kudu golek lan ngubungi nasabah sing omahe adoh-adoh. Aku mung numpak sepedha motor. Mangkat esuk jam setengah wolu, bali wis jam setengah lima. Malah sok-sok ya nglembur barang nganti bar Maghrib lagi tekan ngomah. Apa maneh wektu kuwi kahanane awakku durung sehat tenan. Bubar nglairake si Lastri kuwi. Janjine biyen nek Lastri wis kelas telu SD aku diolehi nyambut gawe maneh. Aku ngalah, prei. Ngopeni bocah loro lan theg-kliwere ngomah. Ora ndadak ngajak batur. Srawungku mung karo tangga teparo. Arang kadhing melu arisan dasa wisma lan kegiyatan PKK neng bale desa. Sesasi sepisan nekani arisan darma wanita neng kantore Mas Hadi. Bisaku guyon lan marem iya yen kumpul kanca-kanca ngono kuwi. Gorehing atiku rasane bisa kaslimur.
Saiki Lastri wis kelas papat, niyatku nyambut gawe maneh panggah dipenging wae. Kadhang aku nggraita, apa iya Mas Hadi duwe rasa kuwatir nek aku tumindak rena-rena. Rasa sujanane tansaya ketok. Malah nek ana tamu kancane Mas Hadi, aku manggakake teh wae wis dilirik. Kamangka aku ora melu njagongi. Mung salaman lan bage-binage thok!
Nek dietung, sejatine gajine Mas Hadi minangka guru SMP kuwi wis nyukupi saben dina, nanging sawise gawe omah, dhuwite saloke utang saka bank, gajine dipotong kanggo nyicil. Kari nyumprat-nyumprut! Ngrampungake jedhing lan WC wae panggah kaya lagune Koes Plus “Kapan-kapan”!
Nalika arisan darma wanita neng kantore Mas Hadi tanggal lima kae, aku krungu slenthang-slenthing yen Mas Hadi jare arep penataran neng Bogor, Jawa Barat. Tekan ngomah aku ora crita apa-apa nyang Mas Hadi. Wonge kok iya meneng wae. Embuh, apa durung ngerti amarga durung nampa surat tugas apa pancen durung kober ngomong aku. Sajake anggonku ngenteni tembunge Mas Hadi wis patang ndina. Aku thok-ethok ra ngerti. Wis ben wae! Tanpa taren Mas Hadi, nalika wonge nyambutgawe neng kantor, aku nilpun wong tuwaku dhewe sing ana Gandekan, Wonodadi. Kebeneran Ibu piyambak sing nampani.
“Aja guyon lho, Sis! Apa kowe wis taren Mas-mu? Mas-mu isa nesu tenan mengko,” wangsulane Ibu nalika takjarwani karepku.
“Halah, Ibu mboten usah kuwatos. Kula mangke sing nanggung resikone.”
“Aja ngawur! Ora wani aku! Embuh nek bapakmu?”
“Bapak wonten pundi? Empun ta, Bu. Jagung bakarane, tanggung perkarane.”
“Wuih, anggepmu! Bapakmu kae ta, ana mburi. Dicelukne? Tutupen sik, lek ngono!”
Sidane aku petung karo Bapak. Tanpa petungan karo Mas Hadi. Sasuwene meh sesasi iki aku nyuwun glugu lan kayu sengon sing arep diparingke aku kae. Digrajekne pisan. Adhikku landhes, si Susilo, takkon ngukur dawane bakal empyak kuwi. Ora nganti mulihe Mas Hadi saka kantor, adhiku Susilo lan kancane wis mulih nyang Gandekan maneh. Nggawa cathetan ukuran lan cacahe kayu sing dibutuhake.
Karepku, suk yen Mas Hadi wis penataran neng Bandung oleh sedina-rong ndina ngono, kayu mau dipasang kanggo empyake jedhing lan WC. Lha, yen penataran wis rampung, Mas Hadi mulih, ben njondhil. Kaget weruh kahanan sing wis owah kuwi. Suprise! Rancanganku iki sajake oleh dhukungan saka kulawargaku kabeh. Malah wis siyaga gotong royong, kerja bakti supaya enggal rampung.  Malah, Yu Sri,  mbakyuku sing dadi guru neng Nglegok kae arep nyumbang gendheng pres sacukupe! Susilo bakal nyumbang paku. Aku mung nyepakake panganan lan omben. Ora kuwi thok! Simbok meling supaya aku ora usah tuku beras lan kambil. Arep digawakake saka Gandekan bareng karo nggawa kayu.
Mas Hadi sida oleh surat tugas penataran neng Bandung tenan. Jebul angen-angenku mleset. Ora sesasi kaya sing tau takrungu kae. Mung rong minggu. Aku nilpun ngomah Gandekan. Kanggone bapak lan ibu, ora dadi masalah. Rong ndina sadurunge Mas Hadi budhal,  jarene Susilo, kira-kira kayune wis garing. Diterke yen Mas Hadi wis budhal wae. Yen wis tekan ngomahku, bakale disaput solar dicampur lenga tanah. Ben ora dipangan rayap jarene. Aku wis manut apa krenahe kulawargaku. Sethithik akeh atiku nyicil ayem. Jedhing lan WC kuwi bakal ana payone. Kok jare ora pantes dipayoni glugu kuwi sing endi. Yen wis mulih, umpama Mas Hadi ora trima karo empyak kuwi, arep takenggo karo anak-anakku. Wonge ben gawe jedhing lan WC maneh. Ben dienggo ijen!
Ngenteni wektu patang ndina kok rasane kaya setaun. Embuh, aku mung ngarep-arep supaya tanggal 9 enggal teka. Mas Hadi terus  budhal menyang Bandung, Jawa Barat. Panggonan sing adoh kana. Mendahneya mareme yen jedhing lan WC kuwi wis dipayoni. Mesthine rasa adhem, aman, lan dadi asri.
Nganti wektu kurang rong ndina, wayahe jam setengah wolu esuk. Kang Muji, isih sanak sedulure Mas Hadi, menek glugu arep golek klapa. Ndilalah ora adoh saka omahku. watara mung sepuluh meter saka jedhing mau. Aku ngepasi adus, wonge wis tekan ndhuwur. Sajak ora mung nglirik ae, jebul saka papah wit klapa mau wonge nguwaske aku sakatoge. Kuwi wis makaping-kaping. Nganti aku apal. Angger aku  adus, ora let suwe Kang Muji terus clingkrig-clingkrig ngethapel neng glugu. Ethok-ethoke nguwaske ndhuwur nanging jane nglirik awakku sing nglegena!
Krasa yen dipandeng dadi tontonan gratis aku bengok-bengok njaluk tulung. Wong-wong padha marani panggonanku. Astaga! Aku durung klamben. Cekat-ceket aku tapihan andhuk terus mlayu mlebu omah. Embuh, wong-wong sing padha teka mau nguwaske aku apa ora wis blas ora takrewes. Aku neng njero kamar nggetuni anggonku bengok-bengok sing malah gawe wirangku dhewe!
Sorene Mas Hadi nilpun bapak lan ibuku. Embuh nyritakake kewiranganku apa rembug liyane. Kanggo tamba wirangku, Mas Hadi sing dadi sasaran nesuku.
“Sesuk esuk jedhing lan WC kuwi kudu wis dipayoni. Embuh carane! Lek ora, aku mulih neng Gandekan!” kandhaku karo nyuding irunge sing munthes kuwi.
Taknesoni lan takancam kaya ngono wonge mung cengar-cengir. Wong lanang piye ngene iki?
Triwida, 2011


Aku menthelengi tulisan ing majalah Panjebar Semangat  kanthi ati trataban. Geguritan kang kebak pangrasa ing tanganku, bola bali takwaca tanpa ke­dhep. Lambeku gemeter karo ndremimil. Rasane donya kaya ambruk ing dha­dhaku. Dhuh, Gusti…jeneng kang kapa­cak ing ngisor geguritan kuwi sing marai jantungku kaya ucul-ucula. “Sri Wirda­ningsih…”.
Wewayangan rong puluh taun ke­pungkur kaya digelar neng ngarep mripat­ku. Kawitane jaman isih menganggo se­ragam putih biru, aku ketemu karo Sri Wir­daningsih. Aku ngrumangsani yen wiwit duwe rasa beda marang kenya manis kuwi sawise srawung udakara limang sasinan. Nanging, aku ora kuwawa nyuntak rasa ing njero atiku, jalaran aku wedi marang wong tuwane. Pak Pambudi, ya bapake Sri Wirdaningsih mono salah sijine guru kang mulang ing SMP-ku. Piyantune gedhe dhuwur, dhisiplin lan galake ora mekakat. Kabeh guru apa­maneh siswa ing sekolahku wedi karo penjenengane.
Saliyane kuwi, Sri Wirdaningsih kalebu siswa kang lantip malah kepara paling pinter ing kelasku. Telung taun aku mung bisa nyawang eseme kang pait madu, rambute kang ngandhan-andhan lan guyu­ne kang renyah dirungu. Aku mung saderma anak buruh tani sing ora duwe kaluwihan apa-apa. Utegku kendho, ora encer. Asring kanggo bahan gojegan lan ece-ecenan kanca-kanca sakangkatan. Yen diupamakke paribasan, aku karo Sri Wirdaningsih kuwi pindha bumi karo langit.
Mas Bagas, kae lho Pak Naib wis siyap, kok malah mbegegeg neng kono
Nganti ngancik SMA, aku panggah ora bisa nglalekake rupa ayune Sri Wirda­ningsih. Beja banget aku bisa klebu SMA I, SMA favorit jaman semana ing dhaerah­ku, senajan kanthi biji pas-pasan. Ndilala­he, kersane Gusti, aku kok sakelas maneh karo pepujaning atiku kuwi. Nanging, se­taun lumaku, ora ana owah-owahan apa-apa. Aku tetep clingus, wedi, ora wani nyedhaki dheweke. Omong-omong ya mung saperlune wae jalaran aku ora betah yen suwe-suwe adu arep karo Sri Wirdaningsih. Gugup, atiku kroncalan, lan sing ngisin-isinake maneh raiku dadi abang ireng lan bisa dipesthekake omong­anku malah dadi ora karu-karuwan jlun­trung.
Rasa ing atiku tambah ngrembaka ba­reng munggah kelas loro. Nanging, tak­rasak-rasakke aku kok malah dadi kelara-lara dhewe. Sri Wirdaningsih kaya-kaya sangsaya adoh saka panjangkaku. Sawise dinobatake dadi “Mbakyu SMA I” ngepasi acara mangayubagya dina kelairane R.A Kartini, bocah kuwi dadi saya akeh peng­gemare. Ora siji loro kanca priya kang nyoba nyedhaki, ngajak kencan, malah akeh uga kang wani “nembak” dheweke. Yen wis ngono kaya ana geni mubal-mubal ing dhadhaku. Ewasemono aku ya mung meneng. Lha kepriye maneh, wong dheweke dudu apa-apaku.
Nyedhaki ujian akhir sekolah, ru­mangsaku Sri Wirdaningsih dadi beda. Dheweke luwih anteng, meneng lan ora akeh guyonan kaya adat sabene. Malah kala-kala aku meruhi dheweke suntrut, lungguh dhewekan ing bangku kelase nge­pasi jam istirahat ngana kae. Aku mung nyawang, ora wani nyedhak. Yen ora sadar dheweke noleh, aku gage-gage mlengos, mbuwang panyawangku ing panggonan liya. Aku wedi, ndredheg yen nganti……
Cerita Cekak – Posted by admin on March 5, 2013
Anggone dandan ana kali Jegles wetan desa wis rampung. Sinambi reringkes uba rampe, dheweke mi­lang-miling mbokmenawa ana sing kecicir. Wedhak atal putih diwadhahi cepuk, ciwit abang kanggo bengesan, langes ireng sing kanggo celak lan alis uga godheg ka­beh wis diwadhahi dadi siji ana slepen banjur dilebokake tas cangklong cilik.
Pak Thekle, wis suwe oleh sebutan mang­kono iku amarga nalika isih dadi anggota wayang wong mbiyen oleh dhapukan sing ajeg punakawan Gareng. Sawise leren ora melu mayang maneh amarga rejekine ora kena dijagakake Pak Thekleg banjur ngamen turut desa lan pasar ing Blitar lan sakiwa-tengene.
Gareng iku biyasane dijuluki Thekle amarga tangane ceko lan sikile gejig utawa pincang. Sanajan oleh julukan Thekle, Rindoko Kasdi, ya jeneng asline, ora ngresula apa maneh nesu. Tumrap dheweke malah kebeneran wadanane dadi kondhang.
“Nuwun sewu, Pak, Bu! Kula ngamen gempo!” karo kurmat dheweke miwiti nga­men karo nglagokake tetembangan lan jogedan sabisane.
Sawise diulungi dhuwit banjur pamit lan ora lali muni, “matur nuwun!” embuh wis pirang omah sing dienggoki ngamen, wis pirang swara sing nulak ngamene, ora dadi pikiran.
“Sanese mawon…! Lintune mawon…!”
Pak Thekle ora ngresula lan tetep ne­rusake lakune. Ora antara suwe wis tekan kantor kecamatan lawas sangarepe pasar Pon Desa Brenggolo, Plosoklaten.
Sadurunge mlebu pasar arep ngamen, dheweke wis nata atine lan ndedonga muga-muga anggone ngamen dina iku oleh rejeki sing akeh.
Kang Madrim kok ana kene, iki mau arep blanja pa, pitakone Pak Thekle
“Niyat ingsun golek rejeki sing halal kanggo nguripi anak bojo. Kakang kawah adhi ari-ari aku njaluk gawemu, keblat papat lima pancer rewangana aku na­dhahi rejeki pawehe wong sing duwe budi adi ngecerake rasa ati marang wong kaya aku iki!”
Sawise rampung ngempet ambegan lan nggedrug lemah kaping telu Thekle banjur miwiti ngamen gempo saurute warung sakulone pasar kewan. Anggone nampani dhuwit klithik pawehe wong sing eklas atine wis bola-bali mlebu kan­thonge. Pira cacahe ora dadi angen-angene.
Ora krasa lakune anggone ngamen wis meh tuntas, mung kari larikane bango-bango sudagar sisih kulon sing isih rame ditukoni wong golek klambi utawa kain. Sinambi ngglenggeng tembang-tembang dolanan sinambi uwet jogedan, ora njarag dheweke namatake bocah wadon ana sisihe sudagar kain lemu saka Gurah iku.
Pak Thekle Gareng nratap atine nalika nyawang saklebatan menyang bocah wadon sing ana bango iku. Dheweke ora nerusake ngamen ana larikan kono. Amarga pancen jejel-riyel untel-untelan wong sing arep blanja, Dheweke banjur ngalih menyang bango liyane.
“Suwarni…! Suwarni…! Bocah kok mbingungake kuluwarga kabeh! Ente­nana ana kono bae, liya dina yen wis rada aring sebele atimu lan menepe dhuh­kitane bojomu, kowe mesthi takparani lan takgawa bali. Yen perlu tak peksa! Mesa­kake anak lan bojomu sing ora kok pamiti. Suwarni…! Suwarni…! Kok kaya ngono patrapmu!” panggrundele Pak Thekle Gareng ya Rindoko Kasdi jroning batin.
Sawise menyang bango sisihe, Pak Thekle banjur………
  •  
Cerita Cekak – Posted by admin on February 28, 2013
Ngelem bojo pancen gak ana eleke. Ambek negara ya gak dilarang. Tapi lek gak papan, gak empan sing ngru­ngok­na suwene-suwe dadi mblenger. Apa maneh terus ngelek-elek bojone wong liya, sak tingkah polahe diwada, iku ngono jenenge dahwen salah open. Nggarai weteng mbedhedheg. Sing bojone gelek dilecehna, dadine males melok klumpuk­an, anggota arisan PKK nyelot mbrindhili. Sakjane masi gak disiyar-siyarna, wong-wong wis ngakoni  lek Borut ngono Arju­na­ne kampung. Rupane nggantheng. Praene semu bunder, rambut ngombak banyu. Kulit-kulitane kuning kemrusuh. Nyambut gawene mapan, bayarane akeh. Clana ambek klambine gak tau lungset. Sasate saben dina ganti. Sepatune nggi­lap. Tapi lek gelem metani nganti njlimet cacade ya gak kurang-kurang. Dhuwure malang tanggung. Tegese gak dhuwur gak cebol. Pawakane ginuk-ginuk, lek mlaku medel-medel, kaya menthog mari ngendhog. Terus lek guneman gak gelem ndelok sing dijak omong. Ndhingkluk semu mlorok.
Kabeh ya niteni, angger jam pitu thet, Borut budhal sakmarine nyecep lambene Mursalia ndhik ngarep lawang. Jam lima thot wis teka, terus mlebu bleng ble­dheng, lawang jendhela totupan rapet. Lek metu mesthi rentengan. Tau ana sing mergoki, Borut molih rada telat. Praene precang-precing kaya maling krinan. Nganti suwe ngonyar-nganyer ngarep lawang, wusananne ndheprok ndhik jobin. Gak ana sing ruh jam pira olehe lawang. Isuke Mursalia mekanjar melok nang kantor.
Pancen kacek adoh ambek Takim sing nyambut gawe melok Jasa Titipan Barang. Saben dina klabengan mubeng kutha, nge­terna barang kiriman. Kadhang-ka­dhang nganti njaba kutha barang. Budhal ambek molene gak ana pathokan resmi. Beda meneh karo critane Sunar sing nyam­but gawe ndhik toko kompan banyu listrik. Sok-sok ana sing tuku njaluk tolung masang pisan. Ambek Sunar dilembur nganti molih bengi barang. Saben sore wong loro iku sasate nglompuk ndhuk wa­runge Kang Mul. Lek gak ngono grudugan mancing, liya sore maneh ping-pong  ndhik bale RW.
He bojoku wong dhines, tapi gak tak kempit rek
“Lek nang luwar kota ngono iku turu­ne ndhik ndi?”. Mursalia kait ngecepret ngepasi arisan PKK sing kari mek wong pitu.
“Losmen Rek”, bojone Takim sing di­takoni  semaur.
“Ati-ati lo. Losmen iku nggene wong gak genah”.
“Hala. Kate ngana kate ngene pokok gak ndhik ngarep mataku lak wis. Sing penting bayarane molih”.
“Tergantung wonge. Lek dhasare crongohan masi gak ndhik losmen ya nglepek golek-golek”, Tatik melok nengahi.
“Lek aku, molih telat thithik ae sida tak osut nganti tuntas!” Mursalia sing lek omong pancen keminter, kemeruh gak gelem kalah.
Sing krungu pating pecucu. Batine padha maido, ketara tenan lek…..


Cerita Cekak – Posted by admin on February 25, 2013
wis oleh idi saka resepsionis, Firman gage nranyak munggah menyang kamar rom­bongan tamu hotel kanca-kancane, yaiku ing kamar nomer 305,306,307. Janjine operasine ing kamar 306. Nothog lawang, oleh jawaban kamar ora kemunci. Firman mlebu, ing kamar 306 kanca-kancane wis samekta lungguh jogan ngubengi peturon tengah ngadhepi pirantine dhewe-dhewe, laptop, printer, telpon, gadget, iPad, Black Berry Torch, modem, HP. “Beres!” ujare lang­sung tanpa ditakoni para kancane.
“Irawan, Telkom Ketintang Surabaya!” Condro pakon.
Irawan ngebel nomer telpon omah 8702759. “Hallo. Isa ngomong karo Detektip Handaka? Oh, sampeyan dhewe. Anu, Pak. Apa mau bengi mirsani RCTI jam 22.00? Wahdhuh eman. Ngene lo, Pak. Mau bengi disiyarake sapa-sapa pe­langgan Telkom sing paling setiya nggu­nakake telpon ngomah oleh hadhiyah. Di­gebyar ing RCTI antarane para tamu sing munggah panggung, ana perwakilan pe­jabat saka Menteri Sosial lan Kehakiman barang. Salah siji sing oleh hadhiyah no­mer telpon 0318702759 atas pelanggan asma Detektip Handaka. Rak sampeyan? Lha mula kuwi. Aku saka Telkom Ketin­tang Surabaya, Pak. Oleh tugas ngabari sampeyan. Ngene, luwih cethane, sampe­yan ngebel wae Telkom Pusat Jakarta, ca­theten, nomer 02140449614 asma pe­tugase Drs. Renaldi Firmansyah. Wis di­cathet? Genah ya, Pak? Oke. Aku ngatur­aken slamet sampeyan kadidene pe­langgan Telkom ngomah sing paling se­tiya, nganti oleh bebana mobil Avanza! Slamet ya! Wis, sampeyan bel saiki”.
Kamar ing 306 kabeh nyemak anteng. Meneng.
Kriiing! Kriiing! Firman gage nampani telpon sing ngebel.
Kabeh tamu hotel Kamar 306 ngguyu sumringah, pesta
“Hallo? Oh Surabaya? Detektip Han­daka? Sik daksemake ing dhaftar. Hadhi­yah 1 omah ing BSD Tangerang. Hadhiyah 2 Avanza ing Medan, Sitor…, karo ing Su­ra­baya, Detektip Handaka nomer telepon 031…! Oh iki, ya? Inggih, sampeyan oleh mobil Avanza. Regane on the road Rp 150 yuta, ning sampeyan karo wong Medan mau oleh gratis. Ana pilihan loro, Pak. Sing aqua blu silver, apa sing biru metalik? Padha wae. Sing metalik? Biru metalik? Oke. Dadi sing sijine kanggo wong Medan. Ngene, Pak. Weton tokone rak ing DKI Jakarta. Mangka kudu dikirim marang sing bakal nganggo ing Surabaya. Dadi metu­ne saka toko kudu oleh idin pulisi lalin DKI, sing arupa STNK lan BPKB-ne. Sing ngurusi kuwi Kepala Pulisi Lalin DKI, Kom­bespol Condrokirono. Yen penjenengane ora lagi ribet tugas, coba wae ngebela, catheten…, 02150362718 kuwi kantor dhinese. Kombeslalin DKI 02150362718. Coba dibaleni. Bener, bener. Kombespol Condrokirono. Yen sibuk, ya kapan-kapan ya bisa. Nanging dhek wingi ing siyaran RCTI diumumake hadhiyah bisa dikirim dina iki marang sing nampa. Ngreti ya, Pak? Urusen saiki wae yen bisa. Slamet ya, oleh hadhiyah nomer 2 saka Telkom”, Firman nutup telpone, usap-usap kringet ing gulune, karo manthuk-manthuk lega marang kanca-kancane.
Limang menit kamar hotel 306 anteng. Kabeh nyawang telpon sing diadhepi Condro.
Kriiing! Kriiing! Ora ndang diangkat. “Siap?” wong sakamar……..


Cerita Cekak – Posted by admin on February 5, 2013
KEKAREPANE Dirjo, anggone kepengin mundur saka PNS sanalika gawe horeg. Kanca-kancane sakantor padha gumun, kena apa guru mudha kuwi kok nduweni niyat sing aneh kanggo ukurane wong jaman saiki. Ora aneh piye, sing aran golek gaweyan kuwi angele ora me­kakat. Apa maneh pegawai negri sipil. Mi­turut kabar, saben ana pendaftaran PNS wong-wong padha iklas kelangan dhuwit puluhan nganti atusan yuta supaya bisa katut dadi PNS. Lha iki sing wis dadi PNS kok malah kepengin mundur?
Ing sadhengah papan saiki sing dadi bahan rembugan ora ana liya kejaba ke­karepane Dirjo kuwi. Kanca-kancane duwe maneka warna panduga, geneya wong siji kuwi kok sajak nekad tenan.
“Kira-kira bae Dirjo kepengin rabi maneh,” ngono panemune Pak Parno, guru PPKn.
“Ah, nek mung pengin rabi maneh bae kena apa kudu mundur saka PNS?” Pak Yani,  guru seni nyambung rembug.
“Lho sing aran  PNS kuwi rak ora kena wayuh yen alasane ora kuwat.”
“Ya carane no, sing aran aturan kuwi mesthi kena disiasati.”
“Nek miturut aku kok dudu iku sebabe. Anane Dirjo pengin mundur saka PNS sebab dheweke kuwi pengin dadi politi­kus. Ana sawijining partai politik sing siap ngajokake dheweke minangka anggota DPR pusat ing pemilu sing bakal teka iki,” Pak Wignya, guru IPA melu ngegongi.
“Dadi DPR ngono saiki uga ora gam­pang. Ora waton duwe dhuwit, sebab para pemilih saiki uga wis pinter. Aku yakin Dirjo ora gampang kelu marang pangi­ming-iminge liyan yen durung cetha tenan bener lan orane kuwi,” Pak Yani tetep mbelani Dirjo.
Kok durung njenengan rampungake Mas, endinge piye
Guru liyane uga banjur nyedhak melu rembugan. Kabeh padha ngira-ira kena apa kok Dirjo kepengin mundur saka PNS. Yen manut panemune Bu Nur, anane Dirjo kepengin mundur saka PNS awit kepengin netepi krenteging jiwane minangka seni­m­an. Sebab saliyane dadi guru, Dirjo iku uga sawijining dhalang. Senajan isih mudha ewasemono tanggapane wis luma­yan akeh. Nanging alasane Bu Nur iku uga dibantah dening Pak Yani. Dirjo iku senajan kerep tanggapan nanging ajeg bisa ngedum wektu. Mokal yen mung merga akeh tanggapan  banjur pilih mun­dur saka PNS.
Para guru iku terus rembugan gayeng ngenani Dirjo. Pancen guru liyane anggo­ne nyeluk wong siji kuwi ya mung cukup disebut jenenge Dirjo ngono bae. Arang kadhing sing nyebut pak. Sebab Dirjo kuwi kalebu guru anyar, sing umur-umur­ane paling enom. Apa maneh dheweke kuwi jarene risi yen diceluk ‘pak’. Jarene isih enom umur-umurane durung mba­paki. Muride-muride bae akeh sing ngun­dang ‘mas’. Nanging Dirjo uga ora nesu. Saka kono bae kanca rakete kaya dene Pak Yani kuwi wis bisa maca yen Dirjo kuwi  pancen duwe sipat sing aneh. Saiki saya aneh maneh sebab kepengin mun­dur saka PNS.
“Pak Yani, minangka kanca rakete Dirjo njenengan mbok nyoba ngelingake, mumpung durung kadhung. Sing aran getun kuwi dununge ana mburi lho,” Pak Parno menehi iguh.
“Nek sing ngelingake aku mesthi ora digugu. Sebab saben dina kulina guyon karo aku. Nanging yen sing ngelingake njenengan, dak kira bakal dirungokake. Guru senior sing wis wareg pengalaman ana sekolahan kaya njenengan kuwi akeh sing sungkan.”
“Iya yen ngono mengko dak cobane. Ketoke saiki Dirjo isih mulang. Bar ngene ngaso, mengko wonge dakajake golek sa­rapan, terus dakajake rembugan. Muga-muga Dirjo manut marang kandhaku.”
Pak Parno terus mlebu kelas, menehi tugas marang murid-muride. Dina kuwi mau panjenengane sengaja……..


Cerita Cekak – Posted by admin on January 28, 2013
Maune degan dadi klapa, maune juragan rosokan dadi juragan trebela. Tur ujug-ujug wis maprah lho daganganku. Sawernaning ukuran trebela ana, wiwit sing ukuran 80 cm, 100 cm, 140 cm, 160 cm, nganti tekan 220 cm. Lha nek ana wong dhuwure kliwat 220 cm, sadurunge mati ben pesen trebela dhisik secara mligi.
Modhele ya werna-werna. Ana modhel limasan, modhel kampung, modhel rata, modhel plengkung. Ana sing polos ana sing ukiran lung-lungan, ukiran mawar, ukiran mlathi rinonce. Lha nek ana sing ngersakake ukiran gambar buta apa gam­bar munyuk, sadurunge mati ben pesen trebela dhisik.
Sepisanan ana seket trebela sing dipa­jang ing pendhapaku. Saben malem Je­mu­wah Kliwon dak sebari kembang kiwa tengene. Iki saran saka kang Sodrun. Jare supaya gandane ngambar tekan dalan ngarep omah, njur padha ketarik karo da­ganganku. Wiwit iku, saben malem Jemu­wah Kliwon pendhapaku iku swasanane jan persis jaratan lor desa. Nanging gan­dheng nyandhing mesjid, dadi ya ora sepi, malah mesjide katut melu wangi ganda­ne.
Pitung sasi wis lumaku, lan sajrone wektu semono iku wis payon trebela pitu­likur. Ateges rata-rata saben sasi payon trebela papat. Mangka trebela siji bathiku nem atus ewu tekan sangang atus ewu. Sing bahane jati diukir mlathi rinonce iku paling larang, bathiku bisa sangang atus ewu. Sing tuku adhahane pejabat utawa tokoh masyarakat sing terhormat utawa rumangsa terhormat. Lha sing paling laris iku trebela polos sing modhel limasan, ban­jur dikemuli mori putih diwiru-wiru, kayune kastuba. Iku sing paling laris. Dene ukurane, akeh-akehe, yen diwasa 200 cm, yen bocah 150-an cm lan yen bayi 100 cm. Iku kabeh pancen dak cathet kanthi tliti, supaya pamburine yen nggelar dagangan bisa jumbuh karo pepenginane wong akeh. Aku iki pancen juragan sing sensitif marang situasi masyarakat.
Upama toko trebela iki daktutup lan turahan trebela sing isih ana iku dak sedhekahake, kowe rila ora
Sensitif ki…wah, angel olehku arep nerangake. Goleki dhewe wae ing kamus. Utawa, nek kang Sodrun mulih tilik desa, takona dheweke mesthi ngerti. Kanggo gambaran: biyen kae nalika tumpukan rosokanku didhemo wong akeh, langsung dak obong. Iku jalaran aku iki juragan sing sensitif marang situasi masyarakat. Nanging dagangan trebelaku iki upama didhemo ora bakal dak obong. Mengko omah pendhapaku rak katut kobong Mas.
Wong urip ki yen lagi siyal ya ora kaya uwong, kosok baline yen lagi mujur ya ora kaya uwong. Ndilalah, ing dalan gedhe ana tabrakan bis karo tesen. Kurban tatu akeh, sing mati ana pitulas. Ina lillahi wa inna ilaihi roji’un. Seneng ditukoni trebela, kabeh kurban dijupukake saka nggonku. Ning ya nggrantes weruh kurban pirang-pirang, weruh kulawargane padha tangis­an kelangan sedulur. Batinku dadi perang dhewe. Ana pitakon sing tansah muni ing batinku, lan ora bisa dak wangsuli: “Nek ngene iki aku seneng apa sedhih?”
Rumah bersaline bojoku wae ya mba­rung sinang. Sejatine, wiwit leren olehku dadi juragan rosokan, rumah bersaline bojoku laris maneh. Ora laris wae piye, wong bojoku ki bidhan ayu, pembantune ya ayu-ayu, yen tulung kelairan ya prigel lan resikan, katambah juru masake ya pin­ter, masakane enak. Laris. Nanging akhir-akhir iki ketanggor kelairan sing ora nor­mal, amarga nalika meteng ora gelem mrik­sakake kanthi ajeg. Jarene bayine nyungsang. Ana wong telu sing ngono iku. Banjur dikirim menyang rumah sakit sing pirantine luwih komplit lan nyandhing dhokter-dhokter spesialis. Akhire ing kana padha bedhah sesar. Cilakane, sing siji mati konduran jalaran kentekan dharah.
Let telung dina saka kedadeyan iku, omahku digrudug…..


Cerita Cekak – Posted by admin on January 22, 2013
Maune cengkir dadi degan, maune sopir dadi juragan. Kuwi aku. Jan seneng tenan aku. Iki gara-gara omongane Kang Sodrun. Angger mulih nyang desa mesthi omong tur nylekit: “Oalah Riin-Rin. Mangsa, seprana-sepre­ne kok panggah dadi sopir wae, lha oleh­mu arep dadi juragan ki kapan.
Nylekit ta? Ning aku ngerti banget, olehe omong ngono ki beteke kepengin nyurung aku supaya uripku ana mundha­ke. Cara uwit ngono, saya suwe saya dhu­wur, pange saya nyrekakah, godhonge saya ngrembuyung. Lha tenan, bareng dak rasa­ka­ke tekan ati, dak ulur nalarku, nyata te­nan omonge Kang Sodrun: aku dadi ju­ragan.
Dadi juragan mebel dudu juragan beras, nanging: juragan rosokan. Lho, aja njur mlengos karo mencep ngono kuwi. Aja ditonton rosokane, ning tontonen ba­thi­ne. Ora kalah karo juragan beras. Tenan Mas. Kepara luwih akeh banget kayaku. Sang Juragan Rosokan iki, tinim­bang ju­ragane beras. Tenan. Ning ya kuwi: juragan beras ki ambune sedhep, nek aku ambune prengus, mambu rosokan.
Sekawit aku ewuh aya tenan. Bojoku ki bidhan, bukak rumah bersalin ing omah. Nek rosokan setorane kanca-kanca bakul lan pemulung dak tumpuk ing kebon, mes­thi bakal ngambon-amboni pasiene bojoku. Sawise dak pikir lan dak petung kanthi njli­met. Wekasane nemu akal: aku nyewa ke­bone Mas Naya sing manggone rada kiwa, kanggo numpuk barang-ba­rang rosokan setorane para kanca. Telung ndina mesthi wis ganep sak pick up, terus dak setorake menyang pangumpul ing Sala. Tenan, aku ora umuk, saben sak pikep ngono kuwi ba­thiku limang atus ewu. Lha nek sesasi, apa ra wis limang yuta. Cekake, suk yen Kang Sodrun tilik desa maneh arep dak­pameri nek aku wis dadi juragan tenanan. Carane : arep dak jak njajan bakmi nyang warunge Bu Mijem, dak uja arep ngente­kake pirang piring
Ganep patang sasi olehku njuragan, ora lidok, aku wis bisa nyelengi rong puluh yuta. Wah, jan seneng aku. Wis dak ran­cang, mengko yen celenganku wis kliwat satus yuta, arep tuku trek, supaya bisa ngangkut rosokan luwih akeh.
Sawijining sore, lagi wae aku mulih saka mesjid, ora kanyana mak jedhul Kang Sodrun teka ing omahku. Langsung wae dak jak menyang warung Bu Mijem, njajan bakmi. Aku jan gumun, nalika dak tari: se­piring apa rong piring, wangsul­ane: telung piring. Lha apa wetenge amot?
Ora sranta sore iku tumpukan barang rosokan lan sampah ing kebone Mas Naya iku dak semproti lenga pet
“Godhog pa goreng?” takonku
“Goreng wae”, saure
Aku pesen patang piring. Maksudku: aku sapiring, Kang Sodrun telung piring. Batinku tetep tambuh-tambuh: wong siji kok aba bakmi telung piring, wetenge ki gek weteng apa. Nanging bareng wis ma­ngan entek sak piring, dheweke omong:
“Ana ngendi wae mapanmu, aja sok lali karo wong ngomah. Bakmi sing rong piring iki diwungkus, digawa mulih siji edhing, kanggo bojomu lan bojoku”.
Wah, saiki aku kurmat tenan karo Kang Sodrun. Jebul ngono kuwi pangrek­sa­ne marang batih. Mangka aku ki ya yen njajan ora tau kelingan nggawakake bojo­ku. Siji maneh aku oleh piwulang saka ka­dangku siji iki.
Nalika numpak mobil arep mulih, Kang Sodrun aweh saran supaya……….