By : Dylan Ridho
1.HALL OF FAME by THE SCRIPT
Video musik dari lagu ini cukup menyentuh,sangat pas dengan tema yang diusung oleh band asal irlandia ini.
Hall of Fame memang lagu yang mampu membakar semangat siapapun yang
mendengarnya,terutama buat kamu yang lagi mengejar mimpi. lirik dalam
lagu ini sangat positif serta bertebaran kata-kata pengharapan yang
membangkitkan.
siapapun kita,kita bisa jadi apapun yang kita mau. terus bermimpi,mengalahkan musuh dan jadi juara.
favorite part
dont wait your luck,
dedicate yourself and you can find yourself
2.DARK SIDE by KELLY CLARKSON
Kelly Clarkson,alumni American idol angkatan pertama ini punya banyak lagu bagus. salah satu favorit saya tuh,Dark Side.
Dark Side rilis 2012 lalu,menceritakan tentang seorang cewek yang
memiliki sisi gelap dalam hidupnya,tapi Ia juga berharap kalau seseorang
yang dicintainya nggak meninggalkannya karena hal itu.
lagu berirama pop rock yang super renyah ini mengingatkan kita kalau tak
ada seorangpun yang ditakdirkan sempurna,semua memiliki sisi gelapnya
masing-masing.
bukan tema yang unik,tapi kelly clarkson mampu membuatnya menarik. agak meledak-ledak,tapi disitulah titik kenikmatan lagu ini.
favorite part
it's like a diamond,from black dust.
it's hard to know what become.
if you give up,dont give up on me.
please,remind me who i really am....
3.ON TOP OF THE WORLD by IMAGINE DRAGON
sepanjang 2013 ini,Imagine Dragon jadi band yang paling bersinar. mereka punya lagu-lagu hebat yang merajai chart.
lagu On Top Of The World buat saya cukup mencuri perhatian.
pertama kali dengar,sangat berat di telinga tapi bagian reff nya cukup mengelitik untuk memutarnya lagi dan lagi....
On Top Of The World,inti lagu ini sebenarnya adalah perjuangan untuk
mencapai puncak dalam hidup. bagaimana kita harus mendaki untuk
mendapatkannya,melalui masa-masa sulit,terjatuh dan mencoba. tapi,semua
itu akan terbayar ketika kita sudah berada di puncak dan meraih apa yang
kita impikan.
favorite part
I've had the highest mountain
I've had the deepest river
you can have it all but life keeps moving.
I take it in but dont look down
4. 93 MILLION MILES AWAY by JASON MRAZ.
Tipikal lagu yang menghangatkan dan banyak orang sudah dibuat meneteskan air mata karena lagu ini.
terutama nih buat yang lagi jauh dari rumah. entah itu lagi kuliah atau
bekerja yang pasti kondisi juga memaksa kita jauh dari orang tua.
Jason Mraz menceritakan kalau kemanapun kita pergi,kita akan selalu
pulang dan dimanapun kita berada,kita akan selalu merasa nyaman jika
kita melakukan hal yang benar.
lengkap dengan nasihat ringan orang tua yang seakan makin
menguatkan,meski jalan yang kita tempuh akan sangat licin tapi akan
selalu ada tangan yang bisa kita pegang.
Hangatnya lagu ini semakin diperkuat dengan lirik pada awal dan akhir lagu,seolah ada sinar hangat yang ikut merasuk....
people get ready...get ready.
cause here it comes,it's a light.
a beautiful light,over the horizon into our eyes....
yes.bersiaplah!!!
5.BRAVE by SARA BAREILLES
Brave dirilis april 2013 tapi kembali mencuat pada september 2013 ketika
Katy Perry merilis lagu yang melodinya disamakan dengen Brave ini.
Brave kembali terdongkrak popularitasnya.
Ini lagu bagus,buat yang lagi butuh keberanian,kekuatan dan inspirasi positif,ini lagu yang pas untuk menemani.
ada saatnya,kita berada pada satu keadaan yang membuat kita
terkekang,tak berani bicara apalagi bertindak. padahal,jika kita melawan
itu akan ada hal hebat yang terjadi.
so,apa enaknya mengekang?
jadi inti lagu ini adalah "show me how big your brave is"
pesan dalam lagu ini dapet banget,bahwa ketakutan untuk berbicara dan
mengungkapkan pendapat nggak akan menghasilkan apapun,semua harus
dilawan dengan keberanian.
Sara menyanyikannya dengan penuh semangat,dengan letupan-letupan tak biasa yang membuat lagu ini terdengar unik.
Favorite Part
say what you wanna say. and let the words fall out.
honestly,i wanna see you be brave.
6.SAME LOVE - MACKLEMORE AND RYAN LEWIS feat MARY LAMBERT
Macklemore and Ryan Lewis cukup mengesankan tahun 2013 ini.single Thrift
shop jadi no.1 di banyak negara.tapi,single "same love" -lah yang
memiliki pesan lebih dalam dan berhasil menyabet "Video with the social
message" dalam acara bergengi sekelas MTV awards 2013 lalu.
seperti judulnya,Same Love mengambil tema homosexual yang dilihat dari sudut manapun akan selalu kontroversial.
tapi,budaya dan pola pikir masyarakat sekarang sudah sedikit berbeda.
meski kaum homosexual tak berada pada jalur yang sebenarnya,tapi mereka
memiliki hak dan kebebasan yang sama seperti yang lain.
meski bertema homosexual tapi banyak orang diseluruh dunia nge-vote lagu
ini hingga memenangkan kategori tersebut. hal ini membuktikan kalau
masyarakat tak lagi mempermasalahkan orientasi sex seseorang.
Favorite Part
the same fight,that led people to walk-outs and sit-ins.
human righs for anybody,there is no difference.
live on! and be yourself....
7.ALL OR NOTHING by GLEE CAST
Lagu original dari serial TV musikal favorite saya,Glee!
All or Nothing dibawakan oleh Marley dan Blaine,lagu ini memiliki arti
yang dalam dan Inspiratif,tapi nggak mengurangi keceriaan dari lagu
berdurasi 4 menit ini.
All or Nothing menceritakan tentang pengejaran sebuah mimpi,bahwa kita
nggak bisa diam saja,kita harus punya keputusan meski akan selalu ada
resiko yang mengikuti.
Pilihannya ada dua,kita meraihnya atau tidak sama sekali.tak boleh
diantara dua hal itu,tak boleh ada keraguan,kita lakukan dengan tuntas
lalu tunjukan pada dunia kesuksesan kita.
tema agak klise,memang. tapi lagu ini bikin kita nggak bisa berhenti nyanyi....
Favorite Part
and now,please dont judge me.
take my hand and say,
you'll always wish me well and send me luck..
8.WAKE ME UP by AVICII
Yes! ini lagu ngehits banget di Inggris dan Amerika,mampu tembus top 5
dalam penjualan digital single di itunes serta Billboard chart.
Wake Me Up dibawakan oleh seorang EDM artist paling hot saat ini,Avicii.
banyak anak muda jatuh cinta pada lagu ini,mungkin karena isinya cukup
dekat dan mengena.dengan lirik yang jujur tapi nggak murahan.
Wake Me Up menceritakan tentang pencarian jati diri seorang anak muda
tapi dia tersesat dan melakukan kesalahan dalam proses pencarian itu.
Dia mulai sadar dan ingin dibangunkan dari perilakunya yang salah.
kadang kita memang nggak sadar dengan kelakuan kita,meski sesungguhnya kita tahu apa yang kita lakukan.
kita juga nggak bisa menunggu sampai tua untuk berubah jadi bijak.
sementara kita nggak selamanya muda dan terus bersenang-senang...
sooo...wake me up!
ini lagu yang unik,keren,inspiratif serta sangat menghibur.
Favorite Part
i wish that i could stay forever this young.
not afraid to close your eyes.
life is a game made for everyone.
and love is a prize
9.ONE BIG FAMILY by MAHER ZAIN
Paman ku yang satu ini namanya sangat populer di Indonesia,bahkan
merilis beberapa lagu versi bahasa Indonesia dan pernah main sinetron
juga disini..
Pria asal swedia yang lahir di libanon ini terkenal memiliki lagu-lagu
RnB bernuansa Islami serta lagu-lagu bertema perdamaian dan hal-hal
universal yang begitu menyentuh.
salah satu Hits dari Maher Zain tahun ini adalah One Big Family yang
dimana lagu ini seakan ditujukan bagi umat muslim yang sempat mengalami
konflik beberapa saat lalu.
kita semua saudara,aku teruka,kamu teluka. aku bahagia,kamu juga bahagia....
Paman Maher ini mencoba menegaskan kalau seberapa jauh dia berada,bahkan jika kita nggak saling mengenal sekalipun.
kamu dan aku satu.
kita keluarga.
so? why you and me fight each other????
Favorite Part
We’re part of one family
No matter how far you are
And even if we don’t know each other
you and me, me and you, we are one.
10.UNCONDITIONALLY by KATY PERRY
Single ke 2 Katy Perry di album Prism,Unconditionally berisi pesan
sederhana tentang bagaimana kita mencintai tanpa syarat.tentang membuka
hati yang sepenuhnya,jujur tanpa ada satupun hal yang menghalangi.
itulah deskripsi katy tentang cinta dalam lagu ini.
bagi Katy,penerimaan adalah kunci untuk benar-benar bebas,tanpa rasa takut,hanya rasa iklas.
Unconditionally jadi lagu cinta yang universal dan untuk semua jenis cinta.
sangat inspiratif,tentunya buat kamu yang lagi belajar mencintai seseorang. cieeee...
Favorite Part
...I'll take your bad days with your good.
walk through the storm,i would.
i do it all because i love you
Total Tayangan Halaman
Selasa, 20 Mei 2014
Sabtu, 17 Mei 2014
KUMPULAN CERITA CEKAK 2013 (CERKAK 3)
By : Dylan Ridho
Sulang Online Cerita Cekak: “Lasirin
Dhagelan Kethoprak”
Oleh: Masdjup
a.k.a. Ki Dhalang Sulang
Pengantar:
Cerita ini pernah dipublikasikan di Majalah Mingguan “Panjebar Semangat” Edisi No. 06 tanggal 8 Pebruari 2003. Dipilih sebagai salah satu cerita untuk Lomba Penulisan Esai Cerkak Tahun 2003. Para peserta lomba yang mengambil objek cerita ini dan akhirnya meraih sebagai nominator dan juara lomba antara lain: (1) Moch Nursyahid P (Alm), wartawan dan penulis senior sastra Jawa dari Surakarta, (2) Sudarni, pengamat sastra Jawa dan dosen Unessa Surabaya, (3) Sugeng Wiyadi, penulis dan dosen Unessa Surabaya, dan lain-lain. Dalam pengunggahan cerita ini disajikan sesuai aslinya dengan bahasa Jawa, dan dengan sedikit editing pada beberapa paragraf, ejaan dan pembetulan salah tulis. Untuk ukuran cerkak, cerita ini tergolong relatif panjang. Para pembaca harap maklum adanya (Pen).
Cerita ini pernah dipublikasikan di Majalah Mingguan “Panjebar Semangat” Edisi No. 06 tanggal 8 Pebruari 2003. Dipilih sebagai salah satu cerita untuk Lomba Penulisan Esai Cerkak Tahun 2003. Para peserta lomba yang mengambil objek cerita ini dan akhirnya meraih sebagai nominator dan juara lomba antara lain: (1) Moch Nursyahid P (Alm), wartawan dan penulis senior sastra Jawa dari Surakarta, (2) Sudarni, pengamat sastra Jawa dan dosen Unessa Surabaya, (3) Sugeng Wiyadi, penulis dan dosen Unessa Surabaya, dan lain-lain. Dalam pengunggahan cerita ini disajikan sesuai aslinya dengan bahasa Jawa, dan dengan sedikit editing pada beberapa paragraf, ejaan dan pembetulan salah tulis. Untuk ukuran cerkak, cerita ini tergolong relatif panjang. Para pembaca harap maklum adanya (Pen).
Lasirin
Dhagelan Kethoprak
Dening: Masdjup (Ki Dhalang Sulang)
Dening: Masdjup (Ki Dhalang Sulang)
Paitane
Lasirin ora liya ya mung saka rupane sing kawit biyen mula wis katon lucu.
Upama dheweke munggah panggung tanpa lorengan ngono para penonton wis mesthi
ngguyu kepingkel-pingkel, kepuyuh-puyuh, malah sok nganti kepentut-pentut. Mula
saben rombongan kethoprake entuk tanggapan, Lasirin ora nate keri, mesthi melu
munggah panggung. Ndhagel. Banjur para penonton padha iwut nguncali
wungkusan-wungkusan wujud apa wae. Rokok, jajanan, malah ora kurang sing padha
nguncali amplopan isi dhuwit kanggo saweran.
Minangka
ijole, Lasirin banjur nembang lelagon sing dipesen penonton lumantar tulisan
ing dluwang sasuwek sing dikatutake njero wungkusan lan amplopan mau.
Anggone
nembang mesthi dikantheni njoged pethakilan sing katon unik lan nganyelake. Yen
Lasirin wis tumandang ngono kuwi, penonton saya kranjingan lan gemes banget.
Kena-kenoa, Lasirin diangkah supaya terus tetembangan lan jejogedan sewengi
natas. Wis ben, ora nganggo lakon-lakonan ya ora apa-apa paribasane.
“Eeeee…..
karepe dhewe. Sing ditanggap iki ora mung dhagelan thok lho lur, nanging
kethoprak komplit. Nek pengin nanggap khusus dhagelan Lasirin ya sesuk wae.
Nanging ya kudu mbayar dhewe lho gus, yu, le, nang, he he he he he….” ngono
wangsulane Lasirin karo plerak-plerok nggregetake, nalikane penonton padha alok
supaya dheweke terus wae anggone ndhagel. Krungu wangsulane Lasirin ngono mau,
para penonton malah nanggapi pating blerok sing ora jelas basane, nanging wose
padha marem banget atine.
Cekake,
Lasirin pancen wis dadi dhuweke masyarakat pandhemen kethoprak ing wewengkon
kono. Jenenge saya moncer. Malah-malah amarga saking moncere, wong-wong padha
luwih gampang nyebut kanthi jeneng “Kethoprak Lasirin”, katimbang nyebut jeneng
resmi rombongane: Sandiwara Kethoprak Mangun Budaya”. Lasirin kaya-kaya
minangka suksmane rombongan kuwi. Tanpa Lasirin wis kena dipesthekake yen
Mangun Budaya ora bakal payu tanggapan. Bola-bali wis klakon yen rombongan
kethoprak kuwi pinuju pentas nanging tanpa Lasirin, sing nanggap lan penontone
pisan mesthi kuciwa.
“Nonton
kethoprak Mangun Budaya nek gak ana Lasirin padha karo ora! Mulih mulih!” ngono
aloke penonton, banjur katon siji baka siji padha bali kanthi nggawa ganjelan
kuciwa ing ati. Sing nonton dadi sepi. Sing nanggap uga melu gela. Mula ora
kurang sing banjur padha mangkas bayaran tanggapane, sanadyan dikantheni bengkerengan
adu gurung karo pimpinan rombongan kethoprak luwih dhisik.
Ing
wektu-wektu iki pancen Lasirin kerep lowok ora melu manggung. Dene sabab
musababe ora liya marga dheweke wis katon lara-laranen dipangan taun. Umure
pancen wis ngancik eketan munggah. Upama ora krana wis dadi sandhang pangane
wiwit enom hengga seprene mono, janjane dheweke wis wegah banget munggah
panggung. Apa maneh isih kudu ngonthel sepeda tumuju menyang lokasi pentase.
Banjur isih kudu nebar panglipur marang para penontone, sing kepengine mung
kudu kepranan atine awit saka geculane, tetembangane, lan solah tingkahe
Lasirin ing panggung.
Huh! Kesel!
Dheweke pancen kesel tenan. Kesel ragane, kesel pikirane, lan uga kesel jiwane.
Karo maneh yen dheweke tetep ngaya lan nekad penthalitan kuwi arep nggolekake
sapa? Lha wong ya ora anak ora bojo wae!
Kasunyatane
dheweke pancen wis ora duwe kulawarga babar blas. Sadurunge manggon ing desane
sing saiki kuwi, dheweke ora nate ngandhaake asal usule. Bebasan dheweke
kuwi tanpa dhangka tanpa sengkan, wong kleyang kabur kanginan, akandhang langit
akemul mega. Mung wae ana sing nate krungu riwayat asmarandanane. Jare biyen
dheweke ya duwe pengankah kaya wong wong akeh kae, yakuwi kepengin mangun bale
somah karo sawijining kenya nunggal kampunge. Nanging bebasan dheweke mung
keplok tangan sisih. Kenya sing dituju prana kuwi babar pisan ora nimbange
katresnane. Ya ora jeneng mokal yen ana prawan sing nolak katresnane. Bandha
ora gableg. Apa maneh rupa, paribasane mbuwak mbuntel. Jan ala tenan. Ora ana baguse
sithik-sithika.
Wusana
dheweke minggat saparan-paran. Nganti tumeka sawijining desa sing nduwe
rombongan kesenian kethoprak Mangun Budaya kuwi. Nalika samana sing dadi
tetuwanggane Kethoprak Mangun Budaya ora liya Mbah Mangun, bapake Pak Bandi,
ketua rombongan sing saiki. Dheweke nekad nglamar dadi anggota rombongan kuwi.
Mbah Mangun gelem nampa panglamare Lasirin, nanging dhapukan sing lowong
mung minangka pendhagel. Sanadyan durung nate nglakoni dadi seniman kethoprak,
luwih-luwih dadi dhagelan, Lasirin nekad nyaguhi.
Mbok menawa
jalaran rupa gawan bayine sing katon ala lan lucu kuwi, sithik baka sithik
Lasirin bisa mersudi kabisane ing babagan gecul-geculan. Ndilalah penonton
padha nampa kathi senenge ati.Wusana dheweke klakon dadi bintang panggung. Mung
wae sajake atine wis kadhung sengkleh ing bab donyane katresnan. Tekade arep
mbujang selawase. Uripe mung bakal diudhokake kanggo wong akeh. Aweh panglipur
marang sapa wae lumantar ndhagele ing panggung, yen perlu hengga puput nyawane.
Nanging
dheweke lali yen kahanan ragane wis ora kena diajak kompromi. Penyakit tuwane
arupa loyo lan watuk mengi saya ngrembaka. Mula dheweke banjur kepeksa prei ora
kuwagang munggah panggung maneh. Rombongan Kethoprak Mangun Budaya klakon
kelangan bintange, sahengga saya surut pamore. Suwene-suwe ora payu tanggapan
babar pisan. Pak Bandi minangka jejere ketua rombongan kaya-kaya kentekan akal
kanggo nguripake suksmane rombongan kethoprake. Dheweke ngerti banget underan
perkarane, gene kethoprake dadi mati? Ora ana liya mung kajaba Dhagelan Lasirin
sing klakon pensiun kuwi.
“Apa Pakdhe
Lasirin kudu tak peksa munggah panggung maneh ya? Ah! Sajake nglengkara. Njur
kepriye caraku kanggo mbalekake nyawane Mangun Budaya? Wis tak jajal golek
gantine Pakdhe Lasirin kanggo dhapukan dhagelan, si Marno Singkek kuwi, nyatane
ora kepangan dening para penanggap lan pandhemen. Dhuh Gusti, dalem nyuwun kali
damar Gusti…… mesakaken lare-lare sami kecalan sandhang patedhanipun,
Gusti…” ngono pisambate Pak Bandi ing batin, wola-wali meh saben wengi,
sangsaya ketara pupus panalare.
Sidane dheweke nekad nyoba ngglembuk marang Lasirin. Embuh carane, sing baku Lasirin kudu gelem bali munggah panggung. Ora ana dalan liya maneh. Ya mung iki siji-sijine syarat-sarengat amrih pakumpulan kethoprak Mangun Budaya bali moncer. Mula ing sawijining sore dheweke klakon nyambangi Lasirin ing omahe. Omah cilik balungan lan gedheg pring sing saya dhoyong sajak arep rubuh. Sadurune mlebu ing omah sing luwih pas disebut gubug kuwi, Pak Bandi unjal ambegan. Landhung banget. Embuh apa tegese unjal ambegane kuwi.
Sidane dheweke nekad nyoba ngglembuk marang Lasirin. Embuh carane, sing baku Lasirin kudu gelem bali munggah panggung. Ora ana dalan liya maneh. Ya mung iki siji-sijine syarat-sarengat amrih pakumpulan kethoprak Mangun Budaya bali moncer. Mula ing sawijining sore dheweke klakon nyambangi Lasirin ing omahe. Omah cilik balungan lan gedheg pring sing saya dhoyong sajak arep rubuh. Sadurune mlebu ing omah sing luwih pas disebut gubug kuwi, Pak Bandi unjal ambegan. Landhung banget. Embuh apa tegese unjal ambegane kuwi.
“Sampeyan
apa gak mesakake marang kanca-kanca ta, Pak Dhe? Yen ora ana sing
nanggap, anak bojone njur dha dipakani apa coba! Kamangka yen arep padha
nyambut gawe liyane ngethoprak, sajake wis padha lali carane. Macul wis dha
wegah, mbakul gak dha gableg modhal. Yen pengin dadi pegawe, njur kantor ngendi
sing gelem nampa wong mbambungan kaya kanca-kancane dhewe iki? Mula ya, Pak
Dhe, aku welasana. Wis ta, sampeyan njaluk apa lan bayaran pira anggere gelem
bali manggung maneh!” pangrimuke Pak Bandi marang Lasirin sawise kekarone
lungguh lincak pring njero omah kuwi. Sing dirimuk durung kumecap. Mripate
kethap-kethip nyawang menjaba, karo sedhela-sedhela watuk menggeh-menggeh.
Ing batine dumadakan tuwuh perang tandhing swara loro saka njero sing
padha sorane. Sing siji kepengin ngeman awak, sijine maneh kudu nglabuhi
kanca-kancane. Lasirin gedheg-gedheg. Banjur nggigil maneh.
“Sampeyan…
rak ngerti dhewe ta, Lik, awakku… wis gapuk kaya ngene…. Apa ya … isih kuwawa…
mbadhut?” wangsulane Lasirin karo menggeh-menggeh ngampet mengine.
“Bisa! Aku yakin sampeyan bisa ngayahi kaya wingi uni. Sampeyan nyimpen kabisan sing ngedab-edabi ing babagan gecul-geculan. Marno Singkek, Nardi Meler, apa dene Jaeman Klithik gak paja-paja yen ditandhing karo sampeyan. Tenan iki, Pak Dhe! Dene bab penyakite sampeyan mengko bakal tak tambakake nyang dokter nganti saras. Piye Pak Dhe?” pandheseke Pak Bandi.
“Bisa! Aku yakin sampeyan bisa ngayahi kaya wingi uni. Sampeyan nyimpen kabisan sing ngedab-edabi ing babagan gecul-geculan. Marno Singkek, Nardi Meler, apa dene Jaeman Klithik gak paja-paja yen ditandhing karo sampeyan. Tenan iki, Pak Dhe! Dene bab penyakite sampeyan mengko bakal tak tambakake nyang dokter nganti saras. Piye Pak Dhe?” pandheseke Pak Bandi.
Lasirin unjal
ambegan nyendhat-nyendhat. Pak Bandi disawang satleraman. Banjur panyawange
dibuwang metu adoh maneh. Sepi. Kekarone dadi meneng-menengan. Sajake padha
kentir marang arusing lamunane dhewe-dhewe. Mung kala-kala ajeg sineling gigil
watuk saka pendhagel tuwa kuwi. Tangane Pak Bandi kumlebat mijeti pundak lan
gulune Lasirin. Nganti sawetara wektu, hengga rada lerem watuke Lasirin. Embuh
lerem temenan apa pancen diampet. Pak Bandi tetep sabar angranti
wangsulan saka wong tuwek elek nanging sing tansah dadi klangenane wong akeh
iki.
“Ya wis…..
nek pancen…. aku isih dibutuhake kanca-kanca…. lan uga…. para warga kabeh….
mengko tak cobane…..ning ana sarate….”, wangsulane Lasirin sawise
nimbang-nimbang sawetara. Sidane dheweke nibakake pilihan kanggo kapetingane
wong akeh. Dheweke ora tega marang nasibe kanca-kancane yen nganti padha
kaliren krana wis ora payu tanggapan. Yen pancen ngono tenan, dheweke malah
rumangsa dosa marang kanca-kancane ngethoprak kabeh.”Luwih becik sisa umur iki
tak anggo aweh pitulung marang bala-bala mbabungan kae”, ngono dheweke mbatin
kanggo nguwatake tekade.
“Sarate apa,
Pak Dhe?” panyaute Pak Bandi karo wiwit katon padhang raine.
“Pisan…. aku gelem bali manggung…. yen wis waras…. lan ora nggigil maneh…. Dene angka loro…. saben ana tanggapan… aku kudu diparani…. lan dibocengake…. nganti tekan panggonane sing nanggap…ya mung kuwi sarate….”.
“Beres, Pak Dhe! Tak sanggupi. Wis saiki sampeyan ndang salin klambi. Ayo saiki uga tak gawa nyang dokteran!”
“Pisan…. aku gelem bali manggung…. yen wis waras…. lan ora nggigil maneh…. Dene angka loro…. saben ana tanggapan… aku kudu diparani…. lan dibocengake…. nganti tekan panggonane sing nanggap…ya mung kuwi sarate….”.
“Beres, Pak Dhe! Tak sanggupi. Wis saiki sampeyan ndang salin klambi. Ayo saiki uga tak gawa nyang dokteran!”
Ing wektu
kuwi uga Lasirin klakon diobatake menyang dokter ing kutha sing ora patiya adoh
saka desane. Seminggu sepisan Pak Bandi nlateni ngeterake Lasirin menyang
dokter kuwi mau. Ganep patang minggu sajake Lasirin wis katon sehat. Mung wae
dokter pesen yen Lasirin kudu gelem njaga awak lan mangane.. Ora kena melek
bengi, lan ora kena ulah gawe sing abot-abot. Nanging Lasirin mbatin yen ora
bakal bisa nuruti nasekate dokter iki. Yen dheweke klakon waras lan kudu
mangkat manggung maneh, mesthine kudu melek bengi, penthalitan, lan pethakilan
ing ndhuwur panggung, sing abote ora kalah yen ditandhing karo wong nggoluk ing
sawah apa dadi manol kae.
Lasirin bali
manggung. Rombongan kethoprak Mangun Budaya bali ngrembuyung. Laris manis.
Lasirin saya ngedan anggone dhapuk dhagelan. Wis gilig tekade kanggo ngabdekake
sisa umure. Ya mung krana ndhagel iki modhale kanggo lelabuh marang
sapada-padane urip. Bisa nglancarake dalan pangane kanca-kancane.. Uga bisa
aweh panglipur marang sagunging warga sakiwa-tengene. Dheweke krasa mongkok lan
marem banget atine. Bebasan kaya dene nyandhung kembang cempaka
sawakul-wakul gedhene.
Kosok balen
karo Pak Bandi. Sanadyan Mangun Budaya bali gumregah, nanging dheweke malah
miris nyawang polah tingkahe Lasirin sing sajak kebablasen semangate. Yen
nganti ana apa-apane Lasirin, dheweke sing rumangsa paling luput, jalaran ya
dheweke sing ngojok-ojoki Lasirin supaya gelem manggung maneh.. Mula dheweke
banjur mbudidaya supaya Lasirin bisa rada direm semangate sing tuwuh
makantar-kantar kuwi. Carane, kala-kala Lasirim ora dikabari yen pinuju entuk
tanggapan ngedhur tanpa leren. Sanadyan ta nggawa resiko gawe kuciwane wong
sing nonton apa dene sing nanggap, kalamun kepeksa pentas kethoprakan tanpa
Dhagelan Lasirin.
Ngepasi dina pengetan ari kamardikan pitulas Agustusan ing kutha kecamatane, Kethoprak Mangun Budaya ditanggap. Amarga ing wewengkone dhewe tur kanggo pengetan ari kamardikan, mula Pak Bandi sarombongan ora mathok rega tanggapan kaya adate. Wis padha diniyati setengah sambatan. Mula Lasirin uga ora dijawil. Luwih-luwih sedina sadurunge, nalika Pak Bandi tilik menyang omahe Lasirin, sing ditiliki katon gumlethak lara. Pak Bandi saya mantep yen pentas ing kutha kecamatane ora perlu nganggo dhagelan Lasirin. Sanadyan penontone mengko bakal padha kuciwa ya ora dadi apa. Sing baku Lasirin kala-kala bisa ngaso sawetara. Marga ora dikabari mula ing bengi pentas kuwi Lasirin ora teka temenan.
Ngepasi dina pengetan ari kamardikan pitulas Agustusan ing kutha kecamatane, Kethoprak Mangun Budaya ditanggap. Amarga ing wewengkone dhewe tur kanggo pengetan ari kamardikan, mula Pak Bandi sarombongan ora mathok rega tanggapan kaya adate. Wis padha diniyati setengah sambatan. Mula Lasirin uga ora dijawil. Luwih-luwih sedina sadurunge, nalika Pak Bandi tilik menyang omahe Lasirin, sing ditiliki katon gumlethak lara. Pak Bandi saya mantep yen pentas ing kutha kecamatane ora perlu nganggo dhagelan Lasirin. Sanadyan penontone mengko bakal padha kuciwa ya ora dadi apa. Sing baku Lasirin kala-kala bisa ngaso sawetara. Marga ora dikabari mula ing bengi pentas kuwi Lasirin ora teka temenan.
Tabuh sanga
bengi pentas diwiwiti. Nalika tiba giliran ekstra geculan sawise jejeran
kedhatonan, sing didhapuk minangka dhagelan ora liya Damin sing adate dadi
pasangane Lasirin. Bengi kuwi kepeksa dipasangi Pak Bandi dhewe. Kekarone padha
mbudidaya gawe geculan lan jejogedan kanggo aweh panglipur marang penonton.
Sing dikuwatirake Pak Bandi klakon temenan. Penonton padha kuciwa bareng diwenehi
ngerti yen bengi kuwi Lasirin ora bisa aweh panglipur amarga lagi nandhang
lara. Penonton ora bisa nampa alesan kuwi. Salah siji ana sing mbalangake gelas
wadhah aqua menyang panggung. Banjur liyane padha kepancing niru, nyawatake apa
wae sakecekele marang Pak Bandi lan Damin. Swasana dadi rame semrawut. Para
punggawa Hansip padha nyoba melu nentremake penonton, nanging wis ora digubris
babar pisan. Kabeh-kabeh padha nuntut supaya Lasirin bisa ditekakake ing bengi
kuwi uga.
Keber ngarep
dikerek mundhun. Pak Bandi lan Damin mudhun saka panggung bali menyang
kombongan. Penonton ora mendha pangamuke malah saya ndadra. Bareng keber ngarep
ditutup, para penonton padha genti ngrangsang para pengrawite.. Mula para
penabuh gamelan nuli padha buyar mlayu ngadohi panggung.
“Merdekaaaa!….merdekaaaaa!..
..merdekaaaaa!”
dumadakan ana swara saka tengah-tengahe penonton sing lagi padha ngamuk kuwi.
Kabeh nuli katon mlengaki asaling swara. Ing tengah-tengahe penonton ana
sawijining pawongan sing nganggo klambi kimplongan werna putih. Sirahe nganggo
udheng abang putih saka dhuk Pramuka. Salah sijining penonton ana sing alok
ngundang jenenge Lasirin. Pancen bener. Pawongan sing nganggo sandangan
putih-putih lan nganggo udheng merah putih kuwi ora liya pancen Lasirin temenan.
“Hidup Lasirin! Hidup Lasirin! Hidup Lasirin” ngono sorake penonton kaya ambata rubuh. Lasirin kanthi trengginas munggah panggung sing kebere isih durung dikerek munggah.
“Merdekaaaa!” aloke Lasirin karo ngepelake tangan tengene.
“Merdekaaaa!” kabeh penonton padha nyaut kanthi serempak, uga karo ngangkat tangane.Keber bali dibukak. Lasirin klakon ndhagel, dikancani Pak Bandi lan Damin. Swasana malik grembyang. Penonton padha lega atine. Banjur kaya adate akeh sing padha nguncalake wungkusan isi rokok, lan amplopan kanggo nyawer. Siji baka siji layang pesenan lelagon saka penonton dileksanani. Penonton saya kranjingan. Jumbuh marang solah tingkahe Lasirin sing saya ngedan. Kaya dudu sabaene. Pak Bandi lan Damin wiwit kuwatir marang polahe Lasirin kanggo nglanggati panjaluke para penonton. Pak Bandi nyoba aweh sasmita marang Lasirin supaya anggone ndhagel dilereni luwih dhisik. Mengko yen wanci tengah wengi bisa ditutugake maneh. Nanging Lasirin ethok-ethok ora ngerti sasmita saka Pak Bandi. Terus lan terus anggone nglucu, nglawak, ndhagel, nembang, sinambi jogedan pethakilan. Ing bengi iki ngepasi pengetan ari kamardikan, kaya-kaya dheweke kepengin ngesok glogok kabeh kabisane kanggo aweh panglipur marang kabeh warga masyarakat.
“Hidup Lasirin! Hidup Lasirin! Hidup Lasirin” ngono sorake penonton kaya ambata rubuh. Lasirin kanthi trengginas munggah panggung sing kebere isih durung dikerek munggah.
“Merdekaaaa!” aloke Lasirin karo ngepelake tangan tengene.
“Merdekaaaa!” kabeh penonton padha nyaut kanthi serempak, uga karo ngangkat tangane.Keber bali dibukak. Lasirin klakon ndhagel, dikancani Pak Bandi lan Damin. Swasana malik grembyang. Penonton padha lega atine. Banjur kaya adate akeh sing padha nguncalake wungkusan isi rokok, lan amplopan kanggo nyawer. Siji baka siji layang pesenan lelagon saka penonton dileksanani. Penonton saya kranjingan. Jumbuh marang solah tingkahe Lasirin sing saya ngedan. Kaya dudu sabaene. Pak Bandi lan Damin wiwit kuwatir marang polahe Lasirin kanggo nglanggati panjaluke para penonton. Pak Bandi nyoba aweh sasmita marang Lasirin supaya anggone ndhagel dilereni luwih dhisik. Mengko yen wanci tengah wengi bisa ditutugake maneh. Nanging Lasirin ethok-ethok ora ngerti sasmita saka Pak Bandi. Terus lan terus anggone nglucu, nglawak, ndhagel, nembang, sinambi jogedan pethakilan. Ing bengi iki ngepasi pengetan ari kamardikan, kaya-kaya dheweke kepengin ngesok glogok kabeh kabisane kanggo aweh panglipur marang kabeh warga masyarakat.
Lan……meh
kabeh padha njerit nalika Lasirin klakon nggeblag ing ndhuwur panggung. Pak
Bandi lan Damin padha gugup mrepegi Lasiran sing tiba mlumah ora obah ora
onthek kuwi. Kekarone banjur katon ngoyog-oyog awake Lasirin. Nanging Lasirin
tetep ora kemruget babar pisan. Para paraga Mangun Budaya liyane uga banjur
melu ngrubung Lasirin. Kabeh kepengin nyumurupi kahanane Lasirin sing sabenere.
Nanging sajake pancen wis tiba marang pepesthene. Lasirin tumekeng pati nalika
lagi ngayahi jejibahan sing wis diyakini. Apa ya dheweke wenang sinebut
minangka sawijining pahlawan? Sing cetha dheweke ora bakal dikubur ing Taman
Makam Pahlawan ngendi wae. Banjur nganti ganep pirang ndina jenenge Lasirin
bakal dieling-eling dening para warga? Kabeh ora padha ngerti, kajaba
amung Gusti Kang Maha Suci.***
Tamat
BONSAI
Wis meh
sedina Drajat nunggu Rista, bojone sing arep nglairake. Bola-bali Drajat keprungu
sambat lan jeritane bojone sing nembe berjuang ngliwati maut.
Kanggo nylimur pikire sing ora karuwan, Drajat nyoba ngobrol karo wong sing uga
nunggu ana ing rumah bersalin kuwi. Nanging mbuh ngapa, apa wae sing
dadi bab rembugane, kabeh kaya ora mathuk. Pikire Drajat tambah ora karuwan,
deweke banjur wira-wiri kaya wong linglung. Saya cetha menawa saiki Drajat
lagi ora kepenak ati.
“Adhuh, aku
ora kuwat!”
Drajat
kaget. Krungu sambate Rista, Drajat kaya ditangekake saka ngimpi sing
ala. Drajat banjur kelingan ana ing wayah sore nalika Rista kandha menawa dheweke
mbobot. Krungu mangkono Drajat banjur mbopong Rista, dirangkul lan di
ambungi. Sedina wutuh Drajat mesam-mesem dewe..
“Adhuh
Gusti!”
Sambate
Rista keprungu meneh. Drajat banjur ndonga, lambene ndremimil ngucapake donga.
Apa meneh nalika dheweke kelingan wektu bojone kandha menawa bayi sing
dikandhut kembar. Wektu kuwi, Rista banjur digendhong karo di ning-nang-gung.
“Adhuh mas,
piye iki ?!”
Jebule,
saben Rista sambat, pikire Drajat ibarate kaya pita kaset sing otomatis
mereviuw kadadeyan sing wis kelakon. Saiki kupinge Drajat kaya-kaya
rungon-rungonen nalika Rista kandha menawa miturut pemeriksaan doktere
yen dheweke ora bakal isa nglairake cara normal. Bab iki amarga
pinggule Rista cilik. Artine Rista kudu operasi.
“Gustiii..Gustiii..!”
Pikirane
Drajat nggrambyang meneh, kelingan wektu dheweke lagi padu karo Rista. Wektu
kuwi Rista ngakon Drajat ngedol Bonsai kesayangane. Tujuane, dhuwite
bisa kanggo wragat operasi Caesar. Drajat ora sarujuk menawa bonsaine
didol. Ora setujune Drajat, amarga bonsai mau wis bola-bali menang ing
sayembara-sayembara bonsai. Kabare, bonsai mau uga wis tau dinyang karo salah
sawijining kolektor ing kutha. Jane mono bonsaine Drajat okeh cacahe,
nanging wektu pas iki kari loro sing rencanane amung kanggo duwen-duwen dhisik.
Biyasane, bonsaine Drajat apik-apik, amarga Drajat anggone ngopeni
temenan. Kanggone Drajat, bonsai wis kaya jantunge dhewe. Ya saka bonsai kuwi
mau Drajat bisa ngragadi uripe.
Ning,
persoalane saiki pasedhiyan bonsane Drajat sing ana ngomah amung kari loro,
kuwi wae bonsai ora kanggo didol ana ing wektu cedhak. Amarga Drajat duwe feeling
menawa rega bonsai mau isih bisa terus mundhak regane lantaran asringe
bonsai mau entuk juara ana ing saben lomba bonsai. Durung meneh menawa dheweke
kelingan jamane ndadekake bonsai mau. Nggawe bonsai sing apik mbutuhake
ketlatenan, kesabaran, kaya kreasi sing elok lan improvisasi.
Merga kuwi mau Drajat ora gelem ngedol bonsaine.
“Usahake
lair normal wae!” ujare Drajat wektu kuwi.
***
Kahanane
Rista ing kamar priksa memelas, awake wis kaya ora duwe tenaga meneh. Mungkin
amarga bola-bali wis kanggo ngeden, nanging jabang bayi tetep durung gelem
metu. Awake ndredheg lan kebak kringet, lambene sing cilik-tipis bola-bali
ndremimil ndonga kaya maca mantra wae. Rista ngarep-arep banget supaya bojone
gelem ngedol bonsaine.
Rista balik
ngeden lan ngeden maneh. Tenagane kekuras, Rista ora perduli tenagane entek.
Nanging tetep ora ana asile, Rista banjur pasrah ngenteni tumuruning mujijat.
Mujijat sing dienteni uga ora mudhun-mudhun lan bab iki sing nyebabkake
jiwane drop lan sawangane mripat kaya suwung.
Mbuh merga
apa, ujug-ujug mripate ora gelem kedhep, jelalatan ndelengi sakabehe isi kamar.
Sepisan ana ing pojok kiwa ana alat bantu oksigen, banjur mubeng searah
jarume jam, ana cedhake lawang ana tempat sampah cilik. Terus ana
ing pojok tengen ana alat bantu nglairake. Pungkasane ana ing tengene
patidhur pasien ana meja pasien.
Jane, katone
Rista durung arep nguwisi padelengane mau, nanging merga keganggu ana dokter
sing katone lagi kesusu mlebu ana kamare Rista amarga arep nemoni dokter Bowo
sing lagi nangani Rista. Mulane Rista banjur nguwisi padeleng lan genti
nggatekake dokter sing lagi teka mau. Padeleng mripate Rista marang dokter
Irvan, mengkono jenenge dokter mau, kaya lagi kaweruhan setan wae, mantheng lan
ora kedhep babar blas. Saiki mripate Rista temuju marang kanthong ana
ing klambi sragam dokter Irvan. Saktleraman ana gunting bedah.
Ora dinyana
ora dikira, ujug-ujug Ristra nyaut gunting bedhah mau lan sreeeett…
“Ampuni kula
Gusti, ampunilah kula Gusti!” jerite Rista melengking-lengking.
Krungu
panjerite Rista mau, pikire Drajat nggrambyang, kelingan jaman padu karo ibune.
Wektu kuwi ibune ora kandha dhisik marang Drajat, menawa bonsai kesayangane
Drajat diwenehake marang dokter sing nambani penyakit kankere ibune. Nesune
Drajat temenanan, malah nganti sawetara wektu Drajat ora aruh-aruh karo ibune.
Malah wektu kuwi ibune banjur mulih menyang ndesane amarga ora tahan dinesoni
anake dhewe. Nganti wektu ibune tinimbalan dening Gusti Allah, Drajat ora kober
njaluk ngapura. Drajat sadhar ora pengin mbaleni kesalahane biyen. Ora suwe
Drajat banjur ngadeg mlayu mulih arep ngedol bonsaine. Lan dhuwite arep
kanggo prabeya operasi bojone.
Ora suwe
Drajat olehe lunga. Saiki wis teka maneh ing rumah sakit. Sak durunge
Drajat mbalik ana ing kamare Rista, dheweke tumuju ana ing kantor
administrasi dhisik, arep nyerahake dhuwit kanggo operasi. Nanging pihak sing
ngurusi keuangan rumah bersalin mau ngakon marang Drajat nemoni
dokter Bowo dhisik. Lagi pirang jangkah Drajat mlangkah, ana swara
nyeluki deweke.
“Lho, Pak
Drajat ana kene ta?” Kula nggoleki sampeyan. Wonten bab wigati sing ajeng kula
kandhakake.”
“Kleresan
Dok, kula inggih badhe kepanggih panjenengan. Wonten bab wigati ingkang badhe
kula aturaken.”
“Bab bojo
sampeyan, ta?”
“Mekaten
Dokter, kula kepengin bojo kula dioperasi kemawon. Kula mboten tegel kaliyan
kawontenanipun bojo kula.”
“Oalah Pak,
saiki anak sampeyan wis lair slamet, kembar lanang.”
“Gusti.
Anakku… anakku wis lair, Dokter?!”
“Bener,
pak!” dokter Bowo nyalami Drajat.
“Matur
nuwun, Dokter, matur nuwun, Dokter!”
“Pak Drajat,
kudhu matur nuwun karo bojo sampeyan. Amarga dheweke dhewe sing bisa marakake
anak sampeyan lair slamet.”
“O, inggih
Dok, pripun kahananipun bojo kula, Dokter?”
“Mangga
Pak,” Dokter Bowo ngomong karo ngajak Pak Drajat nuju kamar kerjane. Drajat
diajak mlebu ana kantor pribadine dokter Bowo mau. Ana ing njero kantor,
dokter Bowo nglanjutake omongane.
“Wektu iku
kabeh dokter mbantu supaya bojo sampeyan bisa nglairake normal. Sak tenane
jabang bayi angel metune amarga bangkekane bojo sampeyan cilik, ditambah
bayine kembar sisan. Mula kabeh dokter mutusake kudu operasi Caesar. Merga wis
diputusake mengkono aku banjur nggoleki sampeyan, ajeng njaluk
persetujuanipun.”
“Mboten
napa-napa, dok. Pinten mawon beayanipun, badhe kula tanggung.”
“Sekedhap
Pak Drajat…” dokter Bowo gojag-gajeg arep nerusake omonge.
“Wonten
napa, Dok?
“Wektu kabeh
dokter arep metu ngrembug kahanane bojo sampeyan. Rasti njupuk-nyaut gunting
bedhah ana sakune dokter Irvan. Olehe njupuk gunting cepet banget. Ora nyana,
bubar kuwi dheweke banjur nyuwek wetenge dhewe nganggo gunting mau. Rasti
banjur njupuki dhewe jabang bayi sing ana wetenge dhewe. Mula saktenanne bojo
sampeyan dhewe sing tumindak ngoperasi. Anak sampeyan slamet sakloron, ning
kanthi abot manah kula ngandhakake menawa bojo sampeyan ora bisa dislametake.”
“Dhuh
Gusti…Gusti ampuni kula!!” bola-bali Drajat nggetuni kahanan kuwi.
“Aku sing
salah Gusti, Aku sing wis ndadekake bojo kula pejah. Ampuni kula Gusti…!!
Ampuunn…!!
Raga
lan jiwane Drajat drop, dhengkule kedher, jantung lan getihe kaya-kaya
mandheg. Drajat ambruk ana njobin, ndlosor banjur mbrangkang lan sendhen ana
tembok. Mripate mlolo ora kedhep, dheweke kelingan ibune. Susahe Drajat tambah
mucuk nalika mangerteni kahanane bayine sakloron. Awake cilik menthik,
malah bisa diarani kerdhil. Driji sikil karo tangane ora amung cacah lima nanging
gunggung wolu, persis kaya bonsai.***
Sumber:
Majalah Penjebar Semangat Versi Online.
ORA KAGODHA
Anggone
nyambut gawe dadi tukang becak wis suwe banget, wiwit manten anyar
nganti nduwe anak papat. Isih diayahi kanthi rasa tanggung jawab sarta ora
nduweni rasa aras-arasen babar pisan. Kanggone Durasim, kendharaan rodha telu
kuwi wis dianggep kaya dene sawah sing wulu pametune kanggo nguripi anak bojo
mben dinane. Satemene biyen tau banting stir bakulan pitik sing ora
patiya rekasa. Ning jebul malah kerep rugi. Mbomenawa wae pancen wis ditakdirake
dening sing ngecet lombok manawa garis uripe kadidene tukang mancal
becak.
Dina kuwi
isih jam sepuluhan nanging panase wis krasa sumelet. Karo methangkrong
neng ndhuwur becake, bola-bali Durasim ngelapi raine sing gemrobyos nganggo
andhuk cilik kang dikalungake gulu. Durasim ajeg mangkal neng prapatan ringin
kembar. Diarani prapatan ringin kembar merga ing kiwa tengene prapatan pancen
thinukulan wit ringin kang padha gedhene. Durasim banjur ngetokake udud klobot
saka sak clanane. Sakwise disumed dheweke ngematake anggone ududan
sinambi ngenteni tekane penumpang. Rokok sakler sing disedhot wis meh
entek naging penumpang sing diarep-arep blas durung ana sing kemliwer. Kamangka
biyasane yahmono kuwi dheweke paling ora wis narik pindho.
”Man, iki
dina apa ta?” pitakone Durasim marang Suliman, kancane becakan sing uga
mangkal ana kono.
”Genah dina
Slasa ngene kok, pikun pa piye kowe kuwi,” semaure Suliman karo mijet ban
becake ngarep mburi.
“Gak ngono,
kok penumpange sepi men? Apa kira-kira pas dina apese awake dhewe?” ujare
Durasim karo ngguwang rokok sing kari tegesan. “Nek ngene iki penak dadi pegawe
negri ya, nyambut gawene alus mben wulan enek sing dijagakne,” panggresahe
Durasim.
“Menungsa
mono sawang sinawang, Kang. Kaya dene gunung kae yen disawang saka kadohan
katon endah. Ning bareng dicedhaki jebul kebak watu-watu padhas lan ri
bebondhotan. Kok kira para pegawe negri iku gak sambat? Awake dhewe iki ibarat
padasan, yen diiseni banyu kebak mancure iya banter. Semono uga nek kari
setengah utawa meh asat mancure ya alon.”
”Ya ana
benere omonganmu”.
“Mulane gak
usah nggresula. Pegawe negri mono biyene sekolah dhuwur lan ngentekake ragad
akeh. Wis sakmesthine yen tembene nyambut gawe kepenak, bayarane gedhe. Lha nek
aku karo kowe sekolah wae mung trima lulusan SD, mulane nyambut gawene ya
nganggo okol. Ning sing penting khalal lan tansah diparingi seger
kuwarasan. Najan kaya ngene asile isih bisa kanggo nguripi anak bojo.”
“Becak,
Pak!”
Durung
nganti Durasim nganggapi omongane Suliman, kesaru tekane wanita umur-umuran
likuran taun celuk-celuk arep numpak becak. Durasim lan Suliman gageyan menyat
saka lungguhe banjur nata becake.
”Aku apa
awakmu sing narik,” pitakone Durasim.
“Kowe dhisik
ora papa, Kang. Mengko nek eneng penumpang maneh giliranku,” kandhane
Suliman.
Durasim
banjur nginger becakake lan dipapanake ana sangarepe wanita mau.
“Badhe
tindak pundi, mbak?” pitakone kanthi unggah-ungguh alus.
“Terminal,
Pak. Pinten ongkose?”
“Biyasa
mbak, pitung ewu.”
“Nggih pun,
mangga nek ngaten,” wangsulane kenya kuwi banjur nata bokonge sing katon
montog neng ndhuwur becak. Ganda wangi parfum nyegrak irunge Durasim. Yen
nyawang sragame putih-putih, penumpange kuwi cetha sawijining pegawai
kesehatan. Rodha becak ngglindhing lon-lonan tumuju arah terminal. Swarane
gumerit kriyet-kriyet, kala-kala pating glodhag uger bane ngambah jeglongan.
Karo mancal
becake, sadalan-dalan Durasim nggagas uripe sing tansaya suwe dirasa tansaya
abot. Kaya-kaya ajine dhuwit saka anggone mbecak ora mbejaji yen dibandhingake
undhak-undhakan rega kebutuhan. Kebutuhane saya akeh, nanging reregan saya
nekak gulu. Wis ngono penumpange saya sepi sebab wong-wong wiwit padha
wegah numpak becak lan pilih kredit sepedha motor.
“Kendel
sekedhap, Pak!” abane kenya kuwi karo mlengak memburi menehi kodhe supaya
mandheg. Durasim agahan ngerim becake.
“Enten napa,
Mbak? “
”Kula tak
mampir dhateng supermarket sekedhap, njenengan tengga. Mangke ongkose kula
tambahi.”
Kenya manis
mau banjur mlebu super market. Sinambi ngenteni penumpange, panyawange Durasim
tumuju wong-wong sing mlebu metu super market. Wong-wong mau padha nggawa
blanja mbrengkut. Sandhang penganggone resik tur necis, ora kaya bojone sing
lagi ana omah. Aja maneh kok diajak blanja menyang super market, sedhenge
blanja neng toko pracangan wae bojone asring utang. Saploke bebojowan Durasim
rumangsa durung bisa mulyakake sing wadon. Tujune bojone kuwi klebu wanita sing
nrima lan gelem diajak urip sengsara.
Dumadakan
Durasim weruh dhompet warna ireng gumlethak ana ngisor becake. Kanthi
gurawalan dhompet dijupuk. Sawise diiling-ilingi sedhela, tanpa dibukak
dhompet banjur dilebokane kothak dicampur karo peralatan becak. Pikirane malih
semrawut. Yen isine dhompet mau dhuwit terus arep diwenehake sapa wong dheweke
ora ngerti sing duwe. Upama diwenehake satpam gek-gek malah ora bali
marang sing duwe merga jaman akeh uwong sing ora kena dipercaya. Durung mari
anggone nglimbang-nglimbang, penumpang sing dienteni mara karo nyangking
blanja rong kardhus.
“Ngapunten
Pak, radi dangu,” ujare kenya mau karo mapanake kardhus ing pangkone.
“Mboten
dados menapa, Mbak.”
Pedhal becak
dipancal ninggalake plataran super market tumuju terminal. Ning sadalan-dalan
Durasim mikir dhompet sing lagi wae ditemu. Upama bener ana dhuwite terus
arep dibalekake marang sapa? Apa digawa mulih wae, sebab dheweke lagi butuh
dhuwit kanggo nyaur utang lan ngobatake anake sing nandhang lara. Rasa kesel
lan sumelete srengenge ora dirasakake. Pikirane mung ketuju marang dhompet.
Durasim nggenjot becake daya-daya tekan terminal sebab selak ora sranta
kepengin ngerteni isine dhompet mau.
Sawise
ngudhunake penumpange ana terminal, becak banjur diputer menyang panggonan
sepi. Tekan gang-gangan ngisore wit mahoni dheweke mandheg. Tangane ngrogoh
dhompet sing disimpen ana kothak. Kanthi tangan gemeter alon-alon dhompet
dibukak. Durasim sumlengeren bareng weruh yen isine dhompet iku jebul dhuwit
bendhelan rong yuta. Dheweke bingung awit ya lagi kuwi sak umur-umure nyekel
dhuwit semono akehe.
Tuwuh
pikirane sing ora-ora. Kelingan tanggane sing uga tau nemu dhuwit yutan.
Dhuwit temon kuwi banjur kanggo mangan lan nyandhangi anak bojone. Sisane
kanggo ngrehab omah. Nanging sawise kuwi kulawargane genti-genten kena musibah.
Ngelingi kuwi kabeh Durasim sing sekawit kepingin ngepek dhuwit nang
njero dhompet mau banjur dadi kendho. Karo maneh dhuwit kuwi dudu hake lan kudu
dibalekake marang sing duwe. Ning banjur piye carane mbalekake?
Tangane
Durasim banjur ngrogohi slempitan dhompet kang isi SIM, STNK, ATM lan kertu
tandha anggota (KTA) bidhan. Dheweke saya kaget sakwise namatake foto KTA.
Durasim durung lali, foto kuwi fotone kenya sing mentas diterake. Jenenge Ayu
Ariyanti, alamate ing Rembang. Durasim bali lenger-lenger. Anggone niyat
mbalekake dhompet dadi mangu-mangu awit Rembang mono adoh saka omahe ing
Bojonegoro. Mokal yen dheweke bakal ngeterake dhompet mau menyang Rembang. Ning
Durasim ayem bareng diwaca maneh jebule ing KTA ana nomer telpun omahe Ayu.
Karo
unjal ambegan landhung, Durasim bali nggenjot becake, nrobos panase
kutha mecaki panguripan sing nyamut-nyamut. Durasim, senajan jamane wis edan
nanging emoh melu ngedan.
(Cuthel)
Sumber: Majalah
Penjebar Semangat Versi Online.
Botol
Plastik
“Wis seger
ya”, ngono sapaku marang prawan setengah tuwa, bintang sinetron, sawise
dheweke adus. Aku pancen nunggoni aneng kono. Nyawang olehe reresik awak.
Wiwit sikatan, kramas, sabunan, nggebyur lan babar pisan umbah-umbah
panganggo jerone. Prawan iku ora nggape, malah rengeng-rengeng lagune Didi
Kempot. Awake katon weweg. Bubar adus krasa bingar, seger. Pancen sedina kuwi
hawane krasa panas, sumuk. Dheweke ora wangsulan. Pancen sajake ora krungu
panyapaku.
Sedina iki
mau dheweke lagi prei, ora ana jadwal syuting. Wingi-wingi meh saben
dina lunga, kadhang tekan bengi. Dadi bintang sinetron seri lan disiarake ana
televisi saben dina. Istilahe kejar tayang. Pancen ya kesel temenan.
Nanging asile lumayan. Sebab nadyan durung rong taun dikontrak dadi peran
pembantu, saiki dheweke wis duwe sepedha-motor anyar. Sandhangane uga tambah
akeh lan apik-apik modhele. Senadyan umure wis ngancik telungpuluh telu,
nanging katon isih luwih enom. Awit awake kerumat.
Rumangsaku
dheweke ya prawan lumrah. Praene ya manis, ora angkuh, ya ngerti
unggah-ungguh. Ora gampang nesu, kepara sok ngalah. Apa maneh karo Rawi,
siji-sijine adhine lanang, sing dadi bos pulsa tilpun seluler lan duwe kios
cacah rolas. Nadyan wis bisa golek dhuwit dhewe, malah wis duwe sisihan lan
anak lanang siji, Rawi kadhang isih sok mbeda mbakyune.
“Ndi mbak,
tukon rokoke!”
“Jare dadi
bos pulsa, dhuwit rokok bae sambat!” Mbakyune ganti melehake, nanging ya sambi
tangane ngulungake rongpuluhan ewu rong lembar.
“Kesuwun,
kesuwun. Dhuh, cen mbakyuku temenan.”
“Ki
daktambahi, tukokna mobil-mobilan kanggo anakmu!”
“Kesuwun.
Alhamdulillah.”
Wis ana
patang pasaran aku manggon ing kamar-mandhi pribadhine, kang cedhak karo kamar
paturone. Kadadeyan apa wae ing kono, sithik-akeh aku krungu lan ngerti. Kaya
rong dina kepungkur, prawan kuwi – o, iya jenenge Wuri — dilamar wong saka
Semarang. Jarene dhudha anak loro, sudagar barang rongsokan nanging sugih.
Dhudha mau asring nonton lakon sinetrone, suwe-suwe kasengsem. Ning ya mbuh,
kaya-kaya Wuri durung gelem.
Kuwi kabeh
satemene kadadeyan biyen. Watara setengah taunan sing wis kliwat. Saiki aku wis
ora manggon aneng kamare Wuri maneh. Aku wis pindhah. Dheweke ya wis lali
marang aku. Lali temenan. Anggepe aku wis dadi titah tanpa aji. Aku uga babar
blas wis ora nate ngerti kepriye nasibe, wis sida oleh jodho apa durung.
Elingku, ing sawijining sore, Wuri adus kramas. Aku luntak-luntak. Sakabeh sisa
sing ana ing gembungku kasuntak entek. Awakku pegel kabeh, sirahku krasa
puyeng. Nanging isih lamat-lamat krungu swarane Wuri. Ing kamar mandhi rengeng-rengeng
lagu lawas, Bujangan, anggitane band Koes Plus. “……Begini
nasib jadi bujangan, ke mana-mana, asalkan suka, tiada orang
yang melarang …..” Apa iku ateges Wuri pancen isih seneng dhewekan, aku ora
ngerti.Saka dayane cahya mau, aku kaya-kay kasedhot. Kaya-kaya dijunjung mabur
sandhuwuring tlaga.
Sawise kuwi
aku ora eling. Aku semaput. Aku ora krasa yen esuke disingkirake Wuri. Ora
krasa yen banjur dilarung aneng kali Bogowonto. Ora krasa uga yen telung dina
aku kenyut ilining banyu. Nanging sajroning semaput aku malah ngimpi. Kaya-kaya
aku nglangi aneng tlaga lendhut. Kuwi tlaga lendhute Bledhug Kuwu utawa
tlaga lendhute Sidoarjo, ora pati cetha. Mung rumangsaku, aneng kono anggonku
nglangi krasa abot. Napasku ngos-ngosan, krasa panas. Kaya-kaya arep ora kuwat.
Nanging ndilalah kersaning Allah, dumadakan saka langit sisih wetan,
sacedhaking lintang Panjer Esuk, kaya ana cahya nyemburat warna jingga. Saka
dayane cahya mau, aku kaya-kaya kasedhot. Kaya-kaya dijunjung mabur
sanduwuring tlaga. Mubeng-mubeng sawetara, ngliwati gunung Merapi, ngliwati
Gunung Kelud dan Semeru. Sarwa cepet. Ngerti-ngerti mudhun aneng pucuking
Gunung Agung ing pulo Bali. Rumangsaku, ing kono awakku dadi wangi. Dirubung
kupu lan tawon madu. Nalika aku kepingin njegur aneng tlaga Kintamani, tan kanyana
aku nglilir. Aku sadhar saka semaputku.
Ujare wong
akeh, jare impen kuwi mung kembanging turu. Sawetara pangandikane para
pujangga ana uga impen sing ngemu pralambang. Aku ora ngerti lan ora nate
neges-neges apa impenku biyen. Mbuh pralambang, mbuh kembang turu. Nanging
kabeh kang kadadeyan dumunung sanjabane pangiraku. Saiki aku lungguh
aneng kursi empuk. Sakiwa tengenku kebak kembang paesan. Ngganda wangi,
amarga kala-kala disemprot parfum. Ya saiki iki aku dadi pajangan aneng
kothak kaca sajroning mall kutha Surabaya. Pancen nasibku kadidene
cakra manggilingan. Tau kepenak kaya ing omahe Wuri. Tau ora rekasa nalika
dilarung ing kali, campur rereged warna-warna. Ning begjaku, saka pinggir kali,
aku diopeni dening tukang-batu sing bojone makarya dadi pengrajin boneka saka
barang bekas. Awakku sing langsing diupakara, didandani, diklambeni, dibengesi
lan liya-liyane. Pungkasane dadi boneka cantik, sing disenengi
anake wong-wong sugih. Wah, rasane seneng tenan.
Urip aneng
kono kanyata ora suwe. Aku dipundhut dening mbak Tery kanggo hadhiah
tanggap-warsa putrine, sing ngancik patang taun. Mbak Tery kuwi bojone Om
Trialdo, yaiku pemain bal saka Brasil sing dikontrak kumpulan bal-balan
Bratasena FC. Wiwit kuwi aku meh saben dina ngancani Mirdha, prawan cilik sing
tregil, yen melek meh ora tau leren anggone dolanan. Kadhang aku dijak nyanyi,
njoged, utawa nyandiwara. Mirdha dadi ibu, aku dadi anake. Mangkono
sadina-dinane.
Klakon
setaun Om Trialdo ganti dikontrak kumpulan bal-balan Barito FC ing Kalimantan.
Mirdha lan ibune melu pindhah mrana. Jalaran keburu-buru, ora kabeh
barang-barang darbeke digawa. Sabageyan sengaja ditinggal, sabageyan ketriwal.
Klebu aku dhewe, boneka cantik sing dumadi saka botol plastik, melu sing
kesingsal. Esuk mau wis kesampar saka dhapur tekan luwangan uwuh. Awan mau kena
panase sang surya tanpa bisa suwala.
Sore iki si
Kacung, nom-noman tangga sing sok dikongkon resik-resik, klakon ngobong uwuh.
Ateges ya babar pisan ngobong awakku. Awakku nglinthing kepanasen. Ora nganti
seprapat jam wis dadi areng, dadi awu. Awakku sirna, musna. Kari sukmaku mbaleni
impen lawas. Mabur. Sandhuwure gunung Merbabu, ngliwati gunung Kelud lan
Semeru. Nanging ora tekan pulo Bali. Malah mengalor nyebrang segara, tumuju
menyang Banjarmasin. Ngetutake sedulur sinarawedi, Mirdha, anake mbak Tery.
Nanging ora suwe. Aku nglayang maneh, ngidul-ngulon. Ngliwati bengawan Solo
lan kali Bogowonto. Sedhela mampir ana omahe tukang-batu sing nate nulungi
awakku. Terus mangulon. Pungkasane tekan sawijining perumahan ing tlatah
kutha Bogor. Tekan omahe Wuri sing anyar. Aneng petamanan mburi omah, dheweke
lagi lungguhan karo sawijining priya bagus. Kekarone katon kaya Pranacitra lan
Rara Mendut lagi padha pacelathon. Mbuh apa sing lagi pada dirembug. Mbuh!
SEPURE WIS
MANGKAT
AKU nyawang
arloji, jam 10 kurang limang menit. Saka speakere stasiun Tawang, Semarang
keprungu lamat-lamat lagune Sony Jozh. Ora rinasa eluhku tumetes. Tembang
kang mentas tak rungu mau malah njejuwing rasa pangrasaku. Kaya lagi
nyemoni apa kang tak lakoni saksuwene iki. Gawang-gawang ing mripatku
lelakon seminggu kepungkur ing stasiun iki ya ing kursi kang saiki tak
lungguhi. Lelakon kang njalari ati kang sasuwene aku bebojowan mati dadi
urip maneh.
Anggonku
bebojowan cukup suwe nanging durung kaparingan momongan. Sepining batinku saya
ngambar-ambra awit saploke ningkahan arang kadhing kumpul bojo merga dipisahake
dening jarak. Aku nyambutgawe ing pamulangan luhur negri ing Semarang dene
bojoku ngasta ana perguruan tinggi ing Bandung. Satemene ora kurang-kurang
anggonku mbudidaya amrih bisa nyawiji karo bojoku nanging engga seprene durung
bisa kaleksanan.
Rasa
tresnaku marang mas Bas, bojoku, dadi luntur mbaka sethithik engga wusana ilang
kasaput angin. Wis ora ana rasa apa-apa marang mas Bas sanajan yen pinuju
ketemu ngana kae ya nindakake kaya satataning wong bebojowan. Rumangsaku rasane
anyep tur ampang. Nanging ndilalah ana kedadeyan ora kanyana kang
ndadekake atiku murub maneh. Yakuwi nalika ana tamu saka Jakarta sakperlu
ngoreksi utawa monitoring marang penggaweyan kan dadi tanggung jawabku.
Gawang-gawang kadadeyan seminggu kepungkur bali cumithak ana angen-angenku.
“Saya besok
naik Kereta Gumarang dari Jakarta, sampai Semarang jam 13.00”, ngono unine sms
kang mlebu Hpku nalika iku.
“Baik Pak,
kami usahakan untuk menjemput bapak ke stasiun”, aku mbalesi.
Aku banjur
ngajak pak Pur, sopir lembaga lan Bu Ati, staf kantor, supaya ngancani
aku mapag rawuhe tamu saka Jakarta mau. Nanging najan wis meh sakjam
anggonku ngenteni sepure meksa durung teka. Kamangka kudune sepur wis mlebu
stasiun Tawang jam 13.00 nanging iki nganti jam 14.00 kok ya durung teka.
Nalika atiku
goreh, saka speaker keprungu pengumuman menawa sepur sing dak antu-antu
wis nyedhaki stasiun. “Perhatian untuk para penumpang, Kereta Api Gumarang
jurusan Jakarta – Semarang sebentar lagi akan memasuki stasiun.”
Ora let suwe
penumpang wis pating brubul metu saka gerbong. Nanging aku durung
weruh Pak Pramujo, ya tamu saka Jakarta kuwi.
“Selamat
siang Bu, selamat bertemu kembali.”
Aku kaget,
lha wong kene lagi menthelengi penumpang sing ndlidir metu saka stasiun
kok mara-mara piyantune malah wis ana jejerku. Pak Pram ngathungake tangan
ngajak salaman.
“Selamat
siang Pak, selamat datang di Semarang. Semoga perjalanan Bapak tidak ada
halangan apapun,” aku mangsuli karo nampani astane.
“Langsung ke
hotel saja Pak,sudah kami pesankan.”
“Ya Bu, saya
ngikut saja.”
***
Wis rong
dina papriksan berkas lan bukti lapangan katindakake dening Pak Pram. Maneka
warna sing ditakokake, ewadene ya isih akeh sing dianggep kurang sampurna. Aku
rada kaget karo sikepe Pak Pram. Dek semana nalika aku ngaturake proposal
menyang Bogor sikepe cuek. Mesem wae ora. Nanging bareng saiki ketemu ana
lapangan jebul akeh guyone lan nyumadulur. Kanca-kancaku sakantor melu seneng
marang sikepe Pak Pram kang ora galak kaya pengawas sing uwis-uwis. Rong dina
dudu wektu sing suwe tumrapku, nanging keconggah ngurupake genining atiku sing
wis kebacut mati. Tuwuh rasa senengku marang Pak Pram sing kebapakan lan
simpatik mau.
“Besok
pulang ke Jakarta jam berapa Pak?” pitakone Bu Ati nalika Pak Pram wis
rampung niti priksa berkas lapuran.
“Jam 10
siang Bu.”
“Baik Pak,
besok saya siapkan mobil untuk mengantar Bapak,” aku nyaut sebab minangka ketua
proyek aku rumangsa duwe tanggung jawab marang panjenengane.
***
“Maaf Pak,
tidak ada mobil kantor dan sopir yang nganggur. Terpaksa saya sendiri yang
ngantar Bapak dengan sepedhah motor,” kandhaku nalika Pak Pram wis samapta ing
lobby hotel.
“Tidak
apa-apa Bu, yang penting saya bisa sampai stasiun. Naik taksipun boleh jika
terpaksa,” wangsulane Pak Pram andhap asor.
Alon-alon
motor tak lakokake tumuju stasiun. Sakdawane mlaku menyang stasiun ora akeh
kang bisa dianggo bahan obrolan, luwih akeh meneng-menengane sinambi ngenam pikirane
dhewe-dhewe. Nanging ya sakdawane mboncengke Pak Pram mau atiku saya ora
karu-karuwan. Rumangsaku kaya lagi boncengan karo pacar. Tekan stasiun
karepku arep ngeterake mlebu nanging dicandhet dening Pak Pram.
“Tidak perlu
diantar sampai dalam Bu, cukup sampai disini saja.”
“Tidak
apa-apa Pak, wong saya juga sedang tidak ada kegiatan”, kandhaku karo nyangking
oleh-oleh kang arep digawa Pak Pram. Oleh-oleh pitukone kanca-kanca, makanan
khas Semarang-an, kalebu bandeng dhuri lunak. Pak Pram mesem lan ngetogake aku
melu mlebu peron.
Aku melu
lungguh ngancani Pak Pram, nunggu sepur kang arep nggawa panjenengane kundur
Jakarta. Ya ing ruwang tunggu iki akeh obrolan kang kawetu saka lambeku
lan lesane Pak Pram. Sejatine mung ngobrol wajar, nanging cilakane malah dadi
ora wajar tumrapku. Aku bola-bali nyawang pasuryane Pak Pram kanthi premati. Ya
lagi ing stasiun iki aku bisa taneg ngematake pasuryane sing bagus jalaran
sasuwene rong ndina ngancani panjenengane ora kober nggatekake. Tak
sawang-sawang kok tambah nengsemake. Atiku kaya urip lan rasa pangrasaku mumbul
maneh. Ati lan pangrasa kang wis lawas mati marga ora tau diopeni bojo.
Durung tutug
anggonku ngobrol sinambi ngematake pasuryane Pak Pram dadak keprungu aba-aba
yen sepur jurusan Jakarta arep mlebu stasiun. Pak Pram menyat siap-siap ana
pinggir ril.
“Saya
bawakan salah satu tasnya Pak,” kandhaku karo nyangkingke tas oleh-oleh.
“Nggak usah
Bu, saya sendiri bisa kok,” wangsulane pak Pram karo mesem.
“Tapi kan
repot,” kandhaku.
Bareng
sepure wis mlebu, aku lan Pak Pram munggah gerbong 2 nggoleki kursi 10 C.
Sawise kursine ketemu lan barang wis diunggahke nduwur bagasi, aku nyawang
penumpang kenya merak ati kang bakal dadi kancane Pak Pram lenggah.
Ana rasa ewa ing atiku, yagene dudu aku sing njejeri penjenengane tumuju
Jakarta?
“Hati-hati
Pak, selamat jalan,” kandhaku karo ngajak salaman.
“Ya Bu
terima kasih atas semuanya dalam melayani saya selama disini,” wangsulane Pak
Pram karo nggegem tanganku kenceng.
“Sama-sama
Pak, saya turun dulu,” aku banjur mlaku metu saka gerbong.
Ing ruwang
peron aku kepikiran marang wanodya kang ana jejere Pak Pram. Aku cemburu marang
wanita kuwi nadyan ya ngrumangsani apa hak-ku nyujanani dheweke. Uthag-utheg
aku nggrayahi HP ing njero tas, banjur ngetik sms. “Hati-hati di jalan Pak,
jangan sampai dekat-dekat dengan cewek disamping Bapak lho.”
Sms banjur
tak kirim marang Pak Pram. Tak tunggu nganti suwe durung ana wangsulan. Nganti
sepure mangkat aku isih ngarep-arep wangsulane sms saka Pak Pram. Uga
ngarep-arep mbukake lawang ati, lawang ati kang durung tak ngerteni apa isine.
Sepure wis mangkat nggawa atiku kang sakdurunge kaku kaya watu kang saiki
wis lumer. Lumer dening sikepe Pak Pram semanak lan simpatik. Kang terus tak eling-eling
mung ngendikane Pak Pram nalika pamitan marang kanca-kanca, “Ke Semarang lewat
Pati. Semoga diwaktu mendatang bisa sampai kesini lagi”.
Kula tengga
rawuhipun, Pak!.
(Cuthel)
Sumber:
Majalah Penjebar Semangat Versi Online.
TAMBANE
KEBUNTEL JARIT
Ing Dawung ana randha jenenge Sablah.
Awake lemu ginuk-ginuk, solah bawane tregal-gregel nggemesake. Nanging ora
merga awake kang lemu dheweke diceluk Sablah. Wiwit awake durung mbedhah
dheweke wis ketelah Sablah. Yektine mono jenenge sing asli Salbiyah. Sablah
duwe anak lanang siji, jaka kemala-mala, jenenge Beja. Jejere bocah desa anak
randha, Beja kegolong bocah sregep nyambut gawe. Ndhaut macul kulina. Senajan
ora duwe garu luku dhewe, yen kon mocok nggaru ngluku ya bisa. Pokoke srabutan
pegaweyan apa wae gelem nandangi. Malah duwe sawah sak lupit tinggalane
bapakne swargi uga digarap dhewe, ora disewakake. Babagan ibadah, Beja ya
seneng sholat berjamaah lan sregep yen diajak melu pengajian.
Mung
kuciwane, dheweke yen pinuju prei, seneng ndhewe. Lungguh thenguk-thenguk ing
lincak teras omahe. Pandulune nrawang adoh, sajak ana masalah kang lagi nggubet
atine. Emane maneh, sifate tertutup. Ora tau blaka marang simbokne utawa kanca
rakete.
S : “Kowe
kuwi jane mikir apa ta Le. Kok sajak ana masalah kang lagi kok adhepi. Mbok ya
blaka wae marang simbokmu iki. Sapa ngerti aku bisa urun rembug kanggo ngudhari
benang ruwet kang nggubet atimu!”
B : “Ora ana
apa-apa kok mbok. Ya mung sayah merga dhek esuk rada sengkud nggonku macul neng
sawah!”
Saben-saben
ditlesih anake lanang ora gelem blaka. Parandene sing tuwa ya ora kemba. Ing kalodhangan
liya Sablah takon maneh.
S : “Apa
kira-kira kowe seneng numpak Honda kaya kanca-kancamu kae, yen pancen ngono ya
sawah sailat tinggalane bapakmu kae tak dole!”
B : “Ah, simbok
ki kok olehe ana-ana wae. Yen nganti sawah kae didol, lha njur sing arep kanggo
cagake urip awake dhewe apa? Apa mung ngendelake olehku buruh ndhaut lan macul?
Oleh-olehane simbok buruh matun lan tandur? Hiya yen tansah ana sing buruhake.
Lha yen ora njur kepriye. Karo meneh mbok, sing jenenge Honda, Suzuki apa
Yamaha kuwi rak butuh bensin lan oli lsp. Durung yen wis duwe BPKB lan STNK,
isih butuh SIM. Lah marake rebyeg mbok. Mancal sepedha onthel wae malah ora
butuh thethek-bengek. Malah bisa ndayani awak bagas-waras, sehat-walafiat.
Senajan ta
wis didhedhes-dhedhes si Beja ora blaka. Nanging simbokne yakin hakul yakin yen
anake lagi nandhang kasangsaya. Kanggo miyak wewadi kang lagi digembol anake
mau, pepuntone Sablah sowan wong tuwa, mbah Amat Sidik ing Magangan.
Sawise matur
purwa, madya wasana ing ngarsane, mbah Ta Sidik, priyayi sepuh kang wis
dianggep waskitha mau ngendika: “Anakmu pancen lagi nandhang lara. Nanging ora
perlu mbok tambakake menyang Mantri Kesehatan utawa Dokter. Jalaran yektine tambane
wis cumepak ing sakiwa tengene omahmu utawa sakiwa tengene Dawung.
S : “Lajeng
jampinipun anak kula niku napa mbah?”
A : “Jajal
golekana dhewe, anakmu tambane kebuntel jarit!”
S : “Menawi
mekaten keparenga kula nyuwun pamit. Badhe madosi tambane anak kula, ingkang
kebuntel jarit menika mbah”.
Dingendikani
mbah Sidik mengkono mau, si Sablah sak tekane ngomah, ora sranta, sakanane
jarit kang dilempit ing jero lemari diwetokake kabeh. Dijereng dijembreng,
dititi digoleki mbokmenawa ana apa-apane. Parandene kabuk, ora nemu apa-apa.
Durung marem atine saiki genti jarit sing diklumbrukake ing waskom. Kaya mau,
jarit-jarit kuwi dijereng dijembreng nanging meksa ora nemu apa-apa. Isih
durung trima malah jarit sing mau esuk dipepe ing memeyan. Dibiyak, dikebut-kebutake.
Asile : jasbukak blangkon lawon, sama jugak padha mawon. Nihil. Tita yen wis
ora bisa nemu apa-apa, kawetu pangresulane atine. Olehe ngresula ora cukup
dibatin, nanging diucapake sora.
S : “Dhukun
kalipah. Dhukun saiki bisane ngakali opah. Jare tambane kebuntel jarit,
nyatane jarit-jarit sing tak lempit ning lembari, jarit-jarit sing tak
klumbrukake ning waskom, nganti jarit sing tak pe ing memeyan kabeh ora ana
apa-apane. Huh….”.
Ndilalah
kersa Allah, nalika semana Karto Buwang liwat ing kana.
K : “Ana apa
yu kok omong dhewe kaya wong owah pikire?”
S : “Lha iya
kuwi To, jaman saiki sing jenenge dhukun kuwi anane dhukun kalipah, dhukun
sing gaweyane mung ngakali opah!” Sablah nuli nyritakake kabeh lelakone ora
ana sing kecicir. Sakwise ngerti sakabehe si Karto Buwang malah maido.
K : “O Allah
ya kok olehe landhep dhengkul pikire sampeyan!”
S : “Lho.
Kowe kok malah maido aku ta?”
K : “Lha
thik ora!”
S :
“Genahe?”
Tangane
Sablah dicandak digeret diajak lungguh ing lincak. Sakwise brayan lungguh
jejer ing lincak, Karto nggenahake.
K : “Jane
mono ngendikane mbah Sidik kuwi bener. Ya mung sampeyan sing kebangeten
bodhone!”
S : “Ora
ngono To, mbok jajal genahna cethane piye!”
K : “Sing
dikersakake mbah Sidik tambane kebuntel jarit kuwi dudu jarit sing mok lempit
ning lemari, dudu jarit sing mok klumbrukake ing waskom lan ya dudu jarit sing
dijereng ing memeyan. Nanging jarit kang lagi dienggo.
K : “Jarit
sing lagi dienggo kok isa-isane ing jerone ana tambane?”
K :
“Sampeyan ora percaya. Nek sampeyan ora percaya jajal ngadega ing ngarep
kene. Sakwise ngadeg, uculana kembenmu bukaken jaritmu!”
Ditantang
ngono Sablah sanalika ngadeg nyat. Nanging ora tumuli nguculi kembene apa
meneh mbukak jarite. Mbok radha jajabang mawinga-winga.
S : “Edan pa
To!” Kandane mampang-mampang karo tangane nudingi raine Karto kaya arep
dikruwek-kruweka. Nuli bacute;
S : “Aku
ngerti yen kowe kulina klayaban ing papan pelanyahan. Nanging yen kowe mentala
akon nguculi kemben apa meneh mbukak jarit, apa ora ateges kowe mung butuh
nontoni bekakasku?”
Dituding-tuding
raine, diundhamana entek amek kurang golek Karto trima meneng wae. Nanging
bareng krungu tembung “bekakas” sak nalika kuwi guyune ambrol kaya bendungan
jebol, “ha ha haaa”, sing ngadhepi dadi bingung.
S : “Kok
malah cekakakan kaya wong edan?”
K : “Witikna
sampeyan wis ngarani dhewe, wis bisa muni dhewe!”
S : “Ngarani
apa, muni piye?”
K : “Lha
kuwi mau; “bekakas”. Bekakas kuwi apa ta Yu?”
S : “Bekakas
ya onok onggrok kuwi!”
Guyune Karto
wutah meneh. Malah karo tangane nggebrag lincak, kandhane:
K : “Lha
kuwi Yu. Lha ya kuwi sing mbok goleki kit mau ora ketemu. Lha ya kuwi tambane
anakmu lanang si Bejo. Mung wae genah dudu “bekakas” sampeyan dhewe, nanging
bekakase kenya apa lanjar sing dadi panuju pranane anakmu lanang!”
Pratelane
Karto sinambi genti nuding-nuding, ning si randha babar pisan ora nesu. Malah
kang sekawit mampang-mampang kaya Baladewa ditantang perang, dadi lemes kaya
Baladewa ilang gapite. Sablah bali lungguh lincak. Tangane ngepuk-epuk
pundhake Karto.
S : “O-alah
To. Jebul genahe mono anakku Beja wis kepengin njaluk rabi”.
K : “Gene
sampeyan ya ngerti!” karo isih kudu ngguyu lakak-lakak.
Sablah sing
wis ngerti underane perkara, kaya kena pengaruh guyune Karto. Dheweke
melu-melu ngguyu ngakak. Dadi wong loro ngakak bareng: “Ha, ha, haaaaa!” (*)
Share this:
Tiba Kanteb
Pak Bayu
Widodo sing purnawirawan mayor, esuk iki ora tindak-tindak kaya sabene.
Penjenengane mung lenggahan njedhodhot neng kamar tamu. Ngrasakake si Gito
Taryono, putra ontang-anting sing jarene kuliyah wis telung taun kok isih
panggah semester siji. Mbandhel, ndhugal, ndableg…, marakake mumet.
Dina-dina
senengane mung kluyuran dolan irat-irit karo kancane gonta-ganti. Saiki wis ora
wani nyuwun dhuwit bapakne, ning bu Bayu sing ora bisa endha yen disuwuni
dhuwit putrane. Nyuwun pira-pira mesthi diparingi. Yen ora njur nesu lan
ngamuk.
Wektu iku
Gito metu saka kamar tangi turu, njur arep ngalih kamar tamu nyetel TV. Jegagik
rada kaget bapake lenggah neng kono. Rekane arep mbalik neng kamar mandhi, ning
karo pak Bayu ditimbali:
“Git,
reneya… Kono lungguh!” gelem ora gelem Gito banjur lungguh ing kursi ngarepe
bapake. Gito pancen wedi yen karo bapake.
“Git, ngapa
yah mene kowe lagi tangi, geneya kok ora mangkat kuliah?”
“Kuliahipun
mangke jam sedasa, pak, dhosenipun sami rapat.”
“Bapak kuwi
anane mung ngandel lho Git, senajan ngerti yen bapak kerep mbok apusi. Lha kuwi
nyatane kowe ora tau munggah. Piye yen mengko bapak wis wegah ngragadi?
Dina-dinamu mung ngluyur ora juntrung karo cah adoh-adoh. Karo pemudha kampung
kowe emoh srawung, kuwi jenenge rak kuwalik. Srawung baur neng masyarakat kuwi
penting Git. Kaya sopire bapak mas Utomo kuwi. Kuliyah wragad dhewe kanthi
direwangi dadi sopir pocokan kana-kene. Merga anggone temen lan sregep sinau,
saiki sekripsine wis rampung, ateges kari wisudha.
Pak Bayu
meneng ngenteni reaksine Gito, sing tetep meneng tumungkul ora mangsuli
apa-apa. Sidane pak Bayu nerusake ngendikane rada sereng:
“Piye saiki,
aku nanting tenan karo kowe, isih saguh kuliah, apa mung arep kluyuran dolan
dadi wong urakan?”
Lirih semu
wedi wangsulane Gito: “Inggih Pak, kula taksih sagah kiliyah”.
“Tenan lho…,
wis kana… mung kuwi kandhaku.”
Gito ngadeg
terus klithik-klithik neng kamar mandhi adus.
Let sedhela
wis keprungu gebyar… gebyur. Ature Gito karo bapake mau embuh tenan embuh ora.
Ning gandheng wis jam sepuluh kurang seprapat, Gito nyangklong tas, ngetokke
montor, njur lunga kaya nek arep kuliyah. Pak Bayu mono priyayi kinurmat ing
kampunge. Dhasar priyayi ana, neng kampung gedhe sosiale. Samubarang kanggo
kebutuhan lan kemajuwane kampung tansah kersa cawe-cawe. Mula ora mokal yen
panjenengane diangkat minangka sesepuh.
Wayah sore,
Gito maca koran neng taman ngarep teras. Ndadak keprungu wong uluk salam:
“Kula
nuwun!”
Gito noleh
arahing suwara, kaget lan gumun dene ana kenya ayu medhayoh. Nuli mangsuli karo
gupuh ngadeg.
“O…
mangga-mangga dhik”.
“Punapa bu
Bayu wonten mas?”
“O… ibu
ta?…, wonten dhik, sekedhap kula aturanipun.” Gito gage mlebu nggoleki ibune,
let sedhela wong loro wis metu nemoni dhayohe. Ngendikane bu Bayu:
“Wo, nak
Prastiwi, mangga lenggah nak!”
“Inggih bu,
matur nuwun. Punika namung sekedhap kok. Punika bu, kula dipun utus bu Darmo
nyaosi dhuku, kala wingi sonten rak ngundhuhi kebon iring ndalem punika.”
Kandha ngono bocah ayu mau karo ngaturke tas kresek isi dhuku kebak, tinampan
dening bu Bayu. Ora lali bu Bayu ngendika matur nuwun kaaturna bu Darmo. Bocah
mau matur sendika, banjur pamit mulih.
Gito mripate
mentheleng kaya bandeng anggone nyawang cah ayu mau ora uwis-uwis. Batine
gumun lan sengsem dene bocah kuwi kok leh mulis ayu tanpa cacad, gek sopan
santune genep pisan. Bu Bayu pirsa putrane sajak kepranan marang Tiwi njur
ngendika:
“Git
ngertia, kuwi cah sing kos daleme bu Darmo, jenenge Prastiwi. Dene asline
Semarang, ning neng kampung kene srawunge becik. Baur karo mudha-mudhine,
malah saiki didadekake ketua I, dene wakile Utomo ya sopire bapakmu, kuwi.”
“Wah bocahe
ayu nggih bu, gek sopan santune nggih genep.”
“Iya Git,
seje karo kanca-kancamu sing dha ting bejijak lan urakan kae. Kowe sejatine
rugi, wong karo pemudha/pemudhi sekampung kok ora tepung malah wong kana-kana
sing dha ra juntrung mbok srawungi raket.”
Gito ngakoni
lan mbenerke ngendikane ibune. Jroning ati janji yen wiwit saiki arep melu
ombyake pemudha kampung. Melu-melu mas Utomo sopire bapakne yen dhong
rapat-rapat, kerja bakti, lan kegiyatan kampung liyane. Sing cetha, wiwit
weruh Tiwi sepisanan atine wis kecanthol.
Gito mara
nyedhaki Tiwi nggawa bungkusan kadho gedhe sing pepak isine.
Atine Gito
wis mantep kepengin nyedhaki…macari…sing mengkone yen Tiwi gelem arep dirabi.
Kuwi mau karepe Gito, pemudha lajang sing sekolahe mung disambi dolan lan
kluyuran. Batine kuliyah ora rampung ora dadi apa, toh bandhane wong tuwane
akeh, malah kanggone kampung kono, pak Bayu kuwi kepara sugih dhewe. Gito
bakal nggunakake bandhane bapake kanggo mikat Tiwi, srana arep diwenehi apa ta
apa barang sing pengaji. Tiwi pancen bocah supel lan apikan, karo sapa wae
cepet akrab lan sumadulur, klebu marang Gito. Saiki bubar kuliyah, Gito
sregep sanja neng nggone kanca pemudha-pemudha kampung, luwih-luwih neng daleme
bu Darmo pondhokane Tiwi. Gito batine rada kecelik, jebul Tiwi iku ora
gampangan kaya bocah-bocah wadon liyane. Biyasane dha gampang nampa paweweh,
lan seneng yen ditraktir jajan utawa diajak dolan. Gito wis bola-bali nari Tiwi
arep ditukokake apa sing disenengi, ning Tiwi nulak alus, alasane wis duwe
utawa kurang perlu. Nganti Gito judheg, piye carane gawe senenge Tiwi sing rupa
hadiyah, sing maksude Gito kanggo nyedhaki Tiwi, syukur bisa ngetokake
gembolaning ati, blaka yen dheweke seneng lan tresna marang Tiwi. Eman
pambudidayane tansah gagal, merga Tiwi durung tau ketemu Gito kuwi ijen,
ndilalah mesthi ana kancane. Saking ora kuwate ngampah, Gito nggoleki Utomo,
sopire bapake neng kamare, lagi leyeh-leyeh. Gito njur njejeri Utomo karo
takon:
“Mas Ut,
mbok aku diwarahi carane nelukke atine cah wadon sing angel. Pisan ji iki aku
seneng tenan je mas, ora bakal tak enggo dolanan.”
Wangsulane
Utomo kalem: “Walah dhik Git, sliramu kuwi kurang apa? Rupa nggantheng, ya
kuliyahan, dhuwit neng ngesak muwel. Isih kurang apa? Mangka slirane kuwi ya
baut ngrayu cah wadon. Kuwi tak ngerteni sing uwis-uwis lho. Sliramu kleru dhik
nek takon aku, soale aku durung tau pacaran. Aku mung arep adhang-adhang suk
nek ana prawan welas nresnani aku dhik.”
Krungu
wangsulane Utomo, Gito gage njenggelek tangi karo kandha:
“Mas Ut,
wegah aku krungu kojahmu kuwi. Aku ki takon tenan je.”
“Ora dhik
Git, sejatine cah wadon ngendi ta sing mbok gandrungi kuwi?”
“Ah rahasia
mas, suk wae nek dheweke wis tak kuwasani tenan, kowe lagi tak kandhani.”
Gito terus
metu ninggal kamare Utomo kanthi ati mangkel. Gito saiki aktif neng organisasi
kampung, soale tansah didhampingi Prastiwi. Notoling ati anggone kepengin nglairake
tresnane mbangeti, ning…tansah ana-ana wae jalarane sing marahi cabar. Pancen
angel tenan Gito nggolek wektu kanggo ijen wong loro, wong Prastiwi neng
ngendi-ngendi mesti ana kancane. Jam-jam bubar kuliyah, Tiwi pancen wis padhet
banget kanggo kegiyatan kampus lan kampung. Gito wis marani saben dina, bisa
nyawang cedhak-cedhakan karo prawan ayu kuwi wae atine wis seneng. Awit
Prastiwi pancen wis mlebu tenan ing atine.
Saiki Gito
uga nyah-nyoh aweh bantuwan kanggo mudha-mudhi kampung, apa maneh yen sing
nampa Prastiwi, wong dheweke ketuane. Kena pengaruhe Prastiwi, Gito dadi
mempeng sinaune, ndadekke bungahe bapak lan ibune. Penjenengane uga remen yen
mengkone Gito kasil nguwasani Prastiwi lan gelem diajak urip bebrayan.
Dina Jum’at
kulawargane pak Bayu Widodo entuk uleman saka pak Darmo, sing surasane kabeh
warga kampung, mbesuk malem Minggu kasuwun rawuh ing daleme pak Darmo. ya sing
dipondhoki Prastiwi, saperlu ngestreni ulang taune Prastiwi sing kaping
sangalas. Malah jarene kulawargane Prastiwi saka Semarang uga arep padha
rawuh. Dene pak Bayu sekaliyan, kadhapuk nampa tamu lan paring pangandikan
kanggo sing ulang taun. Pak Bayu uga sagah. Malah mundhutke hem lan clana anyar
kanggo Utomo jare ben ora lusuh.
Utomo pancen
bocah sing lugu lan prasaja, nglungguhake dhirine sing mung sopir, senajan
dheweke mahasiswa sing wis lulus lan nyandhang gelar Drs. Wektu maca undhangan,
Gito bungahe ngayang batin. Ya wektu iki kalodhangan kanggo aweh kadho istimewa
kanggo Tiwi lan kesempatan kanggo ngrogoh atine prawan ayu kuwi.
Gage sms
marang Tiwi takon arep njaluk kadho apa? Jawabane, dikadho apa wae arep, lan
matur nuwun sadurunge.
Oh….atine
Gito lunjak-lunjak kesenengen. Gage nyuwun dhuwit ibune njur lunga menyang
toko. Baline ngrenggiyeg, entuk bakal klambi putri patang potong, tas, sleyer.
Gunggung dhuwit telung atus ewu dientekake. Kejaba kuwi tuku filem rong rol,
mengko kanggo gawe kenang-kenangan karo Tiwi.
Lagi jam
lima Gito wis dandan mlithit, clana lan heme anyar gres saka toko durung
dikumbah wis dianggo. Njur nyedhaki bapake karo matur:
“Pak, mobile
kula bekta, kula dugi nggene dhik Tiwi mruput, mbok menawi Tiwi mbetahke
kengkenan kula.”
“Wis budhala
Git. Bapak mengko gampang, boncengan motor karo Utomo rak bisa.”
Senajan isih
sore ning wis rame. Kabeh wis tinata asri. Kira-kira jam setengah pitu
tamu-tamu wis wiwit padha rawuh. Tiwi neng ngarep lawang nyalami karo nampa
kadho banjur diulungake sing nduwe tugas.
Gito mara
nyedhaki Tiwi nggawa bungkusan kadho gedhe sing pepak isine. Sawise ngulungake
lan nyalami kenceng, rekane arep ngesun, ning Tiwi gage nyalami tamu liyane
sing lagi wae rawuh. Gito gela, ning ya wis ora dilebokke ati. Anggone
njepreti Tiwi ora leren-leren. Bareng ngerti ana tamu sing bisa motret, kamera
gedhe kuwi banjur diulungake, ganti awake dhewe sing tansah mepeti Tiwi njaluk
difoto. Wis kanthi gaya sing apa wae, pokoke dipolke janji mepeti Tiwi sing
sejatine atine ora seneng karo pokale Gito. Upacara banjur wiwit,
sambutan-sambutan saka pranata adicara, pengurus-pengurus pemudha, wong tuwa
lan kulawargane Tiwi. Wusanane pak Bayu sing isine paring pitutur marang
mudha-mudha, uga ucapan selamat marang sing ulang taun. Sawise rampung
salam-salaman, banjur kaaturan dhahar bebarengan prasmanan neng kamar rengah.
Gito tansah
aksi, bejijagan motreti rana-rene sarwa nggaya. Rampung dhahar lan ngunjuk es
crim, keprungu swarane lantang bapake Tiwi lewat mikrovon ngene:
“Bapak ibu
lan para tamu undhangan sadaya, ing dalu punika mbabar misani kula badhe
ngresmekaken pepacanganipun anak kula pun Suparstiwi kaliyan nakmas Drs.
Utomo, inggih sopir pribadinipun bapak Bayu Widodo ing kampung mriki. Dhateng
nakmas Utomo, kula suwun jumeneng lan tindhak mriki, upacara pepancangan
tumunten badhe katindakaken.”
Krungu
tembung mau, Gito kaya krungu bledheg ing mangsa ketiga. Sakala otot bebayune
kaya dilolosi, awak gemeter, sirah cleng-clengan buyer, mripat klemun-klemun
kaya arep tiba, kringet anyep mbrubul. Gandheng dheweke mau bejijagan, mula ora
ngetarani nalika Gito metu mulih tanpa pamit ninggal pasamuwan. Neng dalan
lakune sempoyongan kaya wong mabuk. Tekan ngomah mbukak lawang. Tanpa copot
sepatu langsung awak dibrukake dipan sakrosane karo sambat ngaru wara:
“O awak…
awak… apes temen aku…. jebul aku kewirangan. Aku prasasat kejungkel tiba
kanteb… aku… aku… di KO karo sopir bebaune bapakku”.
Nalika
upacara tunangan dileksanani, wis ora ana gebyar-gebyar kamera sing nggawe
kenang-kenangan merga Gito wis bablas mulih. Ning bocah loro Tiwi lan Utomo
tansah ngumbar esem sajak kalegan atine. (cuthel)
Tresna Iku
Wuta
Dina Ahad
esuk jam 06.00 aku wis ngenteni Ani ana sangarepe Warung Nasi Praja. Warung iku
dhewe isih tutupan. Aku kangsen karo Ani ketemu jam 06.15. Mripatku manther
nyawang mangalor. Nyawang gapurane Kampusku sing sedhela maneh arep daktinggal.
Tepungku
karo Ani, sing jeneng wutuhe Ani Siswati Laksitorukmi patang taun kepungkur.
Melu bareng tes mlebu kampusku ing Bale Diklat Srondol. Wektu semono jam 3
sore. Aku diprentah panitya nindakake tes urine. Mesthi bae aku kudu pipis ana
toilet. Ning wektu semono aku durung kebelet pipis.
“Heeh omahmu
ngendi mas?” Aku kaget amarga gegerku digablog wong saka mburi nalika aku lagi
mangu-mangu arep mlebu toilet apa ora. Bareng dakinguk jebul bocah wadon sing
padha-padha lagi melu tes. Praupane pancen ayu, kewes, mranani. Wektu iku
nganggo klambi ndhuwuran putih, roke biru. Weruh bocah ayu, penyakitku sing
seneng nggodha lan seneng iseng kumat.
“Haah…kaget
inyong. Lah ko si bocah ngendi, deneng si ayu nemen?” Aku balik takon, nganggo
dhialek Banyumasan.
“Alah… apa
inyong ayu, syukur kari ana sing ngarani ayu. Inyong ngerti ko mesthi cah
Praketa, wong ngomonge meh padha karo nyong wong Tegal,” jebul logate cewek iki
meh padha karo logatku sing jarene wong wetanan ngapak-ngapak.
Karo
ngenteni kebelet pipis aku crita ngalor ngidul karo cewek tepunganku anyar
mau. Bapak ibune dadi guru SD ana salah sijine SD ing Kodya Tegal. Dadi wiwit
SD, SMP lan SMA Ani sekolah ing Tegal. Mlebu menyang kampusku jare merga
diutus bapak ibune. Sejatine cita-citane Ani kepengin mlebu Kowal, nanging ora
diparengake dening bapak-ibune. Dheweke diutus mlebu Kampusku sing sawise
lulus bisa dadi camat.
“Jenengmu
sapa heeeh?” Ani takon judhes banget marang aku.
“Budi!”
Wangsulanku cekak aos.
“Budi sapa?
Budi Jatmiko, Budi Karyono, Budi…..?”
“Budi ….
sapa si …. Budi njaluk bojo!!” Aku ndhagel, plesetan.
“Ha, ha,
ha…. jeneng kok Budi njaluk bojo…. inyong ya gelem dadi bojomu, sing lanang
calon camat sing wadon calon camat klop…. ha… ha… ha!!!”
Swarane Ani
banter mlinder nang kuping, nanging kok ya enak dirungokne.
Tembung-tembung
mau dakanggep mung tembung iseng. Tembung sembranan. Karo ngenteni krasa
nguyuh. Aku lan Ani lulus saka tes penerimaan Calon Mahasiswa Kampusku, sawise
ngliwati tes sing sapirang-pirang, klebu akademis, tes fisik lan tes mental
utawa psikotest.
Aku sakanca
sing lulus saka propinsiku ana 113, banjur digawa menyang kampus Jatinangor
sarana numpak bis. Tekan Jatinangor aku wis ora nate ketemu Ani maneh.
Apamaneh ing masa karantina nem sasi ora oleh ketemu karo kanca sadhaerah,
utamane siswa lanang lan wadon. Ora oleh disusul, utawa ditiliki dening
wongtuwane. Surat-suratan bae ora oleh. Aku dhewe ing semester pertama manggon
ana ing barak Sulawesi Selatan. Ani mbuh manggon ana ing barak endi, wong barak
Praja Putra karo Praja Putri dipisah. Jeneng-jeneng barak utawa asrama nganggo
jeneng propinsi. Wiwit saka barak Nanggro Aceh Darussalam tumeka barak Irian
Jaya.
Aku ora arep
crita sing susah-susah ana ing kampusku. Aku arep crita sing apik-apik bae. Ana
ing kampusku nyandhang, mangan, turu gratis, saben sasi oleh dhuwit gajih,
golongan II/a. Tamat langsung munggah pangkat
golo- ngan III/a, malah statuse wis PNS,
tambah setifikat ADUM.
Sing paling
nabet ana ing atiku yaiku yen mangsane mangan. Mangan esuk, mangan awan, lan
bengi nikmate pol. Manggon ing Menza. Bebarengan. Bendina menune mesthi ana
daging lan iwake.
Sajrone nem
sasi yen kebener ing Menza, kajaba kelingan bapak, ibu, lan adhik-adhik, aku
uga sok kelingan Ani. Aku asring ngalamun, upama Ani ana ing jejerku mesthi
lawuhe iwak dakrebut. Mesthine wong Tegal ora doyan iwak, wong omahe jare
cedhak segara.
Sajrone nem
sasi aku kerep ngimpi ketemu Ani. Ana alam pangimpen Ani wis dadi bojoku. Aku
asring digablogi Ani. Njaluk klambi nggablog, luwe nggablog. Aku ya ngesun
pipine Ani sing menul-menul. Ning kabeh iku mung ngimpi.
Nalika masa
Karantina wis purna kabeh praja dibebasake ketemu karo kanca sadhaerahe. Praja
saka Jateng padha kumpul ana ing barak Jateng. Sing dakgoleki dhisik dhewe
Ani. Ing ruwang pertemuan barak Jateng Ani ora katon. Aku isin takon. Mula
dakgoleki saben kamar. Muter-muter saben kamar daklinguk. Ora ketemu. Nganti
wayah mangan awan tetep ora ketemu. Nganti aku kaya wong stres, banjur kebelet
pipis. Kuwatir pipis nang clana aku banjur mlayu menyang toilet sing ana ing
cedhak menza.
“Heeh
digoleki rana-rene jebul ana ing toilet!!”
” Jenengmu
sapa heeh?” Ani takon judhes banget marang aku.
Aku digablog
wong saka mburi. Swarane ora pangling mesthi Ani. Nalika aku weruh Ani sing
nganggo sragam Muda Praja, pingkiranku sing waras ilang. Ani langsung
dakrangsang, dakrangkul, dakkekep, dakarasi pipine sing menul-menul. Ani ora
suwala. Marem. Tujune ora ana wong liya sing weruh. Aneh kebelet pipise ilang
blas.
Pungkasane
menza sering kanggo sarana kangen-kangenan aku karo Ani, mesthi bae yen ana
kalodhangan. Dina Minggu aku lan Ani bisa pesiar bareng. Iku bae
nyolong-nyolong, sebab yen nganti konangan ana praja putra karo putri pesiar
bareng, mesthi bakal diukum.
“Bud… apa
bisa awake dhewe suk urip bebarengan mangun bale wisma?” Takone Ani marang aku
nalika bisa pesiar bareng menyang Cadas Pangeran, desa antarane
Sumedang-Jatinangor sing kawentar sering ana kacilakaan lalulintas amarga
papane sakitere dalan aspal rumpil, pereng lan jurang jero.
“Ya An mung
kari donga, lan usahane awake dhewe kanggo urip bebarengan!!”, wangsulanku
manteb karo nyawang manther mripate Ani sing dina Minggu iku katon sumringah.
Ana ing
menza iku aku karo Ani, senajan wektune winates, wis bisa nyuntak sakabehing
panguneg-uneg, bisa ngrakit ukara-ukara kang saya ngraketake katresnanku
marang Ani lan suwalike. Iku kabeh kanggo bisa nggayuh urip bebarengan. Bab
wong tuwaku sing mung tukang becak Ani wis ora ngreken, ora ndadekake masalah.
Wong jarene arep ora nikah karo tukang becake, nanging karo putrane lulusan
IPDN golongan III/a sing bisa dadi camat.
Ani malah
duwe gegayuhan sing luhur. Jare suk yen wis dadi birokrat, dadi pejabat, arep
tansah disyukuri, kanthi nindakake wewenang lan kewenangane kanthi bener lan
pener. Amanat saka Gusti kanthi wujud beslit saka pamarentah arep dileksanakake
kanthi kebak tanggung jawab marang Gusti Allah, marang negara, atasan lan
mligine marang masyarakat. Amarga hakekate kabeh mujudake kepercayaan saka
rakyat lan diblanja nganggo dhuwite rakyat.
“Heeh, Pak
Camat ngalamun!!!”
Aku digablog
Ani nalika aku lagi madhep ngalor nyawang gapura kampusku. Jebul Ani mentas
metu saka barak Maluku, ora liwat gapura ngarep. Dheweke liwat gapura kulon
saperlu pamit Pak Idrus, tukang kebon sing sabar.
“Bud….eh Mas
Bud sida liwat jalur utara??”
Aku manthuk.
Bebarengan karo kuwi saka arah kulon ana bis plat G jurusan Bandung-Purwokerto.
Rangselku sing kebak klambi-klambi sragam Kampusku gage dakcangklek. Rangsele
Ani senajan abot dakcangking. Ani dadi Nyonya Besar. Rangsel-rangsel iku
uga isi surat tugas lan beslitku lan beslite Ani minangka PNS golongan III/a.
Gusti Allah wis ngijabahi gegayuhanku karo gegayuhane Ani. Aku lan Ani ditugasake
ing Kodya Tegal.
“Bud… eh Mas
Budi isih kelingan Menza??” Takone Ani nalika wis lungguh jejer karo aku ana
ing bis.
Aku manthuk.
Aku ngerti karepe Ani. Ngambali prastawa-prastawa romantis ana ing menza. Ani
daksawang, dakkekep banjur dakarasi. Wong sakbis kejaba supir nylinguk kabeh.
Aku lan Ani wis ora ngreken, cinta itu buta, tresna iku wuta, malah Ani
njur makles turu ana pangkonku.
(Cuthel)
TUS SAMA
MELLMILIH DALAN ANYAR
Arepa durung
pati awan, nanging panase srengenge krasa semlenget. Jati katon mangu-mangu
metu saka Lembaga Pemasyarakatan kang mapan ing pinggrire kutha. Dina iku
dheweke dibebasake saka status narapidana sakwise nem taun ngrasaake
urip ing sakjroning pakunjaran. Pancen sengaja ora ngabarke marang Narti,
bojone, menawa dina iki dheweke bebas, merga ora kepengin gawe repote bojone
kang momong anake sing isih cilik.
Angkahe
sakwise nampa layang bebas iku dheweke arep terus njujug menyang desa
kelairane. Menehi kejutan marang bojo kang banget ditresnani. Dheweke
nggambarake Narti kaget. Terus nggapyuk lan padha kangen-kangenan. Jati uga
terus ngruket lan ngambungi Bregas, anake lanang kang umure lagi ngancik
nem taun kanthi kebak rasa kangen. Iki rencane yen wis bebas.
“Menawa
bebas, aku arep tumapak ing dalan anyar. Dalan kang bener, dudu dalan kang
culika,” mangkono janjine Jati nalika Narti, bojone iku niliki dheweke ing
pakunjaran.
Lan Narti
bisane mung bisa sesenggrukan ana ing dhadhane sing lanang. Kanggone Narti,
janjine bojone kang ora arep mbaleni laku kadurjanan wis gawe senenge ati.
Narti malah luwih seneng yen Jati gelem dijak bali menyang desa. Ngopeni sawah
lan tegalan kang arepa ora pati amba nanging isih bisa kanggo cagak urip.
Menawa sing lanang mengkone dadi among tani, dheweke arep ewang-ewang kanggo
nambah kabutuhan wong bebrayan kanthi bukak warung pracangan utawa pagaweyan
liya kang khalal.
“Aku tansah
ndonga Kang Jati bisa cepet bebas. Kita bareng-bareng napak ing dalan anyar.”
Swara bel
tandha jam bezuk kanggo warga binaan lembaga pemasyarakatan wis entek
kemloneng. Jati nguntabake mulihe Narti karo mesem.
“Entenana
Nar, ora suwe maneh aku bebas,” batine Jati ngondhok-ondhok.
***
Nalika arep
metu saka gapurane lembaga pemasyarakatan, Jati disalami kenceng
dening Pak Imam, sipir kang saksuwene iki tansah menehi wulang wuruk marang
dheweke.
“Selamat
ya Mas. Aja kangen mbali mrene maneh.”
Jati mesem
krungu tembunge Pak Imam. Pancen ora sethithik narapidana kang mlebu metu
lembaga pemasyarakatan. Lagi bebas sedhela wis bali maneh mlebu pakunjaran
merga tumindak kriminal kelingan Goplek, copet pasar kang seminggu kepungkur
bebas saka lembaga pemasyarakat. Ning wingi wis mlebu buwen maneh merga
dheweke lan komplotane kecekel pulisi nalika pinuju nyopet ing bus kota. Utawa
Gendro kang kaya nganggep lembaga pemasyarakatan iku minangka hotel, merga
saking kerepe dheweke mlebu metu saka pakunjaran iku.
“Nggih Pak,
Insya Allah. Nyuwun pangestu,” ujare Jati.
Metu
saka regol, Jati milang-miling nggoleki bis kota kang tumuju Terminal
Giwangan. Rencanane saka terminal dheweke arep terus oper bus saperlu
mulih menyang desane. Nanging lagi wae arep ngawe bus kota, ana pemudha loro
kang nyedhaki dheweke.
“Mas Jati….
Mas Jati,” aloke salah sijining bocah enom iku karo menehi isyarat supaya Jati
nyedhaki papane bocah loro iku nunggu. Jati ora pangling menawa cah loro iku
Marjo karo Kusnan, anak buwahe ing komplotan rampog mbiyen.
“Piye kabare
pada apik-apik ta?” pitakone Jati karo ngulungke tangan kanggo nyalami bocah
loro. Marjo lan Kusnan mesem karo nampani tangane tilas pimpinane iku.
“Kabeh
anggotane awake dhewe padha apik. Slamet. Kita uga krungu menawa Mas Jati dina
iki bebas, mula dening kanca-kanca aku ditugaske kon mapag
sampeyan. Kita uga wis nyiapake pesta kanggo mahargya sampeyan, malah
Narto wis pesen vila khusus kanggo seneng-seneng,” critane Marjo karo ngajak
Jati tumuju menyang sedhan putih kang wis nunggu.
Jati mesem
krungu kojahe Marjo. Atine trenyuh pranyata kanca-kancane isih ngajeni dheweke.
Apa kanca-kancane mau isih padha keceh ing donyaning kadurjanan apa ora, sing
baku yen mengko ketemu anggotane Jati arep crita menawa dheweke nedya mertobat.
Sedhan
putih mlayu banter ninggalake lembaga pemasyarakatan mlayu mengalor
tumuju wilayah pegunungan kang kondhang minangka papan kanggo ngenggar-enggar
ati. Marjo karo Kusnan ora crita akeh ngenani kegiyatane saiki.
“Mengko
Narto kang crita sakabehe. Sing baku aku sakanca wis ora nindakake gaweyan
lawas ngrampog utawa jambret. Risikone abot,” pratelane Kusnan. Jati nyicil
seneng dene kanca-kancane wis nemokake panguripan anyar. Mung wae kegiyatan apa
sing saiki dilakoni Narto sakanca Jati durung ngerti. Kok kaya-kaya
dirahasiakake banget. Ora suwe sedhan putih wis tekan vila ing
ereng-erenge pegunungan kang endah. Vilane ora pati gedhe nanging cekli. Ing
ngarep vila katon Narto, Plengeh, Jamhuri lan uga kenya ayu nenem padha
mapag tekani Jati, tilas benggole komplotan rampog, kanthi kebak kabungahan.
“Mangga-mangga
Mas Jati. Sugeng rawuh,” Narto ngacarani lan terus ngrangkul Jati dijak mlebu
vila. Jati dipapanake ana ing sofa kang mendut-mendut. Narto banjur aba marang
para kenya ayu iku kinen ngladekake maneka omben-omben lan suguhan. Wiwit
inuman ringan nganthi tekan kang gawe mabuk. Narto uga menehi isyarat marang
kanca-kancane supaya njupuk koper. Koper iku banjur dibukak ing
ngarepe Jati. Isine arupa bendhelan-bendhelan dhuwit atusan ewu.
“Iki Mas
bagiyanmu biyen. Pancen wis kita siyapke sawayah-wayah Mas Jati bebas dhuwit
iki tak serahke.”
Narto crita
menawa sabageyan dhuwit diubengake kanggo bisnis. Bisnise yaiku ngedharake
narkotika lan obat-obatan kang mlebu larangane negara. Bisnis mangkene
iki, miturut Narto, pranyata untunge cepet banget. Malah saiki saperangan
dhuwite wis dienggo mbukak bisnis prostitusi lan perjudian.
“Yen Mas
Jati kersa, mengko sampeyan sing mimpin dene aku cukup dadi wakil wae. Kejaba
dhuwit sak koper kang minangka bagiyane ngrampog, kita uga arep menehi dhuwit
jasa marang Mas Jati merga ing pengadilan mbiyen sampeyan wani ndhadhagi dhewe
lan ora ngembet-embet jenenge kanca-kanca.”
Akeh-akeh
critane Narto kang gegayutan karo kepriye ngemonah organisasi kadurjanan
iku. Narto uga crita yen sindhikat iku angel konangan merga olehe primpen.
Malah Narto uga ngaku menawa wis nduweni jaringan karo aparat barang. Pokoke
aman.
Nanging Jati
mung gedheg. Dheweke uga empoh nampa dhuwit bagiyan merga wis niyat mertobat.
Dheweke malah ngajak Narto sakanca bareng-bareng mertobat.
“Kita wis
suwe ngrugekake masyarakat. Aja ditambah anggone ngrugekake lan ngrusak
masyarakat. Nanging yen kowe kabeh ora gelem takjak mertobat ya mangga. Sing
baku aku wis niyat. Aku arep mulih menyang desa. Urip among tani malah luwih
tentrem kanggoku.”.
Narto mung
mesem sinis. Tembunge sereng: “Gelem ra gelem Mas Jati kudu nggabung karo aku!
Merga aku mau wis omong akeh-akeh ngenani bisnis narkoba lan prostitusi marang
sampeyan, aku sumelang wewadi iki bakal bocor. Gelem ora gelem Mas Jati kudu
melu aku. Menawa Mas Jati ora gelem nggabung, mimis pestol iki arep
njeblugke sirahmu!” kanthi cepet Narto ngrogoh pistul terus
diacungake pener sirahe Jati.
Nanging
tekade Jati wis gilig, ora mingkur sirahe ditodhong pistul. Narto narik
platuke pistul. Nanging bareng karo jumedhore pistul, kenya ayu sing mau
ngladekake inuman kanthi trengginas nendhang tangane Narto. Lan saka njaba
keprungu suwarane megaphone menawa papan kono wis dikupeng pulisi. Arepa Marjo,
Kusnan lan Jamhuri nyoba nglawan, nanging muspra jalaran papan kono wis
kebak pulisi kang wis siyaga ing pandhelikane sakupenge vila. Akhire
aparat kapulisen kang dipandhegani Inspektur Satu Firman kasil mikut
grombolane Narto kang saksuwene iki diburu minangka sindhikat narkoba,
prostitusi lan judi kelas elite.
“Kita wis
suwe ngawasi sindhikate Narto. Lan akhire bisa mikut merga aku nduwe petungan
komplotane Narto iku temtu mapag nalika Mas Jati bebas saka pakunjaran.
Pranyata bener. Iku dalan kanggo mikut lan miyak komplotan durjana iku,”
critane Iptu Firman karo ngandhakake menawa kenya sing ngladekake inuman lan
suguhan ing vila iku uga sawijining pulisi wanita kang lagi nylamur. Pulisi
wanita mau pancen sengaja disusupke menyang susuhe para durjana iku.
“Ya dongakna
Mas aku bisa ngambah dalan kang bener ora gampang miyur karo pengaruh
liyan kang ala,” pratelane Jati karo njaluk pamit. Ing bis kang nggawa menyang
desane, Jati singsot-singsot lagu kang nggambarke rasa kangen. Rasa
kangen marang anak lan bojone. Uga kangen marang desane.(Cuthel)
Share this:
Wong Lanang
Piye…?
Rasa
kuwatirku mung siji samangsa ana tamu. Aja-aja tamuku mau banjur kepengin
menyang mburi aliyas bebuwang! Embuh pipis apa ek-ek. Wis bola-bali anggonku
njaluk Mas Hadi supaya jedhing lan WC mburi kae enggal diwenehi payon. Wong
sisa kayu lan pring tilas gawe omah kae ya isih. Mes-thine kena kanggo empyak
setangkep. Mas Hadi panggah semaya sesuk-sesuk.
Aku nganti
isin yen dilokne kancaku jare gawe omah magrong-magrong ae isa, yagene gawe
jedhing WC wae ora genep. Kurang empyak, mung tembok ngothak. Yen udan ya
kudanan, semono uga yen panas ya kepanasen. Ana maneh kancaku sing alok, jare
apa ora eman kulitku sing mrusuh iki yen nganti nalika adus terus kudanan.
Utawa yen wayah awan mlebu jedhing terus kepanasen. Ora ngecap pancen kulit lan
rupaku, jare kanca lan tanggaku, klebu lumayan. Ora usah dipadhakake artis
sinetron, nanging yen diajak nekani resepsi utawa kelompok padhuan suwara wae
pantes disawang. Embuh, kok Mas Giarno guru, kae malah tau muni nek jare gelem
aweh biji kanggo awak lan rupaku kuwi pitu setengah! Kanggoku biji semono kuwi
mesthine ya kurang, awit Mas Hadi yen ngelem aku kecerit arit. Paling ora ya
sanga! Mbak Narsih neng arisan PKK ya ngelem aku, jare kaya artis India! GR
tenan aku!
Jedhing WC
kuwi anggone gawe pancen sarwa kesusu. Mung tambel butuh. Saupama kala semana
Mas Hadi ora kapatah minangka wakile kabupaten melu lomba guru teladan tingkat
propinsi ngono durung karuwan nek nganti saiki wis duwe WC. Mula ya saanane
dhisik. Kuwi biyen. Bareng wis limang taun mosok panggah sauntara wae! Kapan
batese tembung sauntara kuwi?
“Sabar sik
ta, Bu,” tembung kuwi sing ajeg diwenehake Mas Hadi nyang aku yen taktagih bab
jedhing lan WC kuwi.
“Huh, kok
mung sobar-sabar wae. Sabar ki ya ana watese, Mas,” semantaku sengol. Wis
jeleh. Mosok wong mung dikon sabar wae.
“Wong sabar
iku kekasihe Allah. Wis ta, nek wis ana rejeki rak iya rampung ta, Bu.”
“Gombal,
gombal!” suwaraku rada banter karo nglungani Mas Hadi sing isih lungguh neng
kursi ngarep.
Sejatine aku
rumangsa getun karo lageyanku sing sok sengal-sengol kuwi. Nanging sapa wonge
ra isin yen ngelingi kahanan sing kaya ngono kuwi. Saben-saben menyang jedhing
yen wayah udan ndadak payungan. Apa iya umum wong arep adus kok tangane nyekel
garan payung! Arep ndhodhok neng WC iya nyekethem nyekel garan payung. Kamangka
keperluan siji kuwi jian blas ora kena disadoni. Ora kena diempet-empet! Ora
ngenal wayah udan apa panas.
“Karuwan
neng kali wae, Jeng Tari, tinimbang neng njedhing ra ana payone ngono kuwi.”
sarane Mbak Susi nalika meruhi jedhingku kuwi.
“Lha iya ta
Mbak, pancen bapake cah-cah kuwi ta sing ora duwe isin.”
“Wong lanang
pancen menange dhewe. Kanggone wong lanang adus byar-byur ngono wae. Ora ndadak
iki piya, iki piye. Klambi iki disampirne ngendi, wong lanang ra reken. Beda
karo awake dhewe. Risih, ndeleng ngono kuwi!” Mbak Susi menehi gambaran sing
sanyatane.
Nyatane
pancen ya ngono. Mas Hadi kepenak wae saka njero ngomah mara nyang njedhing
mung kathokan cendhak. Yen udan kudhungan andhuk. Yen wayah panas andhuke
disampirke gulu. Bareng aku? Apa iya kudu ote-ote kalungan andhuk kaya dheweke?
Bebetan kaya adus neng belik utawa neng kali kae? Huh, sori ae jo!
Saupama Mas
Hadi kuwi ora kemlinthi lan sok gengsi, jedhing lan WC kuwi wis rampung. Lha,
witikna piye, nalika wiwit gawe pondhasi kae Ibuku wis nawani glugu kanggo
blandar lan usuk, mung kari tuku kayu reng wae Mas Hadi ora gelem.
“Nek gelem
kayu sengon laut, ya kae sing ndlujur ngidul kae kethoken! Digrajekne somile
Kang Jaelani. Dirajang rak wis kena kanggo reng ta, Had!” pangakone Ibu
dhek abene.
“Nggih.
Sanes wekdal mawon, Bu.”
“Sanes
wekdal kuwi kapan? Mumpung wayah terang ngene iki enggal ditandangi. Suk nek
wis wayah udan, malah repot.”
“Nggih, nek
kula empun prei, Bu. Saniki taksih repot.”
“Tandang
gawe kuwi rak ora ndadak ngenteni senggangmu ta, Nak Adi. Sing nandangi rak iya
tukangmu. Kang Maryono karo Kang Glowoh,” Bapak melu-melu krenah.
“Nggih,
leres niku, Pak. Nanging, tukang niku rak kedah manut sing mrentah. Lek kula
mboten enten, terus sing ngatur sinten? Napa tukang-tukang niku saget nyocogi
karep kula.”
“Anggere
sadurunge wis kokkandhani rak akeh benere,” Bapak wegah kalah.
“Halah,
nggih dereng kantenan!”
Taksawang
bapak lan ibu mung sawang sinawang. Kurang rena penggalihe.
Jejere wong
tuwa, yen udreg-udregan malah kurang prayoga. Bapak lan ibu terus pilih meneng.
Kok rebut balung tanpa isi. Arepe kaya ngapa, Bapak lan Ibu kuwi bakale
kelangan kayu, kok ngeyel ae. Mas Hadi dhewe mbegadul karepe. Cekak nalare. Wis
ditawani kayu kok kurang trima. Anggepe bisa tuku dhewe. Emoh diwenehi wong
liya! Dienteni tukune nyatane ora kuwat tuku!
“Mbok gawe
mareme ati bapak-ibu ta, Mas. Diiyani ae, gek ndang dipasang kareben jedhinge
brukut. Mesakne bocah-bocah nek kudanan,” panjurungku sawise meh rong
sasi saka eguh pratikele wongtuwaku kae.
“Marem
apane? Dhik, aku jik rosa. Jik isa golek dhewe!”
“Nyatane?”
“Modhel
omahe dhewe iki ora pantes nek jedhinge dipayoni glugu!.”
“Ora pantes
apane? Nyatane endi usaha sampeyan sing pantes?”
“Iya,
takakoni pancen durung kabeh kabutuhan ngomah takcukupi. Nanging, saora-orane
rak wis usaha.”
Krasa yen
dipandeng dadi tontonan gratis aku bengok-bengok njaluk tulung. Wong-wong padha
marani panggonanku. Astaga! Aku durung klamben.
“Usaha sing
piye maneh? Wis pirang sasi jedhing lan WC kae ngangkrag? Ngenteni pirang sasi
engkas?” Aku wegah kalah. Aku kepengin nyuntak panguneg-unegku. Mbelani
pratikele wongtuwaku sing krenah apik. Nanging malah disepelekake Mas Hadi.
“Lek wis mangsa rendheng teka maneh terus kabeh njedhindhil? Apa ngenteni
sumbangane sedulur sampeyan? Ngenteni mundhake gaji guru? Kapan kuwi? Kapan?”
“Cukup,
Dhik!” Mas Hadi wiwit kesenggol ati lanange. “Ora usah nggepok senggol
kulawargaku sing adoh saka kene!”
“Lha,
ngenteni apa? Ngenteni cebloke dhuwit saka langit?” suwaraku tansaya njengek.
“Utang neng bank eneh? Iya? Bank endi sing gelem nyilihi dhuwit sitheng?
Dienggo jonggol apa maneh? Sertifikate sapa? BPKB-ne sapa maneh? Huh!” Aku
pegel tenan. Karo ngalih aku isih gembreneng, “Pira ragade jedhing sacupleg ae?
Lek raisa golek, aku tak sing nyambutgawe!”
Padudon
pancen ora bisa diselaki. Mumpung bocah-bocah padha les neng sekolahan. Mung
kari wong loro, aku lan dheweke. Pancen wis suwi anggonku kepengin njarag
nesune. Biyen, sadurunge nikahan aku wis nyambut gawe neng asuransi. Asilku
lumayan kanggo kebutuhanku lan mbiyantu sekolahe adhik-adhiku. Nganti duwe anak
siji, Siswati, aku isih nyambut gawe neng perusahaan swasta kuwi. Bisa
ngrewangi nyukupi kebutuhane kulawarga. Ora ketang kena kanggo tuku bumbon lan
lawuh saben dina. Embuh, setan saka ngendi sawise anggonku nglairake Lastri,
anak nomer loro, ujug-ujug dikon leren nyambut gawe. Jare ngeman ragaku.
Mesakake bocah-bocah sing isih cilik. Padha mbutuhake perhatian sing cukup.
Nalika
semana pancen bener alasane ngeman ragaku. Minangka pemasaran, aku kudu golek
lan ngubungi nasabah sing omahe adoh-adoh. Aku mung numpak sepedha motor.
Mangkat esuk jam setengah wolu, bali wis jam setengah lima. Malah sok-sok ya
nglembur barang nganti bar Maghrib lagi tekan ngomah. Apa maneh wektu kuwi
kahanane awakku durung sehat tenan. Bubar nglairake si Lastri kuwi. Janjine
biyen nek Lastri wis kelas telu SD aku diolehi nyambut gawe maneh. Aku ngalah,
prei. Ngopeni bocah loro lan theg-kliwere ngomah. Ora ndadak ngajak batur.
Srawungku mung karo tangga teparo. Arang kadhing melu arisan dasa wisma lan
kegiyatan PKK neng bale desa. Sesasi sepisan nekani arisan darma wanita neng
kantore Mas Hadi. Bisaku guyon lan marem iya yen kumpul kanca-kanca ngono kuwi.
Gorehing atiku rasane bisa kaslimur.
Saiki Lastri
wis kelas papat, niyatku nyambut gawe maneh panggah dipenging wae. Kadhang aku
nggraita, apa iya Mas Hadi duwe rasa kuwatir nek aku tumindak rena-rena. Rasa
sujanane tansaya ketok. Malah nek ana tamu kancane Mas Hadi, aku manggakake teh
wae wis dilirik. Kamangka aku ora melu njagongi. Mung salaman lan bage-binage
thok!
Nek dietung,
sejatine gajine Mas Hadi minangka guru SMP kuwi wis nyukupi saben dina, nanging
sawise gawe omah, dhuwite saloke utang saka bank, gajine dipotong kanggo
nyicil. Kari nyumprat-nyumprut! Ngrampungake jedhing lan WC wae panggah kaya
lagune Koes Plus “Kapan-kapan”!
Nalika
arisan darma wanita neng kantore Mas Hadi tanggal lima kae, aku krungu
slenthang-slenthing yen Mas Hadi jare arep penataran neng Bogor, Jawa Barat.
Tekan ngomah aku ora crita apa-apa nyang Mas Hadi. Wonge kok iya meneng wae.
Embuh, apa durung ngerti amarga durung nampa surat tugas apa pancen durung
kober ngomong aku. Sajake anggonku ngenteni tembunge Mas Hadi wis patang ndina.
Aku thok-ethok ra ngerti. Wis ben wae! Tanpa taren Mas Hadi, nalika wonge
nyambutgawe neng kantor, aku nilpun wong tuwaku dhewe sing ana Gandekan,
Wonodadi. Kebeneran Ibu piyambak sing nampani.
“Aja guyon
lho, Sis! Apa kowe wis taren Mas-mu? Mas-mu isa nesu tenan mengko,” wangsulane
Ibu nalika takjarwani karepku.
“Halah, Ibu
mboten usah kuwatos. Kula mangke sing nanggung resikone.”
“Aja ngawur!
Ora wani aku! Embuh nek bapakmu?”
“Bapak
wonten pundi? Empun ta, Bu. Jagung bakarane, tanggung perkarane.”
“Wuih,
anggepmu! Bapakmu kae ta, ana mburi. Dicelukne? Tutupen sik, lek ngono!”
Sidane aku
petung karo Bapak. Tanpa petungan karo Mas Hadi. Sasuwene meh sesasi iki aku
nyuwun glugu lan kayu sengon sing arep diparingke aku kae. Digrajekne pisan.
Adhikku landhes, si Susilo, takkon ngukur dawane bakal empyak kuwi. Ora nganti
mulihe Mas Hadi saka kantor, adhiku Susilo lan kancane wis mulih nyang Gandekan
maneh. Nggawa cathetan ukuran lan cacahe kayu sing dibutuhake.
Karepku, suk
yen Mas Hadi wis penataran neng Bandung oleh sedina-rong ndina ngono, kayu mau
dipasang kanggo empyake jedhing lan WC. Lha, yen penataran wis rampung, Mas
Hadi mulih, ben njondhil. Kaget weruh kahanan sing wis owah kuwi. Suprise!
Rancanganku iki sajake oleh dhukungan saka kulawargaku kabeh. Malah wis siyaga
gotong royong, kerja bakti supaya enggal rampung. Malah, Yu Sri,
mbakyuku sing dadi guru neng Nglegok kae arep nyumbang gendheng pres sacukupe!
Susilo bakal nyumbang paku. Aku mung nyepakake panganan lan omben. Ora kuwi
thok! Simbok meling supaya aku ora usah tuku beras lan kambil. Arep digawakake
saka Gandekan bareng karo nggawa kayu.
Mas Hadi
sida oleh surat tugas penataran neng Bandung tenan. Jebul angen-angenku mleset.
Ora sesasi kaya sing tau takrungu kae. Mung rong minggu. Aku nilpun ngomah
Gandekan. Kanggone bapak lan ibu, ora dadi masalah. Rong ndina sadurunge Mas
Hadi budhal, jarene Susilo, kira-kira kayune wis garing. Diterke yen Mas
Hadi wis budhal wae. Yen wis tekan ngomahku, bakale disaput solar dicampur lenga
tanah. Ben ora dipangan rayap jarene. Aku wis manut apa krenahe kulawargaku.
Sethithik akeh atiku nyicil ayem. Jedhing lan WC kuwi bakal ana payone. Kok
jare ora pantes dipayoni glugu kuwi sing endi. Yen wis mulih, umpama Mas Hadi
ora trima karo empyak kuwi, arep takenggo karo anak-anakku. Wonge ben gawe
jedhing lan WC maneh. Ben dienggo ijen!
Ngenteni
wektu patang ndina kok rasane kaya setaun. Embuh, aku mung ngarep-arep supaya
tanggal 9 enggal teka. Mas Hadi terus budhal menyang Bandung, Jawa Barat.
Panggonan sing adoh kana. Mendahneya mareme yen jedhing lan WC kuwi wis
dipayoni. Mesthine rasa adhem, aman, lan dadi asri.
Nganti wektu
kurang rong ndina, wayahe jam setengah wolu esuk. Kang Muji, isih sanak
sedulure Mas Hadi, menek glugu arep golek klapa. Ndilalah ora adoh saka omahku.
watara mung sepuluh meter saka jedhing mau. Aku ngepasi adus, wonge wis tekan
ndhuwur. Sajak ora mung nglirik ae, jebul saka papah wit klapa mau wonge
nguwaske aku sakatoge. Kuwi wis makaping-kaping. Nganti aku apal. Angger aku
adus, ora let suwe Kang Muji terus clingkrig-clingkrig ngethapel neng glugu.
Ethok-ethoke nguwaske ndhuwur nanging jane nglirik awakku sing nglegena!
Krasa yen
dipandeng dadi tontonan gratis aku bengok-bengok njaluk tulung. Wong-wong padha
marani panggonanku. Astaga! Aku durung klamben. Cekat-ceket aku tapihan andhuk
terus mlayu mlebu omah. Embuh, wong-wong sing padha teka mau nguwaske aku apa
ora wis blas ora takrewes. Aku neng njero kamar nggetuni anggonku bengok-bengok
sing malah gawe wirangku dhewe!
Sorene Mas
Hadi nilpun bapak lan ibuku. Embuh nyritakake kewiranganku apa rembug liyane.
Kanggo tamba wirangku, Mas Hadi sing dadi sasaran nesuku.
“Sesuk esuk
jedhing lan WC kuwi kudu wis dipayoni. Embuh carane! Lek ora, aku mulih neng
Gandekan!” kandhaku karo nyuding irunge sing munthes kuwi.
Taknesoni
lan takancam kaya ngono wonge mung cengar-cengir. Wong lanang piye ngene iki?
Triwida,
2011
Aku
menthelengi tulisan ing majalah Panjebar Semangat kanthi ati
trataban. Geguritan kang kebak pangrasa ing tanganku, bola bali takwaca tanpa
kedhep. Lambeku gemeter karo ndremimil. Rasane donya kaya ambruk ing dhadhaku.
Dhuh, Gusti…jeneng kang kapacak ing ngisor geguritan kuwi sing marai jantungku
kaya ucul-ucula. “Sri Wirdaningsih…”.
Wewayangan
rong puluh taun kepungkur kaya digelar neng ngarep mripatku. Kawitane jaman
isih menganggo seragam putih biru, aku ketemu karo Sri Wirdaningsih. Aku ngrumangsani
yen wiwit duwe rasa beda marang kenya manis kuwi sawise srawung udakara limang
sasinan. Nanging, aku ora kuwawa nyuntak rasa ing njero atiku, jalaran aku wedi
marang wong tuwane. Pak Pambudi, ya bapake Sri Wirdaningsih mono salah sijine
guru kang mulang ing SMP-ku. Piyantune gedhe dhuwur, dhisiplin lan galake ora
mekakat. Kabeh guru apamaneh siswa ing sekolahku wedi karo penjenengane.
Saliyane
kuwi, Sri Wirdaningsih kalebu siswa kang lantip malah kepara paling pinter ing
kelasku. Telung taun aku mung bisa nyawang eseme kang pait madu, rambute kang
ngandhan-andhan lan guyune kang renyah dirungu. Aku mung saderma anak buruh
tani sing ora duwe kaluwihan apa-apa. Utegku kendho, ora encer. Asring kanggo
bahan gojegan lan ece-ecenan kanca-kanca sakangkatan. Yen diupamakke paribasan,
aku karo Sri Wirdaningsih kuwi pindha bumi karo langit.
Mas Bagas,
kae lho Pak Naib wis siyap, kok malah mbegegeg neng kono
Nganti
ngancik SMA, aku panggah ora bisa nglalekake rupa ayune Sri Wirdaningsih. Beja
banget aku bisa klebu SMA I, SMA favorit jaman semana ing dhaerahku, senajan
kanthi biji pas-pasan. Ndilalahe, kersane Gusti, aku kok sakelas maneh karo
pepujaning atiku kuwi. Nanging, setaun lumaku, ora ana owah-owahan apa-apa.
Aku tetep clingus, wedi, ora wani nyedhaki dheweke. Omong-omong ya mung
saperlune wae jalaran aku ora betah yen suwe-suwe adu arep karo Sri
Wirdaningsih. Gugup, atiku kroncalan, lan sing ngisin-isinake maneh raiku dadi
abang ireng lan bisa dipesthekake omonganku malah dadi ora karu-karuwan jluntrung.
Rasa ing
atiku tambah ngrembaka bareng munggah kelas loro. Nanging, takrasak-rasakke
aku kok malah dadi kelara-lara dhewe. Sri Wirdaningsih kaya-kaya sangsaya adoh
saka panjangkaku. Sawise dinobatake dadi “Mbakyu SMA I” ngepasi acara
mangayubagya dina kelairane R.A Kartini, bocah kuwi dadi saya akeh penggemare.
Ora siji loro kanca priya kang nyoba nyedhaki, ngajak kencan, malah akeh uga
kang wani “nembak” dheweke. Yen wis ngono kaya ana geni mubal-mubal ing
dhadhaku. Ewasemono aku ya mung meneng. Lha kepriye maneh, wong dheweke dudu
apa-apaku.
Nyedhaki
ujian akhir sekolah, rumangsaku Sri Wirdaningsih dadi beda. Dheweke luwih
anteng, meneng lan ora akeh guyonan kaya adat sabene. Malah kala-kala aku
meruhi dheweke suntrut, lungguh dhewekan ing bangku kelase ngepasi jam
istirahat ngana kae. Aku mung nyawang, ora wani nyedhak. Yen ora sadar dheweke
noleh, aku gage-gage mlengos, mbuwang panyawangku ing panggonan liya. Aku wedi,
ndredheg yen nganti……
Cerita Cekak
– Posted by admin on
March 5, 2013
Anggone
dandan ana kali Jegles wetan desa wis rampung. Sinambi reringkes uba rampe,
dheweke milang-miling mbokmenawa ana sing kecicir. Wedhak atal putih diwadhahi
cepuk, ciwit abang kanggo bengesan, langes ireng sing kanggo celak lan alis uga
godheg kabeh wis diwadhahi dadi siji ana slepen banjur dilebokake tas
cangklong cilik.
Pak Thekle,
wis suwe oleh sebutan mangkono iku amarga nalika isih dadi anggota wayang wong
mbiyen oleh dhapukan sing ajeg punakawan Gareng. Sawise leren ora melu mayang
maneh amarga rejekine ora kena dijagakake Pak Thekleg banjur ngamen turut desa
lan pasar ing Blitar lan sakiwa-tengene.
Gareng iku
biyasane dijuluki Thekle amarga tangane ceko lan sikile gejig utawa pincang.
Sanajan oleh julukan Thekle, Rindoko Kasdi, ya jeneng asline, ora ngresula apa
maneh nesu. Tumrap dheweke malah kebeneran wadanane dadi kondhang.
“Nuwun sewu,
Pak, Bu! Kula ngamen gempo!” karo kurmat dheweke miwiti ngamen karo nglagokake
tetembangan lan jogedan sabisane.
Sawise
diulungi dhuwit banjur pamit lan ora lali muni, “matur nuwun!” embuh wis pirang
omah sing dienggoki ngamen, wis pirang swara sing nulak ngamene, ora dadi
pikiran.
“Sanese
mawon…! Lintune mawon…!”
Pak Thekle
ora ngresula lan tetep nerusake lakune. Ora antara suwe wis tekan kantor
kecamatan lawas sangarepe pasar Pon Desa Brenggolo, Plosoklaten.
Sadurunge
mlebu pasar arep ngamen, dheweke wis nata atine lan ndedonga muga-muga anggone
ngamen dina iku oleh rejeki sing akeh.
Kang Madrim
kok ana kene, iki mau arep blanja pa, pitakone Pak Thekle
“Niyat
ingsun golek rejeki sing halal kanggo nguripi anak bojo. Kakang kawah adhi
ari-ari aku njaluk gawemu, keblat papat lima pancer rewangana aku nadhahi
rejeki pawehe wong sing duwe budi adi ngecerake rasa ati marang wong kaya aku
iki!”
Sawise
rampung ngempet ambegan lan nggedrug lemah kaping telu Thekle banjur miwiti
ngamen gempo saurute warung sakulone pasar kewan. Anggone nampani dhuwit
klithik pawehe wong sing eklas atine wis bola-bali mlebu kanthonge. Pira
cacahe ora dadi angen-angene.
Ora krasa
lakune anggone ngamen wis meh tuntas, mung kari larikane bango-bango sudagar
sisih kulon sing isih rame ditukoni wong golek klambi utawa kain. Sinambi
ngglenggeng tembang-tembang dolanan sinambi uwet jogedan, ora njarag dheweke
namatake bocah wadon ana sisihe sudagar kain lemu saka Gurah iku.
Pak Thekle
Gareng nratap atine nalika nyawang saklebatan menyang bocah wadon sing ana
bango iku. Dheweke ora nerusake ngamen ana larikan kono. Amarga pancen
jejel-riyel untel-untelan wong sing arep blanja, Dheweke banjur ngalih menyang
bango liyane.
“Suwarni…!
Suwarni…! Bocah kok mbingungake kuluwarga kabeh! Entenana ana kono bae, liya
dina yen wis rada aring sebele atimu lan menepe dhuhkitane bojomu, kowe mesthi
takparani lan takgawa bali. Yen perlu tak peksa! Mesakake anak lan bojomu sing
ora kok pamiti. Suwarni…! Suwarni…! Kok kaya ngono patrapmu!” panggrundele Pak
Thekle Gareng ya Rindoko Kasdi jroning batin.
Sawise
menyang bango sisihe, Pak Thekle banjur………
Cerita Cekak
– Posted by admin on
February 28, 2013
Ngelem bojo
pancen gak ana eleke. Ambek negara ya gak dilarang. Tapi lek gak papan, gak
empan sing ngrungokna suwene-suwe dadi mblenger. Apa maneh terus ngelek-elek
bojone wong liya, sak tingkah polahe diwada, iku ngono jenenge dahwen salah
open. Nggarai weteng mbedhedheg. Sing bojone gelek dilecehna, dadine males
melok klumpukan, anggota arisan PKK nyelot mbrindhili. Sakjane masi gak
disiyar-siyarna, wong-wong wis ngakoni lek Borut ngono Arjunane
kampung. Rupane nggantheng. Praene semu bunder, rambut ngombak banyu.
Kulit-kulitane kuning kemrusuh. Nyambut gawene mapan, bayarane akeh. Clana
ambek klambine gak tau lungset. Sasate saben dina ganti. Sepatune nggilap.
Tapi lek gelem metani nganti njlimet cacade ya gak kurang-kurang. Dhuwure
malang tanggung. Tegese gak dhuwur gak cebol. Pawakane ginuk-ginuk, lek mlaku
medel-medel, kaya menthog mari ngendhog. Terus lek guneman gak gelem ndelok
sing dijak omong. Ndhingkluk semu mlorok.
Kabeh ya
niteni, angger jam pitu thet, Borut budhal sakmarine nyecep lambene Mursalia
ndhik ngarep lawang. Jam lima thot wis teka, terus mlebu bleng bledheng,
lawang jendhela totupan rapet. Lek metu mesthi rentengan. Tau ana sing mergoki,
Borut molih rada telat. Praene precang-precing kaya maling krinan. Nganti suwe
ngonyar-nganyer ngarep lawang, wusananne ndheprok ndhik jobin. Gak ana sing ruh
jam pira olehe lawang. Isuke Mursalia mekanjar melok nang kantor.
Pancen kacek
adoh ambek Takim sing nyambut gawe melok Jasa Titipan Barang. Saben dina
klabengan mubeng kutha, ngeterna barang kiriman. Kadhang-kadhang nganti njaba
kutha barang. Budhal ambek molene gak ana pathokan resmi. Beda meneh karo
critane Sunar sing nyambut gawe ndhik toko kompan banyu listrik. Sok-sok ana
sing tuku njaluk tolung masang pisan. Ambek Sunar dilembur nganti molih bengi
barang. Saben sore wong loro iku sasate nglompuk ndhuk warunge Kang Mul. Lek
gak ngono grudugan mancing, liya sore maneh ping-pong ndhik bale RW.
He bojoku wong
dhines, tapi gak tak kempit rek
“Lek nang
luwar kota ngono iku turune ndhik ndi?”. Mursalia kait ngecepret ngepasi
arisan PKK sing kari mek wong pitu.
“Losmen
Rek”, bojone Takim sing ditakoni semaur.
“Ati-ati lo.
Losmen iku nggene wong gak genah”.
“Hala. Kate
ngana kate ngene pokok gak ndhik ngarep mataku lak wis. Sing penting bayarane
molih”.
“Tergantung
wonge. Lek dhasare crongohan masi gak ndhik losmen ya nglepek golek-golek”,
Tatik melok nengahi.
“Lek aku,
molih telat thithik ae sida tak osut nganti tuntas!” Mursalia sing lek omong
pancen keminter, kemeruh gak gelem kalah.
Sing krungu
pating pecucu. Batine padha maido, ketara tenan lek…..
Cerita Cekak
– Posted by admin on
February 25, 2013
wis oleh idi
saka resepsionis, Firman gage nranyak munggah menyang kamar rombongan tamu
hotel kanca-kancane, yaiku ing kamar nomer 305,306,307. Janjine operasine ing
kamar 306. Nothog lawang, oleh jawaban kamar ora kemunci. Firman mlebu, ing
kamar 306 kanca-kancane wis samekta lungguh jogan ngubengi peturon tengah
ngadhepi pirantine dhewe-dhewe, laptop, printer, telpon, gadget, iPad, Black
Berry Torch, modem, HP. “Beres!” ujare langsung tanpa ditakoni para kancane.
“Irawan,
Telkom Ketintang Surabaya!” Condro pakon.
Irawan
ngebel nomer telpon omah 8702759. “Hallo. Isa ngomong karo Detektip Handaka?
Oh, sampeyan dhewe. Anu, Pak. Apa mau bengi mirsani RCTI jam 22.00? Wahdhuh
eman. Ngene lo, Pak. Mau bengi disiyarake sapa-sapa pelanggan Telkom sing
paling setiya nggunakake telpon ngomah oleh hadhiyah. Digebyar ing RCTI
antarane para tamu sing munggah panggung, ana perwakilan pejabat saka Menteri
Sosial lan Kehakiman barang. Salah siji sing oleh hadhiyah nomer telpon
0318702759 atas pelanggan asma Detektip Handaka. Rak sampeyan? Lha mula kuwi.
Aku saka Telkom Ketintang Surabaya, Pak. Oleh tugas ngabari sampeyan. Ngene,
luwih cethane, sampeyan ngebel wae Telkom Pusat Jakarta, catheten, nomer
02140449614 asma petugase Drs. Renaldi Firmansyah. Wis dicathet? Genah ya,
Pak? Oke. Aku ngaturaken slamet sampeyan kadidene pelanggan Telkom ngomah
sing paling setiya, nganti oleh bebana mobil Avanza! Slamet ya! Wis, sampeyan
bel saiki”.
Kamar ing
306 kabeh nyemak anteng. Meneng.
Kriiing!
Kriiing! Firman gage nampani telpon sing ngebel.
Kabeh tamu
hotel Kamar 306 ngguyu sumringah, pesta
“Hallo? Oh
Surabaya? Detektip Handaka? Sik daksemake ing dhaftar. Hadhiyah 1 omah ing
BSD Tangerang. Hadhiyah 2 Avanza ing Medan, Sitor…, karo ing Surabaya,
Detektip Handaka nomer telepon 031…! Oh iki, ya? Inggih, sampeyan oleh mobil
Avanza. Regane on the road Rp 150 yuta, ning sampeyan karo wong Medan mau oleh
gratis. Ana pilihan loro, Pak. Sing aqua blu silver, apa sing biru metalik?
Padha wae. Sing metalik? Biru metalik? Oke. Dadi sing sijine kanggo wong Medan.
Ngene, Pak. Weton tokone rak ing DKI Jakarta. Mangka kudu dikirim marang sing
bakal nganggo ing Surabaya. Dadi metune saka toko kudu oleh idin pulisi lalin
DKI, sing arupa STNK lan BPKB-ne. Sing ngurusi kuwi Kepala Pulisi Lalin DKI,
Kombespol Condrokirono. Yen penjenengane ora lagi ribet tugas, coba wae
ngebela, catheten…, 02150362718 kuwi kantor dhinese. Kombeslalin DKI
02150362718. Coba dibaleni. Bener, bener. Kombespol Condrokirono. Yen sibuk, ya
kapan-kapan ya bisa. Nanging dhek wingi ing siyaran RCTI diumumake hadhiyah
bisa dikirim dina iki marang sing nampa. Ngreti ya, Pak? Urusen saiki wae yen
bisa. Slamet ya, oleh hadhiyah nomer 2 saka Telkom”, Firman nutup telpone,
usap-usap kringet ing gulune, karo manthuk-manthuk lega marang kanca-kancane.
Limang menit
kamar hotel 306 anteng. Kabeh nyawang telpon sing diadhepi Condro.
Kriiing!
Kriiing! Ora ndang diangkat. “Siap?” wong sakamar……..
Cerita Cekak
– Posted by admin on
February 5, 2013
KEKAREPANE
Dirjo, anggone kepengin mundur saka PNS sanalika gawe horeg. Kanca-kancane
sakantor padha gumun, kena apa guru mudha kuwi kok nduweni niyat sing aneh
kanggo ukurane wong jaman saiki. Ora aneh piye, sing aran golek gaweyan kuwi
angele ora mekakat. Apa maneh pegawai negri sipil. Miturut kabar, saben ana
pendaftaran PNS wong-wong padha iklas kelangan dhuwit puluhan nganti atusan
yuta supaya bisa katut dadi PNS. Lha iki sing wis dadi PNS kok malah kepengin
mundur?
Ing
sadhengah papan saiki sing dadi bahan rembugan ora ana liya kejaba kekarepane
Dirjo kuwi. Kanca-kancane duwe maneka warna panduga, geneya wong siji kuwi kok
sajak nekad tenan.
“Kira-kira
bae Dirjo kepengin rabi maneh,” ngono panemune Pak Parno, guru PPKn.
“Ah, nek
mung pengin rabi maneh bae kena apa kudu mundur saka PNS?” Pak Yani, guru
seni nyambung rembug.
“Lho sing
aran PNS kuwi rak ora kena wayuh yen alasane ora kuwat.”
“Ya carane
no, sing aran aturan kuwi mesthi kena disiasati.”
“Nek miturut
aku kok dudu iku sebabe. Anane Dirjo pengin mundur saka PNS sebab dheweke kuwi
pengin dadi politikus. Ana sawijining partai politik sing siap ngajokake
dheweke minangka anggota DPR pusat ing pemilu sing bakal teka iki,” Pak Wignya,
guru IPA melu ngegongi.
“Dadi DPR
ngono saiki uga ora gampang. Ora waton duwe dhuwit, sebab para pemilih saiki
uga wis pinter. Aku yakin Dirjo ora gampang kelu marang pangiming-iminge liyan
yen durung cetha tenan bener lan orane kuwi,” Pak Yani tetep mbelani Dirjo.
Kok durung
njenengan rampungake Mas, endinge piye
Guru liyane
uga banjur nyedhak melu rembugan. Kabeh padha ngira-ira kena apa kok Dirjo
kepengin mundur saka PNS. Yen manut panemune Bu Nur, anane Dirjo kepengin
mundur saka PNS awit kepengin netepi krenteging jiwane minangka seniman.
Sebab saliyane dadi guru, Dirjo iku uga sawijining dhalang. Senajan isih mudha
ewasemono tanggapane wis lumayan akeh. Nanging alasane Bu Nur iku uga dibantah
dening Pak Yani. Dirjo iku senajan kerep tanggapan nanging ajeg bisa ngedum
wektu. Mokal yen mung merga akeh tanggapan banjur pilih mundur saka PNS.
Para guru
iku terus rembugan gayeng ngenani Dirjo. Pancen guru liyane anggone nyeluk
wong siji kuwi ya mung cukup disebut jenenge Dirjo ngono bae. Arang kadhing
sing nyebut pak. Sebab Dirjo kuwi kalebu guru anyar, sing umur-umurane paling
enom. Apa maneh dheweke kuwi jarene risi yen diceluk ‘pak’. Jarene isih enom
umur-umurane durung mbapaki. Muride-muride bae akeh sing ngundang ‘mas’.
Nanging Dirjo uga ora nesu. Saka kono bae kanca rakete kaya dene Pak Yani kuwi
wis bisa maca yen Dirjo kuwi pancen duwe sipat sing aneh. Saiki saya aneh
maneh sebab kepengin mundur saka PNS.
“Pak Yani,
minangka kanca rakete Dirjo njenengan mbok nyoba ngelingake, mumpung durung
kadhung. Sing aran getun kuwi dununge ana mburi lho,” Pak Parno menehi iguh.
“Nek sing
ngelingake aku mesthi ora digugu. Sebab saben dina kulina guyon karo aku.
Nanging yen sing ngelingake njenengan, dak kira bakal dirungokake. Guru senior
sing wis wareg pengalaman ana sekolahan kaya njenengan kuwi akeh sing sungkan.”
“Iya yen
ngono mengko dak cobane. Ketoke saiki Dirjo isih mulang. Bar ngene ngaso,
mengko wonge dakajake golek sarapan, terus dakajake rembugan. Muga-muga Dirjo
manut marang kandhaku.”
Pak Parno
terus mlebu kelas, menehi tugas marang murid-muride. Dina kuwi mau panjenengane
sengaja……..
Cerita Cekak
– Posted by admin on
January 28, 2013
Maune degan
dadi klapa, maune juragan rosokan dadi juragan trebela. Tur ujug-ujug wis
maprah lho daganganku. Sawernaning ukuran trebela ana, wiwit sing ukuran 80 cm,
100 cm, 140 cm, 160 cm, nganti tekan 220 cm. Lha nek ana wong dhuwure kliwat
220 cm, sadurunge mati ben pesen trebela dhisik secara mligi.
Modhele ya
werna-werna. Ana modhel limasan, modhel kampung, modhel rata, modhel plengkung.
Ana sing polos ana sing ukiran lung-lungan, ukiran mawar, ukiran mlathi
rinonce. Lha nek ana sing ngersakake ukiran gambar buta apa gambar munyuk,
sadurunge mati ben pesen trebela dhisik.
Sepisanan
ana seket trebela sing dipajang ing pendhapaku. Saben malem Jemuwah Kliwon
dak sebari kembang kiwa tengene. Iki saran saka kang Sodrun. Jare supaya
gandane ngambar tekan dalan ngarep omah, njur padha ketarik karo daganganku.
Wiwit iku, saben malem Jemuwah Kliwon pendhapaku iku swasanane jan persis
jaratan lor desa. Nanging gandheng nyandhing mesjid, dadi ya ora sepi, malah
mesjide katut melu wangi gandane.
Pitung sasi
wis lumaku, lan sajrone wektu semono iku wis payon trebela pitulikur. Ateges
rata-rata saben sasi payon trebela papat. Mangka trebela siji bathiku nem atus
ewu tekan sangang atus ewu. Sing bahane jati diukir mlathi rinonce iku paling
larang, bathiku bisa sangang atus ewu. Sing tuku adhahane pejabat utawa tokoh
masyarakat sing terhormat utawa rumangsa terhormat. Lha sing paling laris iku
trebela polos sing modhel limasan, banjur dikemuli mori putih diwiru-wiru,
kayune kastuba. Iku sing paling laris. Dene ukurane, akeh-akehe, yen diwasa 200
cm, yen bocah 150-an cm lan yen bayi 100 cm. Iku kabeh pancen dak cathet kanthi
tliti, supaya pamburine yen nggelar dagangan bisa jumbuh karo pepenginane wong
akeh. Aku iki pancen juragan sing sensitif marang situasi masyarakat.
Upama toko
trebela iki daktutup lan turahan trebela sing isih ana iku dak sedhekahake,
kowe rila ora
Sensitif
ki…wah, angel olehku arep nerangake. Goleki dhewe wae ing kamus. Utawa, nek
kang Sodrun mulih tilik desa, takona dheweke mesthi ngerti. Kanggo gambaran:
biyen kae nalika tumpukan rosokanku didhemo wong akeh, langsung dak obong. Iku
jalaran aku iki juragan sing sensitif marang situasi masyarakat. Nanging
dagangan trebelaku iki upama didhemo ora bakal dak obong. Mengko omah
pendhapaku rak katut kobong Mas.
Wong urip ki
yen lagi siyal ya ora kaya uwong, kosok baline yen lagi mujur ya ora kaya
uwong. Ndilalah, ing dalan gedhe ana tabrakan bis karo tesen. Kurban tatu akeh,
sing mati ana pitulas. Ina lillahi wa inna ilaihi roji’un. Seneng ditukoni
trebela, kabeh kurban dijupukake saka nggonku. Ning ya nggrantes weruh kurban
pirang-pirang, weruh kulawargane padha tangisan kelangan sedulur. Batinku dadi
perang dhewe. Ana pitakon sing tansah muni ing batinku, lan ora bisa dak
wangsuli: “Nek ngene iki aku seneng apa sedhih?”
Rumah
bersaline bojoku wae ya mbarung sinang. Sejatine, wiwit leren olehku dadi
juragan rosokan, rumah bersaline bojoku laris maneh. Ora laris wae piye, wong
bojoku ki bidhan ayu, pembantune ya ayu-ayu, yen tulung kelairan ya prigel lan
resikan, katambah juru masake ya pinter, masakane enak. Laris. Nanging akhir-akhir
iki ketanggor kelairan sing ora normal, amarga nalika meteng ora gelem mriksakake
kanthi ajeg. Jarene bayine nyungsang. Ana wong telu sing ngono iku. Banjur
dikirim menyang rumah sakit sing pirantine luwih komplit lan nyandhing
dhokter-dhokter spesialis. Akhire ing kana padha bedhah sesar. Cilakane, sing
siji mati konduran jalaran kentekan dharah.
Let telung
dina saka kedadeyan iku, omahku digrudug…..
Cerita Cekak
– Posted by admin on
January 22, 2013
Maune
cengkir dadi degan, maune sopir dadi juragan. Kuwi aku. Jan seneng tenan aku.
Iki gara-gara omongane Kang Sodrun. Angger mulih nyang desa mesthi omong tur
nylekit: “Oalah Riin-Rin. Mangsa, seprana-seprene kok panggah dadi sopir wae,
lha olehmu arep dadi juragan ki kapan.
Nylekit ta?
Ning aku ngerti banget, olehe omong ngono ki beteke kepengin nyurung aku supaya
uripku ana mundhake. Cara uwit ngono, saya suwe saya dhuwur, pange saya
nyrekakah, godhonge saya ngrembuyung. Lha tenan, bareng dak rasakake tekan
ati, dak ulur nalarku, nyata tenan omonge Kang Sodrun: aku dadi juragan.
Dadi juragan
mebel dudu juragan beras, nanging: juragan rosokan. Lho, aja njur mlengos karo
mencep ngono kuwi. Aja ditonton rosokane, ning tontonen bathine. Ora kalah
karo juragan beras. Tenan Mas. Kepara luwih akeh banget kayaku. Sang Juragan
Rosokan iki, tinimbang juragane beras. Tenan. Ning ya kuwi: juragan beras ki
ambune sedhep, nek aku ambune prengus, mambu rosokan.
Sekawit aku
ewuh aya tenan. Bojoku ki bidhan, bukak rumah bersalin ing omah. Nek rosokan
setorane kanca-kanca bakul lan pemulung dak tumpuk ing kebon, mesthi bakal
ngambon-amboni pasiene bojoku. Sawise dak pikir lan dak petung kanthi njlimet.
Wekasane nemu akal: aku nyewa kebone Mas Naya sing manggone rada kiwa, kanggo
numpuk barang-barang rosokan setorane para kanca. Telung ndina mesthi wis
ganep sak pick up, terus dak setorake menyang pangumpul ing Sala. Tenan, aku
ora umuk, saben sak pikep ngono kuwi bathiku limang atus ewu. Lha nek sesasi,
apa ra wis limang yuta. Cekake, suk yen Kang Sodrun tilik desa maneh arep dakpameri
nek aku wis dadi juragan tenanan. Carane : arep dak jak njajan bakmi nyang
warunge Bu Mijem, dak uja arep ngentekake pirang piring
Ganep patang
sasi olehku njuragan, ora lidok, aku wis bisa nyelengi rong puluh yuta. Wah,
jan seneng aku. Wis dak rancang, mengko yen celenganku wis kliwat satus yuta,
arep tuku trek, supaya bisa ngangkut rosokan luwih akeh.
Sawijining
sore, lagi wae aku mulih saka mesjid, ora kanyana mak jedhul Kang Sodrun teka
ing omahku. Langsung wae dak jak menyang warung Bu Mijem, njajan bakmi. Aku jan
gumun, nalika dak tari: sepiring apa rong piring, wangsulane: telung piring.
Lha apa wetenge amot?
Ora sranta
sore iku tumpukan barang rosokan lan sampah ing kebone Mas Naya iku dak
semproti lenga pet
“Godhog pa
goreng?” takonku
“Goreng
wae”, saure
Aku pesen
patang piring. Maksudku: aku sapiring, Kang Sodrun telung piring. Batinku tetep
tambuh-tambuh: wong siji kok aba bakmi telung piring, wetenge ki gek weteng
apa. Nanging bareng wis mangan entek sak piring, dheweke omong:
“Ana ngendi
wae mapanmu, aja sok lali karo wong ngomah. Bakmi sing rong piring iki
diwungkus, digawa mulih siji edhing, kanggo bojomu lan bojoku”.
Wah, saiki
aku kurmat tenan karo Kang Sodrun. Jebul ngono kuwi pangreksane marang batih.
Mangka aku ki ya yen njajan ora tau kelingan nggawakake bojoku. Siji maneh aku
oleh piwulang saka kadangku siji iki.
Nalika
numpak mobil arep mulih, Kang Sodrun aweh saran supaya……….
Langganan:
Postingan (Atom)